Haram Menolak Pemakaman Jenazah Pasien Covid-19, Ini Dasar Hukumnya
A
A
A
PENOLAKAN sebagian masyarakat terhadap pemakaman jenazah pasien Covid-19 di pemakanan dekat permukiman mereka mengundang keprihatinan banyak pihak, terutama pimpinan organisasi massa Islam, kiai dan para ustaz. Dai kondang Miftah Habiburrahman atau Gus Miftah mengajak umat Islam untuk introspeksi diri. "Saudaraku, pernahkah kita membayangkan jenazah yang tertolak itu adalah keluarga kita, saudara kita, atau tenaga medis, dokter, perawat yang mendedikasikan hidupnya untuk melawan virus ini," tulisnya di media sosial Instagram, Jumat (3/4/2020.
Dia mengingatkan bahwa perang saat ini adalah melawan virus corona . Bukan orang yang terjangkit virus corona . "Ingat...!! Yang harus kita lawan itu adalah virusnya, bukan orangnya," serunya.
Masyarakat yang menolak penguburan jenazah pasien covid-19 di pemakaman dekat permukiman mereka salah satu alasannya adalah khawatir virus corona yang menjangkiti jenazah itu menular kepada mereka. Penulis buku "Khazanah Aswaja" yang alumni Pondok Pesantren Lirboyo Kota Kediri, Ustaz Ahmad Muntaha, memahami akan hal itu.
Ia menyatakan dirinya sepakat dalam menghadapi pandemi virus corona semua orang harus berhati-hati dan tidak boleh meremehkannya. Sebab secara ilmu kesehatan bahaya virus ini telah diakui bahkan telah dinyatakan sebagai pandemi global oleh World Health Organization (WHO) bahkan secara resmi mengumumkan virus corona sebagai pandemic.
"Pertanyaannya, sejauh mana kehati-hatian kita dalam hal ini?" ujarnya dalam tulisan berjudul "Rame Penolakan Jenazah Pasien Covid-19, Ini Penjelasan Agamanya" yang dikutip SINDOnews dari media resmi Nahdatul Ulama (NU), nu.or.id, Jumat (3/4/2020).
Menurut dia, karena berkaitan dengan kesehatan, tentu kehati-hatian harus merujuk kepada ahlinya, yaitu para dokter yang memang memunyai basis ilmu kesehatan atau ahlul khubrah fit thibb.
Berkaitan hal ini Grand Syekh Ke-24 Al-Azhar, Syeikh Jadul Haq Ali Jadul Haq (1917-1996 M) menjelaskan, dokter merupakan bagian dari ahli zikir atau pakar dalam bidang yang menjadi konsentrasinya yang mendapatkan legalitas Al-Qur’an:
قَدْ قَالَ سُبْحَانَهُ تَعْلِيمًا وَتَوْجِيهًا لِخَلْقِهِ:فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ (الأنبياء: 7). وَالطَّبِيبُ فِي عَمَلِهِ وَتَخَصُّصِهِ مِنْ أَهْلِ الذِّكْرِ، وَالْعَمَلُ أَمَانَةٌ.
Artinya, “Allah SWT sungguh telah mengajarkan dan mengarahkan makhluk-Nya dengan berfirman, ‘Bertanyalah kepada ahli zikir jika kalian tidak mengetahui’ (Surat Al-Anbiya ayat 7). Dokter dalam aktivitas medisnya dan bidang spesialisasinya merupakan ahli zikir yang masuk dalam ayat ini. Aktivitas medisnya merupakan amanah baginya.”
Sementara berkaitan dengan penguburan jenazah terjangkit Covid-19, SOP (Standard Operating Procedure) pemulasaran jenazah Covid-19 sudah disesuaikan dengan hukum positif mutakhir yakni UU Nomor 4 Tahun 1984 Tentang Wabah Penyakit Menular, UU Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan, dan Surat Edaran Dirjen P2P Nomor 483 Tahun 2020 Tentang Revisi Ke-2 Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Infeksi Novel Corona Virus (Covid-19).
UU tersebut secara terang-terangan menyatakan, “Penguburan dapat dilaksanakan di tempat pemakaman umum.” Artinya, selama pemulasaran jenazah Covid-19 telah dilakukan dengan benar sesuai SOP yang ada, maka tidak ada alasan yang dapat dibenarkan untuk menolak penguburannya. Sebab rujukan sahih dalam urusan ini adalah para dokter dan tenaga medis. Oleh karenanya, kehati-hatian dalam menyikapi penguburan jenazah Covid-19 harus terukur, sesuai petunjuk ilmu kedokteran sebagaimana telah diterjemahkan secara teknis dalam SOP-nya. Tidak perlu berlebihan.
Bahkan bila kehati-hatian itu justru berubah menjadi kekhawatiran tidak berdasar keilmuan yang dapat dipertanggungjawabkan, dan mengarah pada penolakan penguburan secara serampangan, maka hukumnya tidak diperbolehkan. Berkaitan dengan hal ini Al-Qarafi menjelaskan:
أَنَّ الْخَوْفَ مِنْ غَيْرِ اللهِ مُحَرَّمٌ إنْ كَانَ مَانِعًا مِنْ فِعْلِ وَاجِبٍ أَوْ تَرْكِ مُحَرَّمٍ ، أَوْ كَانَ مِمَّا لَمْ تَجْرِ الْعَادَةُ بِأَنَّهُ سَبَبٌ لِلْخَوْفِ
Artinya, Sungguh ketakutan dari selain Allah hukumnya haram jika berakibat menghalangi untuk melakukan kewajiban atau meninggalkan keharaman, atau takut dari hal-hal yang secara adatnya tidak dapat menyebabkan ketakutan.
