Puasa sebagai mekanisme refleksi kemanusiaan

Senin, 22 Juli 2013 - 07:24 WIB
Puasa sebagai mekanisme refleksi kemanusiaan
Puasa sebagai mekanisme refleksi kemanusiaan
A A A
SAYA teringat pada satu kisah dalam cerita sufi yang amat mengesankan, cerita tentang orang alim dan pelacur. Dikisahkan, seorang alim bertetangga dengan seorang pelacur. Setiap kali si orang alim memandang ke rumah sang pelacur, dia lalu membayangkan pelacur itu sedang berbuat mesum.

Dia selalu mengira pelacur itu pasti sedang bermesuman. Prasangka buruk ini merasuki dirinya sedemikian rupa dan membuatnya sangat benci terhadap pelacur. Ingin rasanya dia mengusir pelacur itu, tapi dia takut dituduh tidak bijak, padahal masyarakat telanjur mengenalnya sebagai orang alim yang bijak. Sebaliknya, setiap kali si pelacur memandang ke rumah orang alim itu, batinnya meratap sambil berdoa: ”betapa mulia-Nya Engkau Tuhan, Engkau memiliki hamba mulia seperti tetanggaku yang alim ini, dia dihormati dan disegani dalam masyarakat.

Orang-orang dari berbagai pelosok berkunjung kepadanya menimba ilmu dan memohon doa restu. Yam Tuhan! Aku sangat ingin seperti dia, hidup terhormat, jauh dari dosa dan maksiat. Tunjukkan aku jalan-Mu, dan jangan Engkau biarkan aku tersesat seperti ini! Demikianlah terjadi setiap hari, orang alim melihat pelacur itu dengan kegeraman dan kebencian. Sebaliknya, si pelacur melihat orang alim dengan penuh takjub dan rasa bangga. Pendek cerita, tibalah hari pembalasan. Orang alim itu diseret malaikat ke pintu neraka.

Dia protes, kalian pasti salah orang, tidak mungkin aku masuk neraka, coba periksa kembali buku amalku. Malaikat pun membuka buku amal dan berkata: betul sekali Anda tercatat sebagai orang saleh dan sangat alim. Buku ini penuh rekaman amal kebajikan. Tapi satu hal membuat Tuhan murka dan tidak rida kepadamu, engkau selalu melihat orang lain dengan kacamata hitam dan prasangka buruk.

Contoh konkretnya, engkau selalu melihat pelacur, tetanggamu itu dengan penuh kebencian, tiada belas kasih sedikit pun. Lupakah engkau, bahwa surga dan neraka ciptaan Tuhan untuk hamba-Nya. Hanya Dia yang berhak memilih siapa di antara hamba-Nya akan menghuni surga atau neraka. Sementara si pelacur diantar malaikat menuju gerbang surga, dia pun protes: ”Kalian tidak salah orang? Rasanya aku tidak pantas masuk surga, buku amalku penuh torehan dosa.

Walaupun demikian, kata malaikat, ada satu hal, tampaknya sepele dan sering diabaikan manusia, justru itu yang membuat Tuhan rida, engkau selalu menaruh harapan baik kepada Tuhan, dan selalu positive thinking atau husn al-dzan terhadap manusia. Ketahuilah, surga dan neraka, sepenuhnya milik Tuhan. Hanya Dia yang Mahatahu siapa yang bakal masuk ke dalamnya.

Kisah sufi ini menginspirasikan kita sebagai hamba yang hina tentang perlunya memiliki harapan baik kepada Tuhan. Begitu sering Alquran dan hadis Nabi berpesan: ”Jangan pernah putus asa dari rahmat Tuhan.” Ana inda daznni abdi bi (Aku mengikuti perkiraan hambaku). Maksudnya, kalau manusia punya pengharapan baik terhadap-Ku, Aku pun demikian terhadapnya, demikian sebaliknya.

Alquran juga mengingatkan perlunya selalu positive thinking,berpikir positif dan berprasangka baik kepada sesama manusia. Tidak mudah memang, sebab selalu saja datang godaan membelokkan kita berperilaku seperti perilaku Tuhan, yaitu menghakimi manusia. Pesan moral paling penting dari kisah sufi tersebut adalah jangan beribadah karena pamrih, termasuk pamrih untuk mendapatkan surga.

Seharusnya, dengan berpuasa kita menjadi lebih berempati kepada sesama, santun, rendah hati, serta lebih bijak sehingga tercipta damai dan harmoni dalam kehidupan bersama. Wallahu a’lam bi as-shawab.

MUSDAH MULIA
Ketua Umum Indonesian Conference on Religion for Peace (ICRP)
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3762 seconds (0.1#10.140)