Syariat Jilbab dan Sejarahnya, Dikenal di Masa Nabi Ibrahim, Disahkan Syaratnya Saat Islam Datang
Kamis, 02 Maret 2023 - 12:00 WIB
Tulang dada anak rusa tampak berhimpun berwarna
kehitaman seperti hitamnya dua biji mata
Maksud syair ini, mengandung arti bahwa perempuan berhijab dari pandangan para lelaki bukan muhrim. Dia harus melindungi dirinya dengan tangannya dari pandangan orang lain saat kerudungnya terjatuh.
Syair ini juga menyiratkan, bahwa zaman jahiliyah bangsa Arab telah mengenal hijab sebagai penutup wajah wanita. Bagi wanita yang telah beranjak dewasa, hijab atau jilbab dikenakan sebagai pertanda bahwa ia siap untuk dinikahi. Selain itu, pada masa itu hanya wanita merdeka yang boleh mengenakan jilbab. Sedangkan wanita yang merupakan budak atau gundik tidak diperkenankan untuk mengenakan jilbab.
Dikisahkan pula, sejak Zubair bin Salma (yang menceritakan keluarga Al- Husain) :
“Aku tidak tahu dan aku mesti akan tahu, Apakah aku sedang berdiri di depan keluarga Husain atau di hadapan para wanita, Bila dikatakan para wanita yang bersembunyi, Maka benarlah bahwa wanita yang melindungi dirinya mendapat ke hormatan.”Sajak Taufail bin Auf-Ghanawi: “Dengan penutup muka tidak akan mengurangi kehormatannya kemuliaannya tetap terjaga, dan kecantikannya dapat dinikmati bila telah tiba saatnya.”
Jilbab dalam Islam
Berbeda dengan jilbab pada masa jahiliah yang membedakan antara wanita terhormat dengan wanita yang merupakan seorang budak. Jilbab pada masa kedatangan Islam justru membawa keadilan dan perlindungan bagi setiap muslimah.
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman,
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah Menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (QS An-Nur : 31)
Ayat perintah jilbab tersebut turun karena beberapa peristiwa yang menimpa istri Nabi Muhammad Shallallahu alaihiwa sallam. Imam Bukhari meriwayatkan dari Aisyah rhadiyallahu'anha:
“Setelah turunnya perintah berhijab, suatu ketika Sau’dah (salah seorang istri Rasulullah) keluar untuk membuang hajat. Sau’dah adalah seorang wanita berbadan besar sehingga akan langsung dikenali jika berpapasan dengan orang yang telah mengenalnya. Di tengah jalan, Umar melihatnya. Umar lalu berkata, ‘Wahai Sau’dah, kami sungguh masih dapat mengenali engkau. Oleh karena itu, pertimbangkanlah kembali bagaimana cara engkau keluar!’
Mendengar ucapan Umar itu, Sau’dah langsung berbalik pulang dengan cepat. Pada saat itu, Rasulullah tengah makan malam di rumah saya dan di tangan beliau tengah tergenggam minuman. Ketika masuk ke rumah, Sau’dah langsung berkata, ‘Wahai Rasulullah, baru saja saya keluar untuk menunaikan hajat. Akan tetapi, Umar lalu berkata begini dan begini kepada saya.’
Tiba-tiba turun wahyu kepada Rasulullah. Ketika wahyu selesai dan beliau kembali ke kondisi semula, minuman yang ketika itu beliau pegang masih tetap berada di tangannya. Rasulullah lalu berkata, ‘Sesungguhnya telah diizinkan bagi kalian keluar rumah untuk menunaikan hajat kalian.” (Shahih Bukhari, kitab at-Tafsiir, hadits nomor 4795).
Ibnu Sa’d, dalam kitab ath-Thabaqaat, meriwayatkan dari Abu Malik yang berkata,
“Para istri Rasulullah biasa keluar di malam hari untuk menunaikan hajat. Akan tetapi, beberapa orang munafik kemudian mengganggu mereka di perjalanan sehingga mereka merasa tidak nyaman. Ketika hal tersebut dilaporkan (kepada Rasulullah), beliau lantas menegur orang-orang tersebut.
Akan tetapi, mereka balik berkata, ‘Sesungguhnya kami hanya melakukannya dengan isyarat tangan (menunjuk-nunjuk dengan jari).’ Setelah kejadian itu, turunlah ayat ini.” Ibnu Sa’ad juga meriwayatkan hal serupa dari al-Hasan dan Muhammad bin Ka’ab al-Qurazhi.
Dalil lain yang lebih tegas adalah firman Allah dalam QS Al-Ahzab : 59
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Ahzab: 59)
kehitaman seperti hitamnya dua biji mata
Maksud syair ini, mengandung arti bahwa perempuan berhijab dari pandangan para lelaki bukan muhrim. Dia harus melindungi dirinya dengan tangannya dari pandangan orang lain saat kerudungnya terjatuh.
Syair ini juga menyiratkan, bahwa zaman jahiliyah bangsa Arab telah mengenal hijab sebagai penutup wajah wanita. Bagi wanita yang telah beranjak dewasa, hijab atau jilbab dikenakan sebagai pertanda bahwa ia siap untuk dinikahi. Selain itu, pada masa itu hanya wanita merdeka yang boleh mengenakan jilbab. Sedangkan wanita yang merupakan budak atau gundik tidak diperkenankan untuk mengenakan jilbab.
Dikisahkan pula, sejak Zubair bin Salma (yang menceritakan keluarga Al- Husain) :
“Aku tidak tahu dan aku mesti akan tahu, Apakah aku sedang berdiri di depan keