Beberapa Inti Pokok Paham Jalan Tengah Imam Asy'ari Menurut Cak Nur
Selasa, 07 Februari 2023 - 05:15 WIB
Cendekiawan muslim Prof Dr Nurcholish Madjid, MA (1939 – 2005) atau populer dipanggil Cak Nur berpendapat sesungguhnya letak keunggulan sistem Imam Asy'ari atas lainnya ialah segi metodologinya, yang dapat diringkaskan sebagai jalan tengah antara berbagai ekstremitas.
"Maka ketika menggunakan metodologi manthiq atau logika Aristoteles, ia tidaklah menggunakannya sebagai kerangka kebenaran itu an sich (seperti terkesan hal itu ada pada para Failasuf), melainkan sekadar alat untuk membuat kejelasan-kejelasan, dan itu pun hanya dalam urutan sekunder," ujar Cak Nur dalam bukunya berjudul "Islam Doktrin dan Peradaban".
Sebab bagi al-Asy'ari, kata Cak Nur, sebagai seorang pendukung Ahl al-Hadits, yang primer ialah teks-teks suci sendiri, baik yang dari Kitab maupun yang dari Sunnah, menurut makna harfiah atau literernya.
Oleh karena itu, kalaupun ia melakukan ta'wil, ia lakukan hanya secara sekunder pula, yaitu dalam keadaan tidak bisa lagi dilakukan penafsiran harfiah.
Hasilnya ialah suatu jalan tengah antara metode harfi kaum Hanbali dan metode ta'wili kaum Mu'tazili.
Sunnisme
Di tengah-tengah berkecamuknya dengan hebat polemik dan kontroversi dalam dunia intelektual Islam saat itu, metode yang ditempuh al-Asy'ari ini merupakan jalan keluar yang memuaskan banyak pihak. "Itulah alasan utama penerimaan paham Asy'ari hampir secara universal, dan itu pula yang membuatnya begitu kukuh dan awet sampai sekarang," jelas Cak Nur.
Meskipun begitu, ujar Cak Nur, inti pokok paham Asy'ari ialah Sunnisme. Hal ini ia kemukakan sendiri dalam bukunya yang sangat bagus dan sistematis, yaitu Maqalat al-Islamiyyin wa Ikhtilaf al-Mushallin ("Pendapat-pendapat Kaum Islam dan Perselisihan Kaum Bersembahyang"), sebuah buku heresiografi (catatan tentang berbagai penyimpangan atau bid'ah) dalam Islam yang sangat dihargai karena kejujuran dan obyektifitas dan kelengkapannya.
Dalam meneguhkan pahamnya sendiri, terlebih dahulu al-Asy'ari menuturkan paham Ahl al-Hadits seperti yang ada pada kaum Hanbali, kemudian mengakhirinya dengan penegasan bahwa ia mendukung paham itu dan menganutnya. Untuk memperoleh gambaran yang cukup lengkap tentang hal yang amat penting ini, di sini dikutip beberapa persoalan mendasar dari keterangan al-Asy'ari yang dimaksud:
Keseluruhan yang dianut para pendukung Hadits dan Sunnah ialah: mengakui adanya Allah, para malaikat, kitab-kitab, rasul-rasul, dan semua yang datang dari sisi Allah dan yang dituturkan oleh para tokoh terpercaya berasal dari Rasulullah SAW, tanpa mereka menolak sedikit pun juga dari itu semua.
Dan Allah adalah Tuhan Yang Maha Esa, Unik (tanpa bandingan), tempat bergantung semua makhluk, tiada Tuhan selain Dia, tidak mengambil isteri, tidak juga anak; dan bahwa Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya; dan bahwa surga itu nyata, neraka itu nyata, dan hari kiamat pasti datang tanpa diragukan lagi, dan bahwa Allah membangkitkan orang yang ada dalam kubur.
