Orang Pertama Bergelar Amirul Mukminin Ini Kena Marah Rasulullah
Selasa, 14 Juli 2020 - 17:04 WIB
Sementara mereka bersiap-siap demikian, tiba-tiba terlihat di kejauhan sebuah kafilah Quraisy terdiri tempat orang. Mereka terdiri Amr bin Hadhramy, Hakam bin Kaysan, Utsman bin Abdullah, dan saudaranya Al-Mughirah.
Mereka membawa barang dagangannya seperti kulit, anggur, dan sebagainya. Barang-barang itu biasa diperdagangkan kaum Qiraisy.
Abdullah bin Jahsy bermusyawarah dengan pasukannya, apakah kafilah itu akan diserang atau tidak. Soalnya, hari itu adalah hari terakhir bulan Haram. Bulan Haram ialah bulan Dzul Qaidah, Dzul Hijjah, Muharram, dan Rajab. Dalam bulan-bulan tersebut orang Arab dilarang (haram) berperang.
Jika kafilah itu diserang, berarti mereka menyerang dalam bulan Haram, maka berarti pula melanggar kehormatan bulan Haram, dan mengundang kemarahan seluruh bangsa Arab. Jika mereka dibiarkan lewat, mereka masuk ke Tanah Haram (Makkah); berarti membiarkan mereka masuk ke tempat aman, karena di sana dilarang berperang.
Akhirnya mereka memutuskan untuk menyerang dan merampas harta mereka. Mereka berhasil menewaskan seorang anggota rombongan Quraisy. Dua orang tertawan dan seorang lagi meloloskan diri.
Selanjutnya, Abdullah bin Jahsy dan pasukannya membawa tawanan dan harta rampasan ke Madinah.
Setelah mereka tiba di hadapan Rasulullah, ternyata beliau tidak membenarkan tindakan mereka. Beliau marah karena mereka bertindak di luar perintah (tidak disiplin).
“Demi Allah! Saya tidak memerintahkan kalian menyerang, merampas, menawan, apalagi membunuh. Saya memerintahkan mencari berita mengenai orang-orang Quraisy, mengamat-amati gerak-gerik mereka, kemudian melaporkannya kepada saya,” kata Rasulullah marah.
Rasulullah menangguhkan putusan mengenai kedua tawanan dan harta rampasan. Beliau tidak mengusiknya sementara menunggu putusan dan Allah, Abdullah bin Jahsy dan pasukan diberhentikan. Mereka dianggap bersalah karena tidak disiplin, dan bertindak di luar perintah Rasulullah.
Hukuman itu menyebabkan mereka serba sulit. Kaum muslimin mencela mereka, sehingga mereka merasa dikuncilkan.
Kedamaian yang dinikmati Abdullah sejak hijrah ke Madinah, kini bertukar dengan kegelisahan, kesedihan, penyesalan dan rasa tertekan. Bila berpapasan dengan kaum muslimin, mereka berkata mencemooh, “Inikah dia yang melanggar perintah Rasullullah?“
Kesedihan dan penyesalan semakin mencekam ketika mereka ketahui kaum Quraisy mengambil kesempatan dari kasus tersebut.
Orang-orang Quraisy meningkatkan tekanan mereka terhadap Rasulullah. Mereka menggembar-gemborkan di kalangan kabilah-kabilah Arab: “Muhammad menghalalkan bulan Haram.. Muhammad menumpahkan darah dalam bulan Haram. Muhammad merampas dan menawan...”
Abdullah menyadari, karena kecerobohannya dia telah memberikan senjata yang ampuh kepada kaum Quraisy untuk merangkul kabilah-kabilah Arab bersimpati kepada mereka untuk memusuhi Rasulullah dan kaum muslimin. Bahkan dapat mengundang agresi mereka secara fisik.
Tidak dapat dibayangkan bagaimana beratnya beban moril yang ditanggung Abdullah bin Jahsy dan kawan kawan. Dia terjepit antara kawan dan lawan. Allah menguji imannya kembali dengan ujian yang tidak ringan, sampai ujian itu mencapai titik tertentu yang ditetapkan Allah. Namun begitu imannya tidak goyang.
