Asal Usul Keran Air Ternyata Berkaitan dengan Mazhab Hanafiyah, Begini Kisahnya
Rabu, 08 Februari 2023 - 14:54 WIB
Keran air dalam bahasa Arab disebut dengan istilah Hanafiyah. Namanya sama dengan nama salah satu dari empat mazhab fiqih ahlusunnah wal jama'ah, yakni Mazhab Hanafiyah.
Ternyata, penamaan keran air (Hanafiyah) memiliki hubungan dengan Mazhab Hanafi. Berikut kisahnya diceritakan Dai asal Bontang Kalimantan Timur, Ustaz Ahmad Syahrin Thoriq.
Dikisahkan, dahulu di negeri Mesir, sarana berwudhu di masjid-masjid menggunakan sumur atau kolam buatan. Para jamaah yang hendak bersuci menggunakan gayung untuk menciduk air atau ada yang langsung membasuh anggota tubuhnya di dalam kolam buatan tersebut.
Karena cara bersuci yang demikian, dimana banyak orang mengambil air dengan kedua telapak tangannya serta mencelupkan kakinya saat membasuh kaki, sehingga air bekas bersuci itu otomatis kembali ke dalam kolam.
Akhirnya timbul bencana kesehatan di beberapa daerah, karena orang berpenyakit menular juga berwudhu di tempat sama, sehingga menularkan berbagai penyakit. Air menjadi tercemar.
Akhirnya beberapa masjid berinisiatif membuat aliran air lewat pipa dan memberikan keran sebagai sarana berwudhu. Yang paling terkenal adalah masjid yang dibangun Ali Pasha pada Tahun 1448 M yang banyak disebut sebagai sebab munculnya kontroversi penggunaan keran untuk berwudhu.
Kala itu mayoritas ulama dari kalangan Malikiyah, Syafi'iyah dan Hanabilah menyatakan bahwa penggunaan keran untuk berwudhu adalah bentuk dari perbuatan bid'ah yang tercela. Sebab dipandang sebagai perbuatan muhdats (baru) yang masuk dalam ibadah ritual, yakni berwudhu.
Satu-satunya madzhab yang bersuara menyatakan bahwa keran air bukan perkara bid'ah pada saat itu adalah ulama dari kalangan Mazhab Hanafiyah. Karena itulah kemudian keran air dalam bahasa Arab ikut disebut dengan nama Mazhab Hanafiyah.
Setelah berlalu sekian waktu, madzhab lain akhirnya bisa menerima kehadiran "Hanafiyah" untuk dijadikan sarana berwudhu. Tak terkecuali masjid-masjid di Indonesia yang masyarakatnya bermazhab Syafi'iyah.
Pada era tahun 80-an masih banyak kita jumpai masjid lengkap dengan kolam wudhunya (jeding). Tapi sekarang, nyaris sudah tidak ada lagi. Semua masjid telah menggunakan keran air.
Kalau toh masih ada masjid dengan kolam di halamannya, biasanya itu hanya untuk memperindah taman dan halaman masjid saja, tidak difungsikan sebagai sarana untuk bersuci.
Dari sini kita belajar bahwa fatwa dan hukum itu bisa saja suatu saat nanti mengalami pergeseran. Boleh jadi di suatu masa sesuatu itu nyaris dihukumi sebagai bid'ah yang diharamkan. Tetapi begitu di masa berikutnya justru para ulama menganggap itu sebagai perkara yang mubah alias boleh-boleh saja.
Kasus serupa banyak kita jumpai di zaman kita hari ini. Contohnya, pada awal mula maraknya penggunaan alat rekam video dan foto, nyaris ulama-ulama di negara tertentu seperti yang ada di Arab Saudi mengharamkannya, karena dianggap sama dengan melukis makhluk hidup yang ada larangannya dalam agama.