Dan bahwa Allah ada di atas 'Arasy (Singgasana), sebagaimana difirmankan ( QS 20 :5), "Dia Yang Maha Kasih, bertahta di atas Singgasana"; dan bahwa Dia mempunyai dua tangan tanpa bagaimana (bi la kayfa) sebagaimana difirmankan ( QS 37 :75), "Aku menciptakan dengan kedua tangan-Ku", dan juga firmanNya ( QS 5 :64), "Bahkan kedua tangan-Nya itu terbuka lebar"; dan Dia itu mempunyai dua mata tanpa bagaimana, sebagaimana difirmankan ( QS 54 :14), "Ia (kapal) itu berjalan dengan mata Kami"; dan Dia itu mempunyai wajah, sebagaimana difirmankan ( QS 55 :27), "Dan tetap kekallah Wajah Tuhanmu Yang Maha Agung dan Maha Mulia."
Dan nama-nama Allah itu tidak dapat dikatakan sebagai lain dari Allah sendiri seperti dikatakan oleh kaum Mu'tazilah dan Khawarij. Mereka (Ahl al-Sunnah) juga mengakui bahwa pada Allah SWT ada pengetahuan ('ilm), sebagaimana difirmankan ( QS 4 :166), "Diturunkan-Nya ia (al-Qur'an) dengan pengetahuanNya", dan juga firman-Nya ( QS 35 :11), "Dan tidaklah ia (wanita) mengandung (bayi) perempuan, juga tidak melahirkannya, kecuali dengan pengetahuan-Nya."...
Mereka (Ahl al-Sunnah) juga berpendapat bahwa tidak ada kebaikan atau keburukan di bumi kecuali yang dikehendaki Allah, dan segala sesuatu terjadi dengan kehendak Allah, sebagaimana difirmankan oleh Dia Yang Maha Tinggi dan Maha Agung ( QS 81 :29), "Dan kamu (manusia) tidaklah (mampu) menghendaki sesuatu jika tidak Allah menghendakinya", dan sebagaimana diucapkan oleh orang-orang Muslim, "Apa pun yang dikehendaki Allah akan terjadi, dan apa pun yang tidak dikehendaki-Nya tidak akan terjadi."
Mereka juga berpendapat bahwa tidak seorang pun mampu melakukan sesuatu sebelum Dia (Allah) melakukannya, juga tidak seorang pun mampu keluar dari pengetahuan Allah, atau melakukan sesuatu yang Allah mengetahui bahwa ia tidak melakukannya.
Mereka mengakui bahwa tidak ada Pencipta selain Allah, dan bahwa keburukan para hamba (manusia) diciptakan oleh Allah, dan bahwa semua perilaku manusia diciptakan Allah 'azza wa jalla, dan bahwa manusia itu tidak berdaya menceritakan sedikit pun dari padanya.
Dan bahwa Allah memberi petunjuk kepada kaum beriman untuk taat kepada-Nya, serta menghinakan kaum kafir. Allah mengasihi kaum beriman, memperhatikan mereka, membuat mereka orang-orang saleh, membimbing mereka, dan Dia tidak mengasihi kaum kafir, tidak membuat mereka saleh, serta tidak membimbing mereka. Seandainya Allah membuat mereka saleh, tentulah mereka menjadi saleh, dan seandainya Allah membimbing mereka tentulah mereka menjadi berpetunjuk.
Dan Allah SWT berkuasa membuat orang-orang kafir itu saleh, mengasihi mereka sehingga menjadi beriman; tetapi Dia berkehendak untuk tidak membuat mereka saleh dan (tidak) mengasihi mereka sehingga menjadi beriman, melainkan Dia berkehendak bahwa mereka itu kafir adanya seperti Dia ketahui, menghinakan mereka, menyesatkan mereka dan memateri hati mereka.
Dan bahwa baik dan buruk dengan keputusan (qadla') dan ketentuan (qadar) Allah, dan mereka (Ahl al-Sunnah) beriman kepada qadla' dan qadar Allah itu, yang baik dan yang buruk, serta yang manis dan yang pahit.
Mereka juga beriman bahwa mereka tidak memiliki pada diri mereka sendiri (memberi) manfaat atau madarat, kecuali dengan yang dikehendaki Allah, sebagaimana difirmankan-Nya, dan mereka (Ahl al-Sunnah) itu menyerahkan segala perkaranya kepada Allah SWT dan mengakui adanya kebutuhan kepada Allah dalam setiap waktu serta keperluan kepada-Nya dalam setiap keadaan.
Selanjutnya al-Asy'ari menuturkan pokok-pokok pandangan Sunni lainnya seperti bahwa al-Qur'an adalah kalam Ilahi yang bukan makhluk, bahwa kaum beriman akan melihat Allah di surga "seperti melihat bulan purnama di waktu malam".
Bahwa Ahl al-Qiblah (orang yang melakukan sembahyang dengan menghadap kiblat di Mekkah) tidak boleh dikafirkan meskipun melakukan dosa besar seperti mencuri dan zina.
Bahwa Nabi akan memberi syafa'at kepada umatnya, termasuk kepada mereka yang melakukan dosa-dosa besar.
Bahwa iman menyangkut ucapan dan perbuatan yang kadarnya bisa naik dan turun.
Bahwa nama-nama Allah adalah Allah itu sendiri (bukan sesuatu yang wujudnya terpisah).
Bahwa seseorang yang berdosa besar tidak mesti dihukumi masuk neraka, sebagaimana seseorang yang bertauhid tidak mesti dihukumi masuk surga sampai Allah sendiri yang menentukan.
Bahwa Allah memberi pahala kepada siapa yang dikehendaki dan memberi siksaan kepada siapa saja yang dikehendaki.
Bahwa apa saja yang sampai ke tangan kita dari Rasulullah SAW melalui riwayat yang handal harus diterima, tanpa boleh bertanya: "Bagaimana?" ataupun "Mengapa?", karena semuanya itu bid'ah.
Bahwa Allah tidak memerintahkan kejahatan, melainkan melarangnya; dan Dia memerintahkan kebaikan dengan tidak meridlai kejahatan, meskipun Dia menghendaki kejahatan itu.
Bahwa keunggulan para sahabat Nabi seperti manusia pilihan Allah harus diakui, dengan menghindarkan diri dari pertengkaran tentang mereka, besar maupun kecil, dan bahwa urutan keunggulan Khalifah yang empat ialah pertama-tama Abu Bakar, kemudian 'Umar, disusul 'Utsman, dan diakhiri dengan 'Ali.
Selanjutnya, menurut al-Asy'ari, paham Sunni juga mengharuskan taat mengikuti imam atau pemimpin, dengan bersedia bersembahyang sebagai makmum di belakang mereka, tidak peduli apakah mereka itu orang baik (barr) ataupun orang jahat (fajir).
Disebutkan pula bahwa kaum Sunni mempercayai akan munculnya Dajjal di akhir zaman, dan bahwa 'Isa al-Masih akan membunuhnya. Lalu ditegaskannya pula bahwa Ahl al-Sunnah itu berpendapat harus menjauhi setiap penyeru bid'ah; harus rajin membaca al-Qur'an, mengkaji Sunnah dan mempelajari fiqh dengan rendah hati, tenang, dan budi yang baik; harus berbuat banyak kebaikan dan tidak menyakiti orang; harus meninggalkan gunjingan, adu domba dan umpatan, dan terlalu mencari-cari makan dan minum!
Demikian kutipan sebagian dari keterangan al-Asy'ari yang panjang-lebar. Pada akhir keterangannya itu, al-Asy'ari menyatakan: "Dan kita pun berpendapat seperti semua pendapat yang telah kita sebutkan itu, dan kepadanyalah kita bermazhab." [Abd al-Hasan 'Ali ibn Isma'il al-Asy'ari, Maqalat al-Islamiyyin wa Ikhtilaf al-Mushallin, edisi Muhammad Muhy-al-Din 'Abd-al Hamid 2 jilid (kairo: Maktabat al-Nahdlat al-Mishriyyah, 1969), jil, 1, hh. 345-50]
"Maka ketika menggunakan metodologi manthiq atau logika Aristoteles, ia tidaklah menggunakannya sebagai kerangka kebenaran itu an sich (seperti terkesan hal itu ada pada para Failasuf), melainkan sekadar alat untuk membuat kejelasan-kejelasan, dan itu pun hanya dalam urutan sekunder," ujar Cak Nur dalam bukunya berjudul "Islam Doktrin dan Peradaban".
Sebab bagi al-Asy'ari, kata Cak Nur, sebagai seorang pendukung Ahl al-Hadits, yang primer ialah teks-teks suci sendiri, baik yang dari Kitab maupun yang dari Sunnah, menurut makna harfiah atau literernya.
Oleh karena itu, kalaupun ia melakukan ta'wil, ia lakukan hanya secara sekunder pula, yaitu dalam keadaan tidak bisa lagi dilakukan penafsiran harfiah.
Hasilnya ialah suatu jalan tengah antara metode harfi kaum Hanbali dan metode ta'wili kaum Mu'tazili.
Baca Juga
Sunnisme
Di tengah-tengah berkecamuknya dengan hebat polemik dan kontroversi dalam dunia intelektual Islam saat itu, metode yang ditempuh al-Asy'ari ini merupakan jalan keluar yang memuaskan banyak pihak. "Itulah alasan utama penerimaan paham Asy'ari hampir secara universal, dan itu pula yang membuatnya begitu kukuh dan awet sampai sekarang," jelas Cak Nur.
Meskipun begitu, ujar Cak Nur, inti pokok paham Asy'ari ialah Sunnisme. Hal ini ia kemukakan sendiri dalam bukunya yang sangat bagus dan sistematis, yaitu Maqalat al-Islamiyyin wa Ikhtilaf al-Mushallin ("Pendapat-pendapat Kaum Islam dan Perselisihan Kaum Bersembahyang"), sebuah buku heresiografi (catatan tentang berbagai penyimpangan atau bid'ah) dalam Islam yang sangat dihargai karena kejujuran dan obyektifitas dan kelengkapannya.
Dalam meneguhkan pahamnya sendiri, terlebih dahulu al-Asy'ari menuturkan paham Ahl al-Hadits seperti yang ada pada kaum Hanbali, kemudian mengakhirinya dengan penegasan bahwa ia mendukung paham itu dan menganutnya. Untuk memperoleh gambaran yang cukup lengkap tentang hal yang amat penting ini, di sini dikutip beberapa persoalan mendasar dari keterangan al-Asy'ari yang dimaksud:
Keseluruhan yang dianut para pendukung Hadits dan Sunnah ialah: mengakui adanya Allah, para malaikat, kitab-kitab, rasul-rasul, dan semua yang datang dari sisi Allah dan yang dituturkan oleh para tokoh terpercaya berasal dari Rasulullah SAW, tanpa mereka menolak sedikit pun juga dari itu semua.
Dan Allah adalah Tuhan Yang Maha Esa, Unik (tanpa bandingan), tempat bergantung semua makhluk, tiada Tuhan selain Dia, tidak mengambil isteri, tidak juga anak; dan bahwa Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya; dan bahwa surga itu nyata, neraka itu nyata, dan hari kiamat pasti datang tanpa diragukan lagi, dan bahwa Allah membangkitkan orang yang ada dalam kubur.
Dan bahwa Allah ada di atas 'Arasy (Singgasana), sebagaimana difirmankan ( QS 20 :5), "Dia Yang Maha Kasih, bertahta di atas Singgasana"; dan bahwa Dia mempunyai dua tangan tanpa bagaimana (bi la kayfa) sebagaimana difirmankan ( QS 37 :75), "Aku menciptakan dengan kedua tangan-Ku", dan juga firmanNya ( QS 5 :64), "Bahkan kedua tangan-Nya itu terbuka lebar"; dan Dia itu mempunyai dua mata tanpa bagaimana, sebagaimana difirmankan ( QS 54 :14), "Ia (kapal) itu berjalan dengan mata Kami"; dan Dia itu mempunyai wajah, sebagaimana difirmankan ( QS 55 :27), "Dan tetap kekallah Wajah Tuhanmu Yang Maha Agung dan Maha Mulia."
Dan nama-nama Allah itu tidak dapat dikatakan sebagai lain dari Allah sendiri seperti dikatakan oleh kaum Mu'tazilah dan Khawarij. Mereka (Ahl al-Sunnah) juga mengakui bahwa pada Allah SWT ada pengetahuan ('ilm), sebagaimana difirmankan ( QS 4 :166), "Diturunkan-Nya ia (al-Qur'an) dengan pengetahuanNya", dan juga firman-Nya ( QS 35 :11), "Dan tidaklah ia (wanita) mengandung (bayi) perempuan, juga tidak melahirkannya, kecuali dengan pengetahuan-Nya."...
Mereka (Ahl al-Sunnah) juga berpendapat bahwa tidak ada kebaikan atau keburukan di bumi kecuali yang dikehendaki Allah, dan segala sesuatu terjadi dengan kehendak Allah, sebagaimana difirmankan oleh Dia Yang Maha Tinggi dan Maha Agung ( QS 81 :29), "Dan kamu (manusia) tidaklah (mampu) menghendaki sesuatu jika tidak Allah menghendakinya", dan sebagaimana diucapkan oleh orang-orang Muslim, "Apa pun yang dikehendaki Allah akan terjadi, dan apa pun yang tidak dikehendaki-Nya tidak akan terjadi."
Mereka juga berpendapat bahwa tidak seorang pun mampu melakukan sesuatu sebelum Dia (Allah) melakukannya, juga tidak seorang pun mampu keluar dari pengetahuan Allah, atau melakukan sesuatu yang Allah mengetahui bahwa ia tidak melakukannya.
Mereka mengakui bahwa tidak ada Pencipta selain Allah, dan bahwa keburukan para hamba (manusia) diciptakan oleh Allah, dan bahwa semua perilaku manusia diciptakan Allah 'azza wa jalla, dan bahwa manusia itu tidak berdaya menceritakan sedikit pun dari padanya.
Dan bahwa Allah memberi petunjuk kepada kaum beriman untuk taat kepada-Nya, serta menghinakan kaum kafir. Allah mengasihi kaum beriman, memperhatikan mereka, membuat mereka orang-orang saleh, membimbing mereka, dan Dia tidak mengasihi kaum kafir, tidak membuat mereka saleh, serta tidak membimbing mereka. Seandainya Allah membuat mereka saleh, tentulah mereka menjadi saleh, dan seandainya Allah membimbing mereka tentulah mereka menjadi berpetunjuk.
Dan Allah SWT berkuasa membuat orang-orang kafir itu saleh, mengasihi mereka sehingga menjadi beriman; tetapi Dia berkehendak untuk tidak membuat mereka saleh dan (tidak) mengasihi mereka sehingga menjadi beriman, melainkan Dia berkehendak bahwa mereka itu kafir adanya seperti Dia ketahui, menghinakan mereka, menyesatkan mereka dan memateri hati mereka.
Dan bahwa baik dan buruk dengan keputusan (qadla') dan ketentuan (qadar) Allah, dan mereka (Ahl al-Sunnah) beriman kepada qadla' dan qadar Allah itu, yang baik dan yang buruk, serta yang manis dan yang pahit.
Mereka juga beriman bahwa mereka tidak memiliki pada diri mereka sendiri (memberi) manfaat atau madarat, kecuali dengan yang dikehendaki Allah, sebagaimana difirmankan-Nya, dan mereka (Ahl al-Sunnah) itu menyerahkan segala perkaranya kepada Allah SWT dan mengakui adanya kebutuhan kepada Allah dalam setiap waktu serta keperluan kepada-Nya dalam setiap keadaan.
Selanjutnya al-Asy'ari menuturkan pokok-pokok pandangan Sunni lainnya seperti bahwa al-Qur'an adalah kalam Ilahi yang bukan makhluk, bahwa kaum beriman akan melihat Allah di surga "seperti melihat bulan purnama di waktu malam".
Bahwa Ahl al-Qiblah (orang yang melakukan sembahyang dengan menghadap kiblat di Mekkah) tidak boleh dikafirkan meskipun melakukan dosa besar seperti mencuri dan zina.
Bahwa Nabi akan memberi syafa'at kepada umatnya, termasuk kepada mereka yang melakukan dosa-dosa besar.
Bahwa iman menyangkut ucapan dan perbuatan yang kadarnya bisa naik dan turun.
Bahwa nama-nama Allah adalah Allah itu sendiri (bukan sesuatu yang wujudnya terpisah).
Bahwa seseorang yang berdosa besar tidak mesti dihukumi masuk neraka, sebagaimana seseorang yang bertauhid tidak mesti dihukumi masuk surga sampai Allah sendiri yang menentukan.
Bahwa Allah memberi pahala kepada siapa yang dikehendaki dan memberi siksaan kepada siapa saja yang dikehendaki.
Bahwa apa saja yang sampai ke tangan kita dari Rasulullah SAW melalui riwayat yang handal harus diterima, tanpa boleh bertanya: "Bagaimana?" ataupun "Mengapa?", karena semuanya itu bid'ah.
Bahwa Allah tidak memerintahkan kejahatan, melainkan melarangnya; dan Dia memerintahkan kebaikan dengan tidak meridlai kejahatan, meskipun Dia menghendaki kejahatan itu.
Bahwa keunggulan para sahabat Nabi seperti manusia pilihan Allah harus diakui, dengan menghindarkan diri dari pertengkaran tentang mereka, besar maupun kecil, dan bahwa urutan keunggulan Khalifah yang empat ialah pertama-tama Abu Bakar, kemudian 'Umar, disusul 'Utsman, dan diakhiri dengan 'Ali.
Selanjutnya, menurut al-Asy'ari, paham Sunni juga mengharuskan taat mengikuti imam atau pemimpin, dengan bersedia bersembahyang sebagai makmum di belakang mereka, tidak peduli apakah mereka itu orang baik (barr) ataupun orang jahat (fajir).
Disebutkan pula bahwa kaum Sunni mempercayai akan munculnya Dajjal di akhir zaman, dan bahwa 'Isa al-Masih akan membunuhnya. Lalu ditegaskannya pula bahwa Ahl al-Sunnah itu berpendapat harus menjauhi setiap penyeru bid'ah; harus rajin membaca al-Qur'an, mengkaji Sunnah dan mempelajari fiqh dengan rendah hati, tenang, dan budi yang baik; harus berbuat banyak kebaikan dan tidak menyakiti orang; harus meninggalkan gunjingan, adu domba dan umpatan, dan terlalu mencari-cari makan dan minum!
Demikian kutipan sebagian dari keterangan al-Asy'ari yang panjang-lebar. Pada akhir keterangannya itu, al-Asy'ari menyatakan: "Dan kita pun berpendapat seperti semua pendapat yang telah kita sebutkan itu, dan kepadanyalah kita bermazhab." [Abd al-Hasan 'Ali ibn Isma'il al-Asy'ari, Maqalat al-Islamiyyin wa Ikhtilaf al-Mushallin, edisi Muhammad Muhy-al-Din 'Abd-al Hamid 2 jilid (kairo: Maktabat al-Nahdlat al-Mishriyyah, 1969), jil, 1, hh. 345-50]
(mhy)
Lihat Juga :