3 Sikap dan Pandangan dalam Menyikapi Wabah Corona

Jum'at, 20 Maret 2020 - 10:07 WIB
3 Sikap dan Pandangan...
3 Sikap dan Pandangan dalam Menyikapi Wabah Corona
A A A
Ustaz Miftah el-Banjary
Pakar Ilmu Linguistik Arab dan Tafsir Al-Qur'an

Ada tiga sikap dan pandangan kelompok aliran teologi dalam Islam ketika menyikapi wabah bala penyakit. Lantas, bagaimana sikap terbaik dalam menyikapi wabah Corona yang terjadi saat ini. Mari kita ulas satu persatu.

1. Kelompok Berpaham Jabariyyah (menyerahkan sepenuhnya pada takdir Allah)
Tidak ada usaha dan ikhtiar. Paham kelompok ini berkeyakinan bahwa semua wabah penyakit itu semata berasal dari Allah Ta'ala. Namun, mereka tidak mau peduli dengan usaha syariat untuk menghindarinya. Mereka tak perduli masker, alat pencegahan kesehatan, dan tak perduli orang lain, mereka hanya peduli keyakinan mereka semata. Imbauan medis tidak ada dalam kamus mereka, kecuali kondisinya sudah parah, itu pun jika sudah terpaksa.
Contoh slogannya, misalnya: "Kami hanya takut kepada Allah, tidak takut Corona! Corona itu juga makhluk Allah!" (tanpa mengindahkan arahan dan imbauan dunia medis).

Kelompok paham Jabariyyah ini hanya peduli pada pemberi "Asbab", bukan pada "Musabbab". Yakin hanya pada Allah, tapi tidak yakin pada sunatullah-Nya.

2. Kelompok Berpaham Qadariyyah (Yakin pada kekuatan diri sendiri tanpa melibatkan Allah).
Kelompok ini seringkali mengandalkan kemampuan diri sendiri atau orang lain yang dianggapnya kuat atau kemampuan seorang pemimpin yang mereka yakini kemampuannya. Mereka menafikan Allah Ta'ala dalam setiap peristiwa. Kelompok paham ini lebih mengandalkan logika dan rasio, ketimbang keyakinan dan iman.

Biasa mereka berslogan: "Kami tidak takut Corona. Ayo kita lawan Corona!" atau "Peralatan medis kita sudah canggih! Corona tak akan masuk ke Indonesia!"

Slogan lainnya, "Tidak ada hubungan antara wabah penyakit dengan kemaksiatan manusia." atau "Tidak ada hubungan antara Corona dengan mengonsumsi kelelawar atau hewan yang diharamkan Islam."

Intinya, paham Qadariyyah ini hanya melihat dan meyakini faktor "Musabbab", namun mengabaikan Sang Pemberi "Asbab".

3. Kelompok Ahlu Sunnah wal Jama'ah (Menyeimbangkan Antara Ikhtiar dan Tawakkal.
Kelompok Ahlu Sunnah wal Jama'ah memiliki pandangan mu'tadil dan mutawasith, seimbang dan berimbang. Mereka tidak takut berlebihan dan tidak pula menantang penuh kesombongan. Menyeimbangkan antara ikhtiar dan tawakkal.

Kelompok ini berusaha tawakkal mendekatkan diri pada Allah dengan doa dan wiridan, namun saat yang sama mereka juga berikhtiar dengan menjaga kesehatan dan kebersihan. Kelompok ini mengikuti aturan medis juga mematuhi dan tunduk pada aturan agama dan ilmu pengetahuan. Keseimbangan antara nalar dan iman, kesetaraan antara hati dan logika akal diaktifkan.

Kelompok ini berkeyakinan bahwa Allah yang menjadi "Musabbab", tapi juga Dia yang menciptakan "Asbab". Dia yang menurunkan bala wabah penyakit, namun Dia pula yang memberikan cara menghindari dan penyembuhan wabah penyakit tersebut.

Belajar dari sikap Khalifah Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhu ketika beliau dan pasukannya membatalkan masuk ke negeri Syam karena adanya wabah penyakit. Saat itu mereka di Kota Sargh, seorang sahabat bernama Abu Ubaidah al-Jarrah menemui Umar bin Khattab. "Akankah kita akan menghindar dari takdir Allah, wahai Amirul mukminin?"

Lantas Umar bin Khattab menjawab. "Benar! Kita menghindari dari satu takdir Allah kepada takdir-Nya yang lain!" Tak berapa lama, datanglah Abdurrahman bin Auf menyampaikan hadis Nabi yang pernah didengarnya.

Rasulullah SAW bersabda: "Jika kalian mendengar adanya satu wabah penyakit di satu negeri, maka janganlah kalian memasukinya dan jika kalian berada di negeri itu, maka janganlah pula kalian meninggalkannya karena menghindarinya." (HR. Al-Bukhari)

Dalam hal tawakkal kita mesti belajar dari kisah salah seorang sahabat Nabi SAW yang meninggalkan tali kekang untanya terlepas begitu saja, tanpa diikat saat ia memasuki Masjid Nabawi untuk beribadah.

Lantas Rasulullah SAW menegurnya, "Kenapa tidak engkau ikat untamu itu?" Sahabat itu menjawab: "Aku serahkan untaku kepada Allah ya Rasulullah! Jika Allah menghendaki-Nya dia tetap ada bersamaku. Tapi jika Allah menghendakinya hilang, maka dia hilang dariku!"

Rasulullah tersenyum. "Bukan begitu caranya!" Nabi SAW lantas mengajarkan ikhtiar dengan cara memintanya untuk mengikat untanya lalu Nabi SAW bersabda: "Sekarang barulah engkau tawakkal dan serahkan semuanya pada Allah!"

Begitulah hakikat tawakkal yang diajarkan Rasulullah SAW sesuai sunnah dan ajaran Islam. Jika pun semua ikhtiar dan tawakkal sudah dilaksanakan maksimal, hasilnya tidak sesuai harapan, barulah kita bicara soal takdir.

19 Maret 2020
Tebet, Jakarta Selatan
(rhs)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0979 seconds (0.1#10.140)