Terima kasih Ramadan
A
A
A
BANGSA yang besar dan maju selalu melihat ke depan dengan bekal pelajaran jatuh-bangun di masa lalu. Investasi demi meraih kemajuan masa depan adalah salah satu kunci negara maju.
Logika ini memiliki titik singgung dan garis impit dengan spirit puasa Ramadan. Sebagaimana puasa, proses modernisasi akan mengalami kegagalan jika para pelakunya tidak mampu menahan diri ketika dihadapkan pada godaan yang menawarkan kenikmatan sesaat sehingga mengorbankan kenikmatan yang lebih besar di hari esok. Dalam ibadah puasa tersimpan pembelajaran hidup agar sanggup menunda kenikmatan sesaat untuk tujuan kenikmatan lebih besar di masa mendatang.
Yang membuat bangsa ini berjalan terseok-seok adalah kita silau terhadap kenikmatan sesaat serta sangat rendah rasa empatinya kepada rakyat miskin. Padahal, dua sikap dasar inilah yang hendak diraih dengan ibadah puasa yang dilanjutkan dengan mengeluarkan zakat. Jika dua pesan ini tidak tercapai, puasa seseorang akan kehilangan maknanya yang terdalam.
Dengan kesanggupan menahan diri untuk tidak terjatuh pada dominasi nafsu hedonistis, dengan puasa sesungguhnya kita tengah menumbuhkan dan memperkuat kualitas insani kita dalam rangka meraih kesuksesan hidup yang lebih tinggi kualitasnya. Secara psikologis, bulan Ramadan adalah bulan interupsi, edukasi, dan revitalisasi melawan rutinitas hidup yang cenderung membuat aktivitas kita bersifat mekanistis dan tanpa kedalaman makna.
Interupsi itu antara lain berupa penjungkirbalikan jadwal kehidupan, terutama ditandai dengan larangan makan-minum di siang hari yang secara psikologis perubahan ini akan sangat berpengaruh pada kondisi kejiwaan seseorang.
Tidak sekadar mengubah jadwal makan, seorang yang berpuasa juga sangat disarankan untuk mengintensifkan kesadaran spiritualnya sehingga selama Ramadan seseorang menemukan dirinya ”yang lain” yang sesungguhnya diri yang paling sejati dan fitri, yang selalu merasakan kedekatan dengan Tuhan kapan pun dan di mana pun berada.
Dengan datangnya bulan puasa kita diajak untuk merenung, menggali makna dan arah hidup yang lebih hakiki sehingga terhindar dari kejatuhan menjadi manusia robot yang kehilangan getaran halus kemanusiaan yang bersifat ilahi.
Perhatikan sabda Nabi Muhammad SAW di akhir bulan Sya’ban: Wahai manusia, telah dekat kepadamu bulan yang agung lagi penuh berkah. Bulan yang di dalamnya terdapat satu malam yang lebih baik dari seribu bulan. Bulan yang di dalamnya Allah telah menjadikan puasa sebagai fardhu dan bangun malam sebagai sunah. Barang siapa mendekatkan diri di dalamnya dengan beramal sunah, (pahalanya) seperti orang yang beramal fardu pada bulan lainnya.
Dan barang siapa beramal fardu di dalamnya, pahalanya seperti orang yang beramal tujuh puluh amalan fardu pada bulan lainnya. Inilah bulan kesabaran dan pahala sabar ialah surga. Inilah bulan kasih sayang, bulan saat rezeki seorang mukmin ditambah. Barang siapa memberi makanan berbuka puasa kepada orang yang berpuasa, maka itu menjadi ampunan bagi dosa-dosanya dan memperoleh pahala yang sama tanpa mengurangi pahala orang itu sedikit pun.
Mereka berkata, ”Ya Rasulullah, tidak setiap kami memiliki makanan untuk diberikan kepada orang yang berbuka puasa.” Beliau bersabda, ”Allah memberikan pahala kepada orang yang memberi makanan berbuka puasa meskipun sebutir kurma, seteguk air, atau sesisip susu. Inilah bulan yang di awalnya penuh rahmat, di tengahnya penuh ampunan, dan di akhirannya adalah pembebasan dari api neraka. Barang siapa meringankan beban budak-budaknya pada bulan itu, Allah akan mengampuninya dan membebaskannya dari api neraka.”