"Di tengah keprihatinan bersama atas pandemi virus corona, masyarakat harus tetap menjaga akal sehat, kehati-hatian, dan kekhawatiran di satu sisi, dan kemantapan dan keyakinan di sisi lain secara proporsional sesuai ukurannya," ujar Ustaz Ahmad Muntaha. Wallahu a’lam.
Dia mengingatkan bahwa perang saat ini adalah melawan virus corona . Bukan orang yang terjangkit virus corona . "Ingat...!! Yang harus kita lawan itu adalah virusnya, bukan orangnya," serunya.
Masyarakat yang menolak penguburan jenazah pasien covid-19 di pemakaman dekat permukiman mereka salah satu alasannya adalah khawatir virus corona yang menjangkiti jenazah itu menular kepada mereka. Penulis buku "Khazanah Aswaja" yang alumni Pondok Pesantren Lirboyo Kota Kediri, Ustaz Ahmad Muntaha, memahami akan hal itu.
Ia menyatakan dirinya sepakat dalam menghadapi pandemi virus corona semua orang harus berhati-hati dan tidak boleh meremehkannya. Sebab secara ilmu kesehatan bahaya virus ini telah diakui bahkan telah dinyatakan sebagai pandemi global oleh World Health Organization (WHO) bahkan secara resmi mengumumkan virus corona sebagai pandemic.
"Pertanyaannya, sejauh mana kehati-hatian kita dalam hal ini?" ujarnya dalam tulisan berjudul "Rame Penolakan Jenazah Pasien Covid-19, Ini Penjelasan Agamanya" yang dikutip SINDOnews dari media resmi Nahdatul Ulama (NU), nu.or.id, Jumat (3/4/2020).
Menurut dia, karena berkaitan dengan kesehatan, tentu kehati-hatian harus merujuk kepada ahlinya, yaitu para dokter yang memang memunyai basis ilmu kesehatan atau ahlul khubrah fit thibb.
Berkaitan hal ini Grand Syekh Ke-24 Al-Azhar, Syeikh Jadul Haq Ali Jadul Haq (1917-1996 M) menjelaskan, dokter merupakan bagian dari ahli zikir atau pakar dalam bidang yang menjadi konsentrasinya yang mendapatkan legalitas Al-Qur’an:
قَدْ قَالَ سُبْحَانَهُ تَعْلِيمًا وَتَوْجِيهًا لِخَلْقِهِ:فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ (الأنبياء: 7). وَالطَّبِيبُ فِي عَمَلِهِ وَتَخَصُّصِهِ مِنْ أَهْلِ الذِّكْرِ، وَالْعَمَلُ أَمَانَةٌ.
Artinya, “Allah SWT sungguh telah mengajarkan dan mengarahkan makhluk-Nya dengan berfirman, ‘Bertanyalah kepada ahli zikir jika kalian tidak mengetahui’ (Surat Al-Anbiya ayat 7). Dokter dalam aktivitas medisnya dan bidang spesialisasinya merupakan ahli zikir yang masuk dalam ayat ini. Aktivitas medisnya merupakan amanah baginya.”
Sementara berkaitan dengan penguburan jenazah terjangkit Covid-19, SOP (Standard Operating Procedure) pemulasaran jenazah Covid-19 sudah disesuaikan dengan hukum positif mutakhir yakni UU Nomor 4 Tahun 1984 Tentang Wabah Penyakit Menular, UU Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan, dan Surat Edaran Dirjen P2P Nomor 483 Tahun 2020 Tentang Revisi Ke-2 Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Infeksi Novel Corona Virus (Covid-19).
UU tersebut secara terang-terangan menyatakan, “Penguburan dapat dilaksanakan di tempat pemakaman umum.” Artinya, selama pemulasaran jenazah Covid-19 telah dilakukan dengan benar sesuai SOP yang ada, maka tidak ada alasan yang dapat dibenarkan untuk menolak penguburannya. Sebab rujukan sahih dalam urusan ini adalah para dokter dan tenaga medis. Oleh karenanya, kehati-hatian dalam menyikapi penguburan jenazah Covid-19 harus terukur, sesuai petunjuk ilmu kedokteran sebagaimana telah diterjemahkan secara teknis dalam SOP-nya. Tidak perlu berlebihan.
Bahkan bila kehati-hatian itu justru berubah menjadi kekhawatiran tidak berdasar keilmuan yang dapat dipertanggungjawabkan, dan mengarah pada penolakan penguburan secara serampangan, maka hukumnya tidak diperbolehkan. Berkaitan dengan hal ini Al-Qarafi menjelaskan:
أَنَّ الْخَوْفَ مِنْ غَيْرِ اللهِ مُحَرَّمٌ إنْ كَانَ مَانِعًا مِنْ فِعْلِ وَاجِبٍ أَوْ تَرْكِ مُحَرَّمٍ ، أَوْ كَانَ مِمَّا لَمْ تَجْرِ الْعَادَةُ بِأَنَّهُ سَبَبٌ لِلْخَوْفِ
Artinya, Sungguh ketakutan dari selain Allah hukumnya haram jika berakibat menghalangi untuk melakukan kewajiban atau meninggalkan keharaman, atau takut dari hal-hal yang secara adatnya tidak dapat menyebabkan ketakutan.
"Di tengah keprihatinan bersama atas pandemi virus corona, masyarakat harus tetap menjaga akal sehat, kehati-hatian, dan kekhawatiran di satu sisi, dan kemantapan dan keyakinan di sisi lain secara proporsional sesuai ukurannya," ujar Ustaz Ahmad Muntaha. Wallahu a’lam.
(mhy)