Muhammadiyah Dekat dengan Kaum Proletar: Simak Pidato Kiai Ahmad Dahlan
loading...
A
A
A
MUHAMMADIYAH kini tengah memperingati milad yang ke-112. Organisasi yang didirikan KH Ahmad Dahlan ini lahir pada 8 Dzulhijjah 1330 H atau bertepatan dengan 18 November 1912 M. Muhammadiyah dan KH Ahmad Dahlan dikenal berjuang untuk kalangan tertindas, kaum mustadl’afin.
Muhammadiyah mengembangkan berbagai lembaga sebagai implementasi praksis ajaran Islam, berikut pengelolaan (manajemen) secara fungsional. "Seluruhnya dimaksudkan sebagai aksi pemberdayaan kaum tertindas, pinggiran, mustadl’afin, atau si ma’un, yang dalam bahasa kaum Marxis lebih populer dengan sebutan kaum proletar," tulis Prof. Dr. Abdul Munir Mulkhan dalam dalam buku "KH Ahmad Dahlan (1868-1923)" bab"Kiai Ahmad Dahlan Mengganti Jimat, Dukun, dan Yang Keramat Dengan Ilmu Pengetahuan Basis Pencerahan Umat Bagi Pemihakan Terhadap Si Ma’un"
Buku ini diterbitkan Museum Kebangkitan Nasional Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2015. Abdul Munir Mulkan adalah Guru Besar tetap UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Guru Besar Emiritus Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Menurutnya, mereka yang disentuh Muhammadiyah tidak semata-mata bagi mereka yang secara terbuka menyatakan memeluk agama Islam, melainkan juga bagi keseluruhan manusia yang tergolong ke dalam si ma’un tersebut.
Gerakan pembaruan Muhammadiyah yang didirikan Kiai Ahmad Dahlan tersebut tampak kurang mendapat respons positif dari kalangan kraton.
Dukungan pada gagasan Kiai Ahmad Dahlan lebih banyak datang dari kaum priyayi muda. Kelompok priyayi muda ini pada umumnya tergabung dalam organisasi Sarekat Islam dan Budi Utomo. Sebagian di antara mereka juga merupakan murid sekolah yang didirikan Kiai Ahmad Dahlan. Mereka ini di kemudian hari juga merangkap menjadi anggota Muhammadiyah.
Praksis sosial-budaya bagi si ma’un tersebut bisa dibaca antara lain dari legenda pengajaran surat Al-Ma’un dan pidato dalam Kongres 1922.
Persoalan serupa juga bisa dibaca dari berbagai dokumen yang lahir pada masa kepemimpinan Kiai Ahmad Dahlan hingga beberapa tahun sesudah pendiri Muhammadiyah itu wafat pada Februari 1923.
Dari berbagai dokumen tersebut kita menemukan prinsip terbuka dalam keanggotaan aktivis gerakan seperti dalam Anggaran Rumah Tangga Muhammadiyah pertama pada 1914. Informasi serupa bisa kita baca dari dokumen yang kemudian dikenal sebagai “Asas PKO” yang terbit pada 1924.
Selain itu kita bisa membaca teks pidato sambutan dr. Soetomo, sebagai penasihat medis, saat mewakili Hoofd Bestuur (Pimpinan Pusat) Muhammadiyah meresmikan Rumah Sakit (Poliklinik) yang kedua di Surabaya pada 1924.
Dalam naskah tentang prasaran PP (Pimpinan Pusat) Muhammadiyah (waktu itu Hoofd Bestur) pada Konggres Islam Cirebon tahun 1921, Kiai Ahmad Dahlan prihatin terhadap lemahnya umat negeri ini.
“Pada sekarang itu lihatlah ke kanan kiri, bagaimana hidup orang Islam. Tidak perlu menengok negeri yang jauh-jauh, misalnya Afrika, Turki, Hindustan atau lain lainnya. Lihatlah tanah kita sendiri, yakni tanah Hindia Timur atau tanah Jawa. Bukankah penghidupannya banyak yang susah? Bukankah masih banyak orang yang gugon-tuhon (takhayyul) sebab belum mengerti agama?"
"Bukankah masih banyak sekali orang yang belum dapat membaca dan menulis?"
"Memang tanah Islam Hindia Timur perlu sekali mendapat penerangan Islam, supaya terhindar dari pada kegelapan, dapat pertolongan, supaya terhindar dari pada sengsara, naik kepada kemuliaan Islam. Siapa seharusnya, yang wajib menolong? Tiada ada yang lebih wajib menolong lain dari pada kita orang, orang Islam di Hindia.”
Abdul Munir Mulkhan menjelaskan sebelum Kiai Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah dengan beragam kegiatan sosial, kehidupan sosial umat warga negeri ini (waktu itu Hindia Belanda) diselimuti takhayul dan jimat serta hal-hal yang keramat. Kehidupan warga negeri ini berada dalam perangkap kemiskinan dan ketertindasan dalam kategori mustadl’afin atau proleratiat, jika kita pakai bahasa orang-orang Marxis.
Perangkap kemiskinan tersebut menjadi semakin berganda ketika ibadah sosial seperti penyembelihan hewan kurban, zakat fitrah dan zakat harta (maal), tidak dibagikan kepada fakir miskin dan yang berhak melainkan diperuntukkan bagi pemimpin agama.
Kiai Ahmad Dahlan, mengubah jimat dan takhayul itu dengan ilmu pengetahuan, sekaligus mengembangkan pola pengelolaan yang lebih terbuka (baca; manajemen modern).
Muhammadiyah mengembangkan berbagai lembaga sebagai implementasi praksis ajaran Islam, berikut pengelolaan (manajemen) secara fungsional. "Seluruhnya dimaksudkan sebagai aksi pemberdayaan kaum tertindas, pinggiran, mustadl’afin, atau si ma’un, yang dalam bahasa kaum Marxis lebih populer dengan sebutan kaum proletar," tulis Prof. Dr. Abdul Munir Mulkhan dalam dalam buku "KH Ahmad Dahlan (1868-1923)" bab"Kiai Ahmad Dahlan Mengganti Jimat, Dukun, dan Yang Keramat Dengan Ilmu Pengetahuan Basis Pencerahan Umat Bagi Pemihakan Terhadap Si Ma’un"
Buku ini diterbitkan Museum Kebangkitan Nasional Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2015. Abdul Munir Mulkan adalah Guru Besar tetap UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Guru Besar Emiritus Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Menurutnya, mereka yang disentuh Muhammadiyah tidak semata-mata bagi mereka yang secara terbuka menyatakan memeluk agama Islam, melainkan juga bagi keseluruhan manusia yang tergolong ke dalam si ma’un tersebut.
Gerakan pembaruan Muhammadiyah yang didirikan Kiai Ahmad Dahlan tersebut tampak kurang mendapat respons positif dari kalangan kraton.
Dukungan pada gagasan Kiai Ahmad Dahlan lebih banyak datang dari kaum priyayi muda. Kelompok priyayi muda ini pada umumnya tergabung dalam organisasi Sarekat Islam dan Budi Utomo. Sebagian di antara mereka juga merupakan murid sekolah yang didirikan Kiai Ahmad Dahlan. Mereka ini di kemudian hari juga merangkap menjadi anggota Muhammadiyah.
Praksis sosial-budaya bagi si ma’un tersebut bisa dibaca antara lain dari legenda pengajaran surat Al-Ma’un dan pidato dalam Kongres 1922.
Persoalan serupa juga bisa dibaca dari berbagai dokumen yang lahir pada masa kepemimpinan Kiai Ahmad Dahlan hingga beberapa tahun sesudah pendiri Muhammadiyah itu wafat pada Februari 1923.
Dari berbagai dokumen tersebut kita menemukan prinsip terbuka dalam keanggotaan aktivis gerakan seperti dalam Anggaran Rumah Tangga Muhammadiyah pertama pada 1914. Informasi serupa bisa kita baca dari dokumen yang kemudian dikenal sebagai “Asas PKO” yang terbit pada 1924.
Selain itu kita bisa membaca teks pidato sambutan dr. Soetomo, sebagai penasihat medis, saat mewakili Hoofd Bestuur (Pimpinan Pusat) Muhammadiyah meresmikan Rumah Sakit (Poliklinik) yang kedua di Surabaya pada 1924.
Dalam naskah tentang prasaran PP (Pimpinan Pusat) Muhammadiyah (waktu itu Hoofd Bestur) pada Konggres Islam Cirebon tahun 1921, Kiai Ahmad Dahlan prihatin terhadap lemahnya umat negeri ini.
“Pada sekarang itu lihatlah ke kanan kiri, bagaimana hidup orang Islam. Tidak perlu menengok negeri yang jauh-jauh, misalnya Afrika, Turki, Hindustan atau lain lainnya. Lihatlah tanah kita sendiri, yakni tanah Hindia Timur atau tanah Jawa. Bukankah penghidupannya banyak yang susah? Bukankah masih banyak orang yang gugon-tuhon (takhayyul) sebab belum mengerti agama?"
"Bukankah masih banyak sekali orang yang belum dapat membaca dan menulis?"
"Memang tanah Islam Hindia Timur perlu sekali mendapat penerangan Islam, supaya terhindar dari pada kegelapan, dapat pertolongan, supaya terhindar dari pada sengsara, naik kepada kemuliaan Islam. Siapa seharusnya, yang wajib menolong? Tiada ada yang lebih wajib menolong lain dari pada kita orang, orang Islam di Hindia.”
Abdul Munir Mulkhan menjelaskan sebelum Kiai Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah dengan beragam kegiatan sosial, kehidupan sosial umat warga negeri ini (waktu itu Hindia Belanda) diselimuti takhayul dan jimat serta hal-hal yang keramat. Kehidupan warga negeri ini berada dalam perangkap kemiskinan dan ketertindasan dalam kategori mustadl’afin atau proleratiat, jika kita pakai bahasa orang-orang Marxis.
Perangkap kemiskinan tersebut menjadi semakin berganda ketika ibadah sosial seperti penyembelihan hewan kurban, zakat fitrah dan zakat harta (maal), tidak dibagikan kepada fakir miskin dan yang berhak melainkan diperuntukkan bagi pemimpin agama.
Kiai Ahmad Dahlan, mengubah jimat dan takhayul itu dengan ilmu pengetahuan, sekaligus mengembangkan pola pengelolaan yang lebih terbuka (baca; manajemen modern).