Dengan ibadah puasa, kita diajak melakukan transendensi, mengapresiasi, dan menginternalisasi nilai-nilai moral ilahi yang lebih mulia dalam rangka memelihara keluhuran martabat manusia, yang oleh Alquran diistilahkan dengan takwa.
”Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana juga telah diwajibkan atas umat-umat sebelum kamu agar kamu menjadikan manusia yang bertakwa… Maka jika di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barang siapa yang dengankerelaanhatimengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”
Demikian firman Allah berkenaan dengan perintah puasa (QS. 2:183-184). Karena perintah puasa sama sekali tidak dimaksudkan sebagai sikap penyiksaan diri, maka Islam melarang seseorang melakukan puasa sementara dia dalam keadaan sakit ataupun tengah dalam tugas melakukan kerja berat yang memerlukan makan dan minum.
Dari sini terlihat bahwa di balik aturan-aturan formal yang wajib dipenuhi, salah satu hikmah dan sasaran dari ibadah puasa adalah terbinanya pribadi masyarakat yang memiliki komitmen iman dan moral yang kuat sehingga tidak terjatuh pada gaya hidup hedonistis-materialistis. Pribadi dan masyarakat yang sanggup menahan diri dari godaan kenikmatan sesaat dan senantiasa melihat sukses yang lebih besar di hari depan adalah kunci keberhasilan negara-negara maju.
Berdasarkan pernyataan Rasulullah kita bisa membedakan orang yang berpuasa ke dalam tiga kategori. Pertama, mereka yang menahan diri tidak makan dan minum dan melakukan hubungan seksual sejak waktu imsak sampai datangnya waktu berbuka. Kedua, yang derajatnya lebih tinggi, mereka yang juga sanggup menahan diri dari omongan, pikiran, dan perilaku tercela.
Ketiga, setelah dua tingkat di muka terlampaui, mereka yang hatinya senantiasa terpaut dengan Tuhan Yang Mahakasih dan Mahasuci. Puasa pada level pertama lebih cocok dikenakan pada puasa anak-anak kecil, sedangkan mereka yang sanggup mencapai jenjang ketiga inilah barangkali yang layak mereguk Idul Fitri, yaitu prestasi spiritual di mana seseorang berhasil menumbuhkan dan menyegarkan kembali potensi kemanusiaannya yang suci.
Dengan puasa, seseorang mestinya mampu membebaskan dirinya dari sikap penghambaan terhadap tuhan-tuhan palsu, entah tuhan yang berupa jabatan, harta atau keluarga dan sebagainya. Pendeknyatuhanpalsuitumenurut Alquran merupakan perwujudan sikap self-centered, yaitu orang yang selalu memuja dan memenangkan ego sendiri dengan mengorbankan kepentingan orang lain.
Ibadah puasa mengandung pendidikan bagi setiap mukmin untuk senantiasa mawas diri bahwa setiap saat kemanusiaan kita yang paling luhur itu selalu dihadapkan pada bahaya kudeta dari ego-ego rendahan. Melalui ibadah puasa kita diajak melakukan konsolidasi dan menata kembali struktur dan mekanisme ”kerajaan suci” yang berada dalam diri.
Dengan menjinakkan hawa nafsu kemudian rohani selalu terhubung dengan Yang Mahasuci semoga kita tumbuh menjadi pribadi yang tersucikan. Jadi, puasa yang merupakan latihan spiritual diharapkan mampu menguliti topeng-topeng kepalsuan yang secara tidak sadar selalu kita pakai dan pertahankan.
Tanpa disadari sering kali kita telah menjadi kolektor dan pemakai topeng-topeng untuk menutupi wajah kita yang asli. Topeng-topeng itu antara lain berupa jabatan-jabatan, label, kedudukan, profesi, yang kadang kala menghambat pertumbuhan kemanusiaan kita yang senantiasa damba pada kedamaian, kebenaran, kejujuran, dan kebaikan.
PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT
Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Logika ini memiliki titik singgung dan garis impit dengan spirit puasa Ramadan. Sebagaimana puasa, proses modernisasi akan mengalami kegagalan jika para pelakunya tidak mampu menahan diri ketika dihadapkan pada godaan yang menawarkan kenikmatan sesaat sehingga mengorbankan kenikmatan yang lebih besar di hari esok. Dalam ibadah puasa tersimpan pembelajaran hidup agar sanggup menunda kenikmatan sesaat untuk tujuan kenikmatan lebih besar di masa mendatang.
Yang membuat bangsa ini berjalan terseok-seok adalah kita silau terhadap kenikmatan sesaat serta sangat rendah rasa empatinya kepada rakyat miskin. Padahal, dua sikap dasar inilah yang hendak diraih dengan ibadah puasa yang dilanjutkan dengan mengeluarkan zakat. Jika dua pesan ini tidak tercapai, puasa seseorang akan kehilangan maknanya yang terdalam.
Dengan kesanggupan menahan diri untuk tidak terjatuh pada dominasi nafsu hedonistis, dengan puasa sesungguhnya kita tengah menumbuhkan dan memperkuat kualitas insani kita dalam rangka meraih kesuksesan hidup yang lebih tinggi kualitasnya. Secara psikologis, bulan Ramadan adalah bulan interupsi, edukasi, dan revitalisasi melawan rutinitas hidup yang cenderung membuat aktivitas kita bersifat mekanistis dan tanpa kedalaman makna.
Interupsi itu antara lain berupa penjungkirbalikan jadwal kehidupan, terutama ditandai dengan larangan makan-minum di siang hari yang secara psikologis perubahan ini akan sangat berpengaruh pada kondisi kejiwaan seseorang.
Tidak sekadar mengubah jadwal makan, seorang yang berpuasa juga sangat disarankan untuk mengintensifkan kesadaran spiritualnya sehingga selama Ramadan seseorang menemukan dirinya ”yang lain” yang sesungguhnya diri yang paling sejati dan fitri, yang selalu merasakan kedekatan dengan Tuhan kapan pun dan di mana pun berada.
Dengan datangnya bulan puasa kita diajak untuk merenung, menggali makna dan arah hidup yang lebih hakiki sehingga terhindar dari kejatuhan menjadi manusia robot yang kehilangan getaran halus kemanusiaan yang bersifat ilahi.
Perhatikan sabda Nabi Muhammad SAW di akhir bulan Sya’ban: Wahai manusia, telah dekat kepadamu bulan yang agung lagi penuh berkah. Bulan yang di dalamnya terdapat satu malam yang lebih baik dari seribu bulan. Bulan yang di dalamnya Allah telah menjadikan puasa sebagai fardhu dan bangun malam sebagai sunah. Barang siapa mendekatkan diri di dalamnya dengan beramal sunah, (pahalanya) seperti orang yang beramal fardu pada bulan lainnya.
Dan barang siapa beramal fardu di dalamnya, pahalanya seperti orang yang beramal tujuh puluh amalan fardu pada bulan lainnya. Inilah bulan kesabaran dan pahala sabar ialah surga. Inilah bulan kasih sayang, bulan saat rezeki seorang mukmin ditambah. Barang siapa memberi makanan berbuka puasa kepada orang yang berpuasa, maka itu menjadi ampunan bagi dosa-dosanya dan memperoleh pahala yang sama tanpa mengurangi pahala orang itu sedikit pun.
Mereka berkata, ”Ya Rasulullah, tidak setiap kami memiliki makanan untuk diberikan kepada orang yang berbuka puasa.” Beliau bersabda, ”Allah memberikan pahala kepada orang yang memberi makanan berbuka puasa meskipun sebutir kurma, seteguk air, atau sesisip susu. Inilah bulan yang di awalnya penuh rahmat, di tengahnya penuh ampunan, dan di akhirannya adalah pembebasan dari api neraka. Barang siapa meringankan beban budak-budaknya pada bulan itu, Allah akan mengampuninya dan membebaskannya dari api neraka.”
