Puasa dan Masalah Intoleransi Beragama

Senin, 30 Juni 2014 - 16:31 WIB
Puasa dan Masalah Intoleransi Beragama
Puasa dan Masalah Intoleransi Beragama
A A A
LEMBAGA riset Pew Research Center (www.pewresearch.org) yang berpusat di Amerika Serikat mengeluarkan hasil pantauannya terhadap pembatasan kehidupan beragama di seluruh dunia. Pew Research merupakan lembaga nonpartisan yang memberikan informasi kepada publik mengenai berbagai isu, sikap dan tren yang berkembang di Amerika dan dunia.

Tahun 2014, Pew Research mempresentasikan temuannya. Ini adalah kali yang kedua setelah hal sama dilakukan pada batas waktu 1 Juli 2009-30 Juni 2010. Pew melakukan kajian terhadap indeks pembatasan praktik dan ekspresi beragama yang dilakukan oleh negara serta masyarakat terhadap 198 negara di dunia.

Pew melaporkan ranking negara-negara dengan tingkat pembatasan sangat tinggi, tinggi dan rendah baik yang dilakukan oleh negara ataupun masyarakat. Pembatasan yang dilakukan oleh negara itu seperti terlihat dalam aturan perundang-undangan, kebijakan, dan tindakan.

Ada 20 kategori yang dijadikan standar oleh Pew untuk mengukur tingkat pembatasan ini seperti melarang aliran keagamaan tertentu, mencegah konversi, membatasi dakwah agama, atau memberikan perlakuan spesial terhadap kelompok keagamaan tertentu.

Sementara indeks hostilitas sosial merupakan tindakan pembatasan yang dilakukan oleh individu atau kelompok sosial. Termasuk di dalamnya, adalah terorisme, kekerasan sektarian, kebencian atas nama agama dan lainnya.

Dengan menyandarkan pada standar itu, Pew kemudian melakukan ranking. Di antara negara yang masuk kategori pembatasan sangat tinggi kepada warganya di tahun 2012 adalah Mesir, Cina, Iran, Arab Saudi, dan Indonesia.

Problem Kehidupan Beragama
Problem keberagamaan kita ternyata pelik. Tak hanya masyarakat tapi juga dari aparatur negaranya. Bahkan, berdasarkan temuan Pew level pembatasan yang dilakukan oleh negara lebih tinggi ketimbang konflik horizontal yang terjadi di antara masyarakat itu sendiri.

Kita bisa mencatat beberapa kasus yang hingga saat ini memang belum tuntas. Soal pengungsi Jemaat Ahmadiyah di Lombok, Berlarut-larutnya penanganan Muslim Syiah di Sampang, Madura, masalah penggunaan Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin Bogor, status penghayat kepercayaan dan lainnya.

Di negeri multikultur seperti Indonesia, memang tidak mudah mengelola kemajemukan. Masyarakat multi-etnis, multi-budaya, dan multi-agama adalah tantangan untuk membangun masyarakat politik yang unifikatif. Negara yang didasarkan atas satu model identitas dengan sendirinya akan memarginalkan kelompok lain dan tak jarang memproduksi kekerasan. (Bertrand, 2004: 223)

Tengara ini menyindir kalau betapa penyelenggara masih bermasalah dalam tata kelola pelayanan terhadap warganya. Lalu lintas hak belum diatur dengan baik. Negara tidak ada di tengah dan cenderung memihak. Ada state favoritism atau pengistimewaan terhadap kelompok masyarakat tertentu. Ini merupakan medan kritik seperti yang tercermin dalam survei Pew.

Memang masalah tidak semata-mata ada di aparat negara, melainkan masyarakat juga mestinya harus menjadi peace agencies. Dan data Pew itu sesungguhnya tak bisa digeneralisasi bahwa masyarakat Indonesia berada pada rating rendah untuk urusan toleransi.

Saya ingin menyebut kasus Ahmadiyah di Jawa Tengah. Jika di tempat lain seperti Lombok atau Tasikmalaya, Ahmadiyah selalu berada dalam tekanan, tidak demikian halnya di Jawa Tengah. Dalam kurun lima tahun terakhir, tidak ada kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia berat yang menimpa mereka. Bahkan di pedesaan-pedesaan di daerah Wonosobo dan Purbalingga, mereka dapat hidup harmonis dan rukun. Kondisi ini
menjadi tambah menguat saat pemerintah setempat memberikan dukungan.

Semangat Puasa
Momentum Ramadan, hemat saya adalah saat yang tepat untuk menunjukkan salah satu ajaran yang adiluhung dalam Islam, yakni bersikap toleran atau tasamuh. Puasa, merupakan salah satu unsur ritual yang penting. Religious ritual merupakan ekspresi dari semua keterlibatan subjektif dari individu dengan yang sakral.

Meskipun pengalaman secara esensial bersifat privat, manusia mencoba untuk mengkomunikasikannya melalui ekspresi keyakinan dan dalam ritual. Ritual komunal menjadi seting bagi pengelaman keagamaan personal. Salat, meditasi, bernyanyi dan menari adalah setting bersama bagi pengalaman keagamaan personal.

Ritual selalu mengingatkan individu terhadap kepemilikan akan hal ini, menambah intensitas terhadap kebersamaan. Nilai dari definisi, klasifikasi dan konseptualisasi sosial mengenai agama, termasuk yang menyangkut komunitas, bisa dilihat dalam keberhasilannya meneoritisasikan dan menjelaskan fenomena sosial.

Puasa adalah satu ekspresi privat di satu sisi tetapi sesungguhnya aspek sosiologisnya jauh lebih besar. Puasa haruslah berdampak nyata pada upaya menghilangkan sikap intoleran dan diskriminasi atas nama agama dan keyakinan.

Konteks bangsa Indonesia secara khusus dan kemanusiaan pada umumnya, menuntut umat Islam untuk menuangkan semangat puasa dalam kerja nyata. Karenanya, sangat relevan jika puasa menjadi waktu dimana umat Islam menyegarkan kembali semangat toleransi dan perdamaian.

TEDI KHOLILUDIN
Direktur Lembaga Studi Sosial dan Agama (Elsa) Semarang
(hyk)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9538 seconds (0.1#10.140)