Begitu ada ulama seperti Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi memfatwakan bahwa foto hukumnya boleh dan tidak sama dengan hukum menggambar, banyak pihak mem-bully dan menuduh beliau dengan tuduhan sesat. Namun dengan berjalannya waktu, pihak yang tadinya mengharamkan, akhirnya menerima fatwa kebolehan media rekaman visual.
Ternyata, penamaan keran air (Hanafiyah) memiliki hubungan dengan Mazhab Hanafi. Berikut kisahnya diceritakan Dai asal Bontang Kalimantan Timur, Ustaz Ahmad Syahrin Thoriq.
Dikisahkan, dahulu di negeri Mesir, sarana berwudhu di masjid-masjid menggunakan sumur atau kolam buatan. Para jamaah yang hendak bersuci menggunakan gayung untuk menciduk air atau ada yang langsung membasuh anggota tubuhnya di dalam kolam buatan tersebut.
Karena cara bersuci yang demikian, dimana banyak orang mengambil air dengan kedua telapak tangannya serta mencelupkan kakinya saat membasuh kaki, sehingga air bekas bersuci itu otomatis kembali ke dalam kolam.
Akhirnya timbul bencana kesehatan di beberapa daerah, karena orang berpenyakit menular juga berwudhu di tempat sama, sehingga menularkan berbagai penyakit. Air menjadi tercemar.
Akhirnya beberapa masjid berinisiatif membuat aliran air lewat pipa dan memberikan keran sebagai sarana berwudhu. Yang paling terkenal adalah masjid yang dibangun Ali Pasha pada Tahun 1448 M yang banyak disebut sebagai sebab munculnya kontroversi penggunaan keran untuk berwudhu.
Kala itu mayoritas ulama dari kalangan Malikiyah, Syafi'iyah dan Hanabilah menyatakan bahwa penggunaan keran untuk berwudhu adalah bentuk dari perbuatan bid'ah yang tercela. Sebab dipandang sebagai perbuatan muhdats (baru) yang masuk dalam ibadah ritual, yakni berwudhu.
Satu-satunya madzhab yang bersuara menyatakan bahwa keran air bukan perkara bid'ah pada saat itu adalah ulama dari kalangan Mazhab Hanafiyah. Karena itulah kemudian keran air dalam bahasa Arab ikut disebut dengan nama Mazhab Hanafiyah.
Setelah berlalu sekian waktu, madzhab lain akhirnya bisa menerima kehadiran "Hanafiyah" untuk dijadikan sarana berwudhu. Tak terkecuali masjid-masjid di Indonesia yang masyarakatnya bermazhab Syafi'iyah.
Pada era tahun 80-an masih banyak kita jumpai masjid lengkap dengan kolam wudhunya (jeding). Tapi sekarang, nyaris sudah tidak ada lagi. Semua masjid telah menggunakan keran air.
Kalau toh masih ada masjid dengan kolam di halamannya, biasanya itu hanya untuk memperindah taman dan halaman masjid saja, tidak difungsikan sebagai sarana untuk bersuci.
Dari sini kita belajar bahwa fatwa dan hukum itu bisa saja suatu saat nanti mengalami pergeseran. Boleh jadi di suatu masa sesuatu itu nyaris dihukumi sebagai bid'ah yang diharamkan. Tetapi begitu di masa berikutnya justru para ulama menganggap itu sebagai perkara yang mubah alias boleh-boleh saja.
Kasus serupa banyak kita jumpai di zaman kita hari ini. Contohnya, pada awal mula maraknya penggunaan alat rekam video dan foto, nyaris ulama-ulama di negara tertentu seperti yang ada di Arab Saudi mengharamkannya, karena dianggap sama dengan melukis makhluk hidup yang ada larangannya dalam agama.
Begitu ada ulama seperti Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi memfatwakan bahwa foto hukumnya boleh dan tidak sama dengan hukum menggambar, banyak pihak mem-bully dan menuduh beliau dengan tuduhan sesat. Namun dengan berjalannya waktu, pihak yang tadinya mengharamkan, akhirnya menerima fatwa kebolehan media rekaman visual.
(rhs)