Dengan ibadah puasa, kita diajak melakukan transendensi, mengapresiasi, dan menginternalisasi nilai-nilai moral ilahi yang lebih mulia dalam rangka memelihara keluhuran martabat manusia, yang oleh Alquran diistilahkan dengan takwa.
”Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana juga telah diwajibkan atas umat-umat sebelum kamu agar kamu menjadikan manusia yang bertakwa… Maka jika di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barang siapa yang dengankerelaanhatimengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”
Demikian firman Allah berkenaan dengan perintah puasa (QS. 2:183-184). Karena perintah puasa sama sekali tidak dimaksudkan sebagai sikap penyiksaan diri, maka Islam melarang seseorang melakukan puasa sementara dia dalam keadaan sakit ataupun tengah dalam tugas melakukan kerja berat yang memerlukan makan dan minum.
Dari sini terlihat bahwa di balik aturan-aturan formal yang wajib dipenuhi, salah satu hikmah dan sasaran dari ibadah puasa adalah terbinanya pribadi masyarakat yang memiliki komitmen iman dan moral yang kuat sehingga tidak terjatuh pada gaya hidup hedonistis-materialistis. Pribadi dan masyarakat yang sanggup menahan diri dari godaan kenikmatan sesaat dan senantiasa melihat sukses yang lebih besar di hari depan adalah kunci keberhasilan negara-negara maju.
Berdasarkan pernyataan Rasulullah kita bisa membedakan orang yang berpuasa ke dalam tiga kategori. Pertama, mereka yang menahan diri tidak makan dan minum dan melakukan hubungan seksual sejak waktu imsak sampai datangnya waktu berbuka. Kedua, yang derajatnya lebih tinggi, mereka yang juga sanggup menahan diri dari omongan, pikiran, dan perilaku tercela.
Ketiga, setelah dua tingkat di muka terlampaui, mereka yang hatinya senantiasa terpaut dengan Tuhan Yang Mahakasih dan Mahasuci. Puasa pada level pertama lebih cocok dikenakan pada puasa anak-anak kecil, sedangkan mereka yang sanggup mencapai jenjang ketiga inilah barangkali yang layak mereguk Idul Fitri, yaitu prestasi spiritual di mana seseorang berhasil menumbuhkan dan menyegarkan kembali potensi kemanusiaannya yang suci.
Dengan puasa, seseorang mestinya mampu membebaskan dirinya dari sikap penghambaan terhadap tuhan-tuhan palsu, entah tuhan yang berupa jabatan, harta atau keluarga dan sebagainya. Pendeknyatuhanpalsuitumenurut Alquran merupakan perwujudan sikap self-centered, yaitu orang yang selalu memuja dan memenangkan ego sendiri dengan mengorbankan kepentingan orang lain.
Ibadah puasa mengandung pendidikan bagi setiap mukmin untuk senantiasa mawas diri bahwa setiap saat kemanusiaan kita yang paling luhur itu selalu dihadapkan pada bahaya kudeta dari ego-ego rendahan. Melalui ibadah puasa kita diajak melakukan konsolidasi dan menata kembali struktur dan mekanisme ”kerajaan suci” yang berada dalam diri.
Dengan menjinakkan hawa nafsu kemudian rohani selalu terhubung dengan Yang Mahasuci semoga kita tumbuh menjadi pribadi yang tersucikan. Jadi, puasa yang merupakan latihan spiritual diharapkan mampu menguliti topeng-topeng kepalsuan yang secara tidak sadar selalu kita pakai dan pertahankan.
Tanpa disadari sering kali kita telah menjadi kolektor dan pemakai topeng-topeng untuk menutupi wajah kita yang asli. Topeng-topeng itu antara lain berupa jabatan-jabatan, label, kedudukan, profesi, yang kadang kala menghambat pertumbuhan kemanusiaan kita yang senantiasa damba pada kedamaian, kebenaran, kejujuran, dan kebaikan.
PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT
Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
(nfl)