Akal Sehat Kemanusiaan
A
A
A
Beberapa waktu lalu, penulis berkesempatan silaturrahim bersama Komunitas
Lima Gunung di Studio Mendut, Magelang, Jawa Tengah. Bersama punggawanya, Pak Tanto, penulis bertemu, bersapa dengan puluhan pegiat kesenian dari berbagai kultur dan latar belakang mereka sebagai manusia.
Benar bahwa mereka mayoritas berasal dari dusun, desa, gunung di wilayah Magelang. Namun tak bisa dipungkiri mereka punya cita-cita, ideologi, keyakinan, bahkan pilihan politik beragam.
Anehnya, dalam kebersamaan sekitar 3 jam itu kami tidak merasakan ada perbedaan. Begitu adzan magrib tiba, semua peserta menyerbu kolak, salak pondoh, dan kontholir (krupuk dari ketela pohon) sebagai pembuka puasa (baik yang berpuasa maupun tidak). Kebersamaan itu semakin meriah seiring menggelapnya langit dan musik religi mengalun.
Dari peristiwa ‘kecil’ itu terasa ada hangat dan bahagia yang jarang hadir di komunitas lain yang pernah penulis alami. Sebagai manusia yang dibesarkan dalam tradisi santri, penulis merasa memperoleh kehormatan bisa bergabung dengan komunitas kesenian yang nota bene-nya bukan santri (abangan, mengikuti term Clifford Geertz santri-priyayi-abangan). Namun begitu, alam bawah sadar (baca: akal sehat) ini meyakini bahwa manusia sesungguhnya tidak bisa dibedakan dari latar belakang budaya, agama, atau asal usul; apalagi hanya soal pilihan capres/cawapres.
Dalam konteks puasa yang menjadi perintah Allah secara personal kepada hamba-Nya, peristiwa itu menyadarkan bahwa manusia tidak bisa dipaksa berkembang untuk menjadi dirinya sendiri. Ia hidup dalam lingkungan yang harus saling berpaut dan saling mengisi untuk mengasah akal sehatnya dalam membangun kemanusiaan. Sebab kemanusiaan atau pemahaman kita sebagai manusia yang harus menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dibutuhkan ekstra akal sehat. Bergabungnya berbagai macam bentuk manusia dengan latar belakangnya dalam satu wadah Komunitas Lima Gunung membuktikan akal sehat sedang bekerja.
Memang puasa tetap menjadi ibadah personal antara hamba dan Allah. Akan tetapi dalam berinteraksi selama momentum puasa Allah justru memerintahkan hamba itu memperbanyak beramal saleh kepada sesama manusia. Sebab derajat kemuliaan seseorang dapat dilihat dari sejauh mana dirinya punya nilai manfaat bagi orang lain (khairunnas anfa’uhum linnas).
Benar ajaran Islam menekankan bahwa puasa menjadi tanggungjawab shaim (orang berpuasa) dengan yang memerintah puasa (Allah). Sebab tidak ada kemungkinan bagi orang lain dapat mengetahui dengan sepenuhnya, apalagi menilai puasa seseorang. Ibadah puasa berbeda dengan salat yang dianjurkan pelaksanaannya dengan berjamaah bersama orang lain.
Puasa juga berbeda dengan ibadah zakat ataupun haji yang dilaksanakan dengan disaksikan dan diketahui orang banyak. Yang mengetahui hakekat pelaksanaan puasa secara utuh hanya Allah SWT sendiri. Oleh karena itu dalam sebuah hadits Qudsi Allah berfirman; "Puasa adalah untuk-Ku dan Akulah yang menanggung pahalanya".
Pemahaman demikian ini secara filosofis melahirkan keyakinan bahwa Tuhan Yang Maha Hadir (Omnipresent) dan Yang Maha Mengetahui terhadap segala sesuatu yang diperbuat oleh manusia (QS Al Hadid: 4). Dengan proses yang semacam ini, manusia lalu menyadari tentang hakikat keterciptaannya sebagai hamba Tuhan (QS Az-Zariyat: 51).
Ajaran keagamaan/tauhid dalam konsepsi Nabi Muhammad SAW erat kaitan dengan perubahan sosial dari tatanan ekploitatif menuju tatanan berkeadilan. Dengan pemahaman ini makna ibadah puasa tidak bisa dilepaskan begitu saja dari konteks sosial agama sebagai agen perubahan. Meskipun kenyataan harus diakui masih kuat pandangan pemeluk Muslim yang menyatakan bahwa "ibadah ya ibadah, tidak ada kaitan dengan hal selain ibadah."
Pandangan seperti ini terjadi karena kegagapan dan kekakuan dalam mengkontekstualisakan teks yang membuat agama kehilangan substansinya dari semangat perubahan sosial. Penyebabnya, elit keagamaan sibuk dengan persoalan ritual transendental semata, demi mencapai surganya Tuhan. Seolah-olah tidak ada kesempatan surga bagi kaum masakin, bodoh dan orang terbelakang. Padahal justru kemiskinan itu yang mendera manusia-manusia sehingga membuat lalai menjalankan perintah-Nya.
Kesadaran demikian dalam perspektif puasa yang lebih luas memberikan dimensi pendidikan kepada manusia untuk selalu konsekuen, penuh tanggung jawab serta mengorientasikan segala aktivitas di dalamhidupnya hanya kepada Allah (QS Al-An'am: 163). Lebih jauh, hal ini kemudian akan membawa manusia untuk menyadari bahwa dirinya tidak bisa lepas dari lingkungannya.
Di sinilah konteks puasa harus menyadarkan manusia akan tugas kekhalifahannya di bumi (khalifah fil ardl). Karena puasa tidak bisa dilepaskan dari dimensi konsekuensional, yakni melakukan amal saleh yang bersifat sosial, kerja kemanusiaan dan menebarkan nilai-nilai
keadilan di bumi tanpa kampanye hitam yang keji dan fitnah. Puasa harus mampu membangun kesadaran kemanusiaan mengenai betapa tidak enak hidup tanpa berinteraksi sesama manusia.
Dimensi berpuasa dalam konteks inilah yang harus mampu membangun solidaritas sosial yang mendalam bagi Indonesia, terutama ketika kita bercita-cita adanya perubahan berupa bergantinya presiden lama ke presiden baru yang lebih baik. Jangan remehkan akal sehat. Wallahu a’lam bish-shawab. (*)
Kholilul Rohman Ahmad
Alumnus Ponpes Al-Muayyad Mangkuyudan Surakarta
Lima Gunung di Studio Mendut, Magelang, Jawa Tengah. Bersama punggawanya, Pak Tanto, penulis bertemu, bersapa dengan puluhan pegiat kesenian dari berbagai kultur dan latar belakang mereka sebagai manusia.
Benar bahwa mereka mayoritas berasal dari dusun, desa, gunung di wilayah Magelang. Namun tak bisa dipungkiri mereka punya cita-cita, ideologi, keyakinan, bahkan pilihan politik beragam.
Anehnya, dalam kebersamaan sekitar 3 jam itu kami tidak merasakan ada perbedaan. Begitu adzan magrib tiba, semua peserta menyerbu kolak, salak pondoh, dan kontholir (krupuk dari ketela pohon) sebagai pembuka puasa (baik yang berpuasa maupun tidak). Kebersamaan itu semakin meriah seiring menggelapnya langit dan musik religi mengalun.
Dari peristiwa ‘kecil’ itu terasa ada hangat dan bahagia yang jarang hadir di komunitas lain yang pernah penulis alami. Sebagai manusia yang dibesarkan dalam tradisi santri, penulis merasa memperoleh kehormatan bisa bergabung dengan komunitas kesenian yang nota bene-nya bukan santri (abangan, mengikuti term Clifford Geertz santri-priyayi-abangan). Namun begitu, alam bawah sadar (baca: akal sehat) ini meyakini bahwa manusia sesungguhnya tidak bisa dibedakan dari latar belakang budaya, agama, atau asal usul; apalagi hanya soal pilihan capres/cawapres.
Dalam konteks puasa yang menjadi perintah Allah secara personal kepada hamba-Nya, peristiwa itu menyadarkan bahwa manusia tidak bisa dipaksa berkembang untuk menjadi dirinya sendiri. Ia hidup dalam lingkungan yang harus saling berpaut dan saling mengisi untuk mengasah akal sehatnya dalam membangun kemanusiaan. Sebab kemanusiaan atau pemahaman kita sebagai manusia yang harus menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dibutuhkan ekstra akal sehat. Bergabungnya berbagai macam bentuk manusia dengan latar belakangnya dalam satu wadah Komunitas Lima Gunung membuktikan akal sehat sedang bekerja.
Memang puasa tetap menjadi ibadah personal antara hamba dan Allah. Akan tetapi dalam berinteraksi selama momentum puasa Allah justru memerintahkan hamba itu memperbanyak beramal saleh kepada sesama manusia. Sebab derajat kemuliaan seseorang dapat dilihat dari sejauh mana dirinya punya nilai manfaat bagi orang lain (khairunnas anfa’uhum linnas).
Benar ajaran Islam menekankan bahwa puasa menjadi tanggungjawab shaim (orang berpuasa) dengan yang memerintah puasa (Allah). Sebab tidak ada kemungkinan bagi orang lain dapat mengetahui dengan sepenuhnya, apalagi menilai puasa seseorang. Ibadah puasa berbeda dengan salat yang dianjurkan pelaksanaannya dengan berjamaah bersama orang lain.
Puasa juga berbeda dengan ibadah zakat ataupun haji yang dilaksanakan dengan disaksikan dan diketahui orang banyak. Yang mengetahui hakekat pelaksanaan puasa secara utuh hanya Allah SWT sendiri. Oleh karena itu dalam sebuah hadits Qudsi Allah berfirman; "Puasa adalah untuk-Ku dan Akulah yang menanggung pahalanya".
Pemahaman demikian ini secara filosofis melahirkan keyakinan bahwa Tuhan Yang Maha Hadir (Omnipresent) dan Yang Maha Mengetahui terhadap segala sesuatu yang diperbuat oleh manusia (QS Al Hadid: 4). Dengan proses yang semacam ini, manusia lalu menyadari tentang hakikat keterciptaannya sebagai hamba Tuhan (QS Az-Zariyat: 51).
Ajaran keagamaan/tauhid dalam konsepsi Nabi Muhammad SAW erat kaitan dengan perubahan sosial dari tatanan ekploitatif menuju tatanan berkeadilan. Dengan pemahaman ini makna ibadah puasa tidak bisa dilepaskan begitu saja dari konteks sosial agama sebagai agen perubahan. Meskipun kenyataan harus diakui masih kuat pandangan pemeluk Muslim yang menyatakan bahwa "ibadah ya ibadah, tidak ada kaitan dengan hal selain ibadah."
Pandangan seperti ini terjadi karena kegagapan dan kekakuan dalam mengkontekstualisakan teks yang membuat agama kehilangan substansinya dari semangat perubahan sosial. Penyebabnya, elit keagamaan sibuk dengan persoalan ritual transendental semata, demi mencapai surganya Tuhan. Seolah-olah tidak ada kesempatan surga bagi kaum masakin, bodoh dan orang terbelakang. Padahal justru kemiskinan itu yang mendera manusia-manusia sehingga membuat lalai menjalankan perintah-Nya.
Kesadaran demikian dalam perspektif puasa yang lebih luas memberikan dimensi pendidikan kepada manusia untuk selalu konsekuen, penuh tanggung jawab serta mengorientasikan segala aktivitas di dalamhidupnya hanya kepada Allah (QS Al-An'am: 163). Lebih jauh, hal ini kemudian akan membawa manusia untuk menyadari bahwa dirinya tidak bisa lepas dari lingkungannya.
Di sinilah konteks puasa harus menyadarkan manusia akan tugas kekhalifahannya di bumi (khalifah fil ardl). Karena puasa tidak bisa dilepaskan dari dimensi konsekuensional, yakni melakukan amal saleh yang bersifat sosial, kerja kemanusiaan dan menebarkan nilai-nilai
keadilan di bumi tanpa kampanye hitam yang keji dan fitnah. Puasa harus mampu membangun kesadaran kemanusiaan mengenai betapa tidak enak hidup tanpa berinteraksi sesama manusia.
Dimensi berpuasa dalam konteks inilah yang harus mampu membangun solidaritas sosial yang mendalam bagi Indonesia, terutama ketika kita bercita-cita adanya perubahan berupa bergantinya presiden lama ke presiden baru yang lebih baik. Jangan remehkan akal sehat. Wallahu a’lam bish-shawab. (*)
Kholilul Rohman Ahmad
Alumnus Ponpes Al-Muayyad Mangkuyudan Surakarta
(ilo)