Mesjid Laweyan, Saksi Bisu Penyebaran Islam di Kota Solo

Rabu, 09 Juli 2014 - 21:33 WIB
Mesjid Laweyan, Saksi Bisu Penyebaran Islam di Kota Solo
Mesjid Laweyan, Saksi Bisu Penyebaran Islam di Kota Solo
A A A
MASJID Laweyan mungkin masih kalah tenar jika dibandingkan dengan MAsjid Agung Solo atau MAsjid Al Wustho yang berada di Kompleks Pura Mangkunegaran. Tetapi siapa sangka masjid tersebut merupakan saksi bisu penyebaran agama Islam pertama kali di Kota Bengawan.

Keterangan yang didapatkan KORAN SINDO dari Takmir Masjid Laweyan Achmad Sulaiman, masjid tersebut merupakan tonggak penyebaran agama Islam yang ada di Kota Solo dan sekitarnya. Masjid Laweyan merupakan bangunan tempat ibadah umat Islam yang tertua di Kota Bengawan, dibangun pada tahun 1546 masehi.

Masjid yang berada di Kawasan Belukan, Kelurahan Pajang, Kecamatan Laweyan itu dibangun oleh Ki Ageng Henis, penasihat spiritual Kerajaan Pajang pada masa itu.

Kerajaan Pajang merupakan cikal bakal berdirinya Kerajaan Mataram Islam yang ada di Pulau Jawa. Sedangkan Ki Ageng Henis dikenal sebagai sahabat Sunan Kalijaga, serta sahabat dari beberapa ulama Kerajaan Demak Bintoro.

Proses pembangunan masjid yang terletak di sebelah selatan Kampung Batik Laweyan itu memerlukam proses cukup panjang. Pasalnya sebelum diubah menjadi masjid, bangunan itu merupakan sebuah pura yang dimiliki oleh seorang saudagar kaya penganut agama Hindu.

Setelah melakukan proses pendekatan dengan sang pemangku pura, akhirnya Ki Ageng Henis berhasil menularkan faham agama Islam kepada pemangku tersebut. Kemudian sang pemangku langsung memerintahkan Ki Ageng Henis untuk mengubah pura tersebut menjadi sebuah bangunan untuk tempat ibadah umat Islam.

“Dahulunya, itu hanya sebuah langgar. Tetapi lambat laun bangunan itu diperbesar hingga akhirnya menjadi sebuah masjid,” ucap Sulaiman.

Setelah berubah menjadi masjid, syiar agama Islam di Pulau Jawa terutama di Kota Solo, semakin berkembang pesat, hingga akhirnya terbentuklah Kerajaan Mataram Islam yang sekarang pecah menjadi dua bagian, Keraton Kasunanan Surakarta dan Keraton Kasultanan Yogyakarta.

Ditilik dari arsitektur bangunan, menurut Sulaiman, bentuk pura sudah tidak terlihat di masjid itu. Masjid itu sudah mengalami perubahan bentuk akibat pemugaran selama beberapa kali. Pemugaran besar yang pernah dilakukan terakhir terjadi pada sekitar tahun 2.000 oleh pemerintah melalui Kementerian Agama.

Masjid bersejarah itu saat ini digunakan masyarakat sekitar untuk beribadah dan mengaji. Sebagian orang mendatangi masjid ini untuk berziarah, mengingat di kompleks masjid juga terdapat makam sang pendiri yakni Ki Ageng Henis.

“Pada bulan Ramadan biasanya ramai dipakai untuk iktikaf,” tegasnya.
(hyk)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.2947 seconds (0.1#10.140)