Dia selalu tobat dan istighfar kepada Allah Ta’ala. Setelah ujian itu sampai di puncaknya, padahal mereka senantiasa tobat dan istighfar, maka Allah memberi kabar gembira melalui Nabi-Nya.
Mereka membawa barang dagangannya seperti kulit, anggur, dan sebagainya. Barang-barang itu biasa diperdagangkan kaum Qiraisy.
Abdullah bin Jahsy bermusyawarah dengan pasukannya, apakah kafilah itu akan diserang atau tidak. Soalnya, hari itu adalah hari terakhir bulan Haram. Bulan Haram ialah bulan Dzul Qaidah, Dzul Hijjah, Muharram, dan Rajab. Dalam bulan-bulan tersebut orang Arab dilarang (haram) berperang.
Jika kafilah itu diserang, berarti mereka menyerang dalam bulan Haram, maka berarti pula melanggar kehormatan bulan Haram, dan mengundang kemarahan seluruh bangsa Arab. Jika mereka dibiarkan lewat, mereka masuk ke Tanah Haram (Makkah); berarti membiarkan mereka masuk ke tempat aman, karena di sana dilarang berperang.
Akhirnya mereka memutuskan untuk menyerang dan merampas harta mereka. Mereka berhasil menewaskan seorang anggota rombongan Quraisy. Dua orang tertawan dan seorang lagi meloloskan diri.
Selanjutnya, Abdullah bin Jahsy dan pasukannya membawa tawanan dan harta rampasan ke Madinah.
Setelah mereka tiba di hadapan Rasulullah, ternyata beliau tidak membenarkan tindakan mereka. Beliau marah karena mereka bertindak di luar perintah (tidak disiplin).
“Demi Allah! Saya tidak memerintahkan kalian menyerang, merampas, menawan, apalagi membunuh. Saya memerintahkan mencari berita mengenai orang-orang Quraisy, mengamat-amati gerak-gerik mereka, kemudian melaporkannya kepada saya,” kata Rasulullah marah.
Rasulullah menangguhkan putusan mengenai kedua tawanan dan harta rampasan. Beliau tidak mengusiknya sementara menunggu putusan dan Allah, Abdullah bin Jahsy dan pasukan diberhentikan. Mereka dianggap bersalah karena tidak disiplin, dan bertindak di luar perintah Rasulullah.
Hukuman itu menyebabkan mereka serba sulit. Kaum muslimin mencela mereka, sehingga mereka merasa dikuncilkan.
Kedamaian yang dinikmati Abdullah sejak hijrah ke Madinah, kini bertukar dengan kegelisahan, kesedihan, penyesalan dan rasa tertekan. Bila berpapasan dengan kaum muslimin, mereka berkata mencemooh, “Inikah dia yang melanggar perintah Rasullullah?“
Kesedihan dan penyesalan semakin mencekam ketika mereka ketahui kaum Quraisy mengambil kesempatan dari kasus tersebut.
Orang-orang Quraisy meningkatkan tekanan mereka terhadap Rasulullah. Mereka menggembar-gemborkan di kalangan kabilah-kabilah Arab: “Muhammad menghalalkan bulan Haram.. Muhammad menumpahkan darah dalam bulan Haram. Muhammad merampas dan menawan...”
Abdullah menyadari, karena kecerobohannya dia telah memberikan senjata yang ampuh kepada kaum Quraisy untuk merangkul kabilah-kabilah Arab bersimpati kepada mereka untuk memusuhi Rasulullah dan kaum muslimin. Bahkan dapat mengundang agresi mereka secara fisik.
Tidak dapat dibayangkan bagaimana beratnya beban moril yang ditanggung Abdullah bin Jahsy dan kawan kawan. Dia terjepit antara kawan dan lawan. Allah menguji imannya kembali dengan ujian yang tidak ringan, sampai ujian itu mencapai titik tertentu yang ditetapkan Allah. Namun begitu imannya tidak goyang.
Dia selalu tobat dan istighfar kepada Allah Ta’ala. Setelah ujian itu sampai di puncaknya, padahal mereka senantiasa tobat dan istighfar, maka Allah memberi kabar gembira melalui Nabi-Nya.