Taqlid dalam Makna Generik yang Positif Menurut Nurcholish Madjid

Rabu, 04 Januari 2023 - 14:07 WIB
loading...
Taqlid dalam Makna Generik yang Positif Menurut Nurcholish Madjid
Nurcholish Madjid. Foto/Ilustrasi: Ist
A A A
Pemikir Islam, Prof Dr Nurcholish Madjid, MA (17 Maret 1939 – 29 Agustus 2005) atau populer dipanggil Cak Nur, mengatakan dalam pengembangan suatu pemikiran keagamaan tidak mungkin dihindari kewajiban memperhatikan hal-hal parametris dalam sistem ajaran sumber-sumber suci, sebab hal-hal parametris itulah yang menjadi tulang punggung kerangka ajarannya yang abadi (sesuai untuk segala zaman dan tempat).

Dia menjelaskan hal-hal parametris itu dalam Kitab Suci disebut sebagai al-muhkamat (petunjuk-petunjuk dengan makna jelas), yang juga disebut sebagai prinsip dasar atau induk ajaran Kitab Suci (umm al-Kitab), kebalikan petunjuk-petunjuk metaforikal, alegoris dan interpretatif (mutasyabihat).



Dalam QS Ali Imran ayat 7 Allah berfirman:

"Dia (Tuhan)-lah yang menurunkan kepadamu (Muhammad) Kitab Suci. Di antara isinya ayat-ayat muhkamat (jamak dari muhkam) yang merupakan induk (ajaran) Kitab Suci itu, dan lainnya berupa ayat-ayat mutasyabihat (jamak dari mutasyabih). Adapun mereka yang dalam hatinya terdapat kecenderungan kurang baik (serong), maka akan (hanya) mencari yang mutasyabih saja dari Kitab Suci itu dengan tujuan menciptakan perpecahan dan mencari-cari maknanya yang tersembunyi (membuat-buat interpretasi). Padahal tidak ada yang mengetahui maknanya yang tersembunyi itu kecuali Allah. Sedangkan orang-orang yang mendalam pengetahuannya akan berkata, "kami beriman dengan ayat-ayat itu, sebab semuanya dari Tuhan kami. Dan memang tidaklah menangkap pesan ini kecuali mereka yang berpengertian."

Dalam buku berjudul "Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah" Bab Taqlid dan Ijtihad Masalah Kontinuitas dan Kreativitas dalam Memahami Pesan Agama",Nurcholish Madjid mengatakan karena keontentikan dan konsistensi mengimplikasikan penerimaan terhadap suatu postulat, premis atau formula dasar, dengan sendirinya ia juga mengandung makna taqlid menurut makna asli (generik) kata-kata itu, yakni, sebelum ia menjadi istilah teknis dengan makna sekunder seperti kini umum dipahami.

"Sebab, taqlid dalam arti generik merupakan unsur sikap menerima kebenaran suatu postulat berdasarkan pengakuan bahwa sumber atau pembuat postulat mempunyai wewenang penuh dan tinggi," ujarnya.

Cak Nur menjelaskan karena salah satu konsekuensi konsep tentang Tuhan ialah konsep tentang Dia Yang Maha Berwenang, maka menerima dengan penuh keyakinan terhadap kebenaran ajaran-Nya dengan sendirinya merupakan implikasi kepercayaan atau iman kepada Rasul dan ajaran-ajaran yang dibawa-Nya.



Ini bisa dipahami dari firman, QS al-Nisa 4 :65, "Tidak, demi Tuhanmu, mereka tidaklah beriman sehingga mereka mengangkatmu sebagai hakim berkenaan dengan hal-hal yang diperselisihkan di antara mereka, kemudian mereka tidak mendapati dalam diri mereka keberatan terhadap apa yang telah kau putuskan, dan mereka pasrah sepasrah-pasrahnya."

Iman yang sempurna, kata Cak Nur, dengan sendirinya mengandung semangat sikap pasrah sepenuhnya.

Segi lain tentang makna penting taqlid ialah yang menyangkut masalah akumulasi informasi dan pengalaman.

Taqlid sebagai pola penerimaan otoritas pendahulu dalam rentetan pengembangan ilmu dan pemikiran hampir tidak mungkin dihindari. Sebab, ekonomi pemikiran tidak mengizinkan terlalu banyak bersandar pada kemampuan pribadi secara terpisah dan atomistis, sehingga segala sesuatu akan menjadi tanggung jawab sendiri, dengan keharusan merintis setiap pengembangan dari titik nol (from the scratch).

Pengetahuan manusia seperti yang ada sekarang ini yang menandai zaman modern ("iptek") adalah hasil kumulatif penggalian informasi dan pengalaman yang melibatkan hampir seluruh ummat manusia sepanjang sejarah yang telah berjalan ribuan tahun.

Deretan pengalaman dan pengawetan serta pelembagaan dalam karya-karya intelektual sepanjang masa itu menjadi pohon tradisi intelektual universal umat manusia, yang tanpa itu kekayaan dan kesuburan seperti yang ada sekarang akan menjadi sama sekali mustahil. Memulai suatu pengembangan pemikiran dan dalam hal ini juga pengembangan bidang budaya manusia manapun dari titik nol akan hanya berakhir dengan kemiskinan (malah pemiskinan - improverishment) hasil usaha itu sendiri.



Cak Nur menjelaskan karena itu taqlid dalam makna generik yang positif merupakan dasar penumbuhan kekayaan intelektual yang integral, yakni integral dalam arti bahwa suatu bangunan tradisi intelektual memiliki akar-akar dalam sejarah.

"Jadi, keotentikan historis, yang keontentikan itu sendiri diperlukan jika diinginkan daya kembang dan kreativitas yang maksimal. Maka, untuk sekadar misal, seorang Albert Camus dalam tradisi intelektual Eropa (Barat) yang telah tampil dengan filsafat kontemporernya tentang eksistensialisme absurdity yang kontroversial itu pun harus dipahami sebagai bagian integral tradisi intelektual di sana yang akar-akarnya bisa ditelusuri jauh ke masa lalu, sampai ke masa Yunani kuno," kata Cak Nur.

Albert Camus, dalam jalan pikiran orang-orang Barat, tidak dapat dipahami tanpa melihat salah satu jalur konsistensi dan benang merah pemikiran Barat itu sendiri, melintasi zaman sampai ke masa lalu yang sangat jauh. Sekalipun konsep absurdity dapat dilihat sebagai Camus, namun sesungguhnya ia adalah salah satu hasil pertumbuhan kumulatif pemikiran Barat. Ia memiliki keabsahan sebagai pemikiran Barat yang integral.

Jadi, menurut Cak Nur, keintegralan dan keotentikan diperkuat oleh adanya konstinuitas tradisi yang berkembang. Tetapi segi positif taqlid ini hanya terwujud jika ia tidak menjadi paham tersendiri yang tertutup, yang tumbuh menjadi "isme" terpisah. Sebab, taqlid seperti ini (yang barangkali lebih tepat disebut "taqlidisme") mengisyaratkan sikap penyucian masa lampau dan pemutlakan otoritas tokoh sejarah.
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2753 seconds (0.1#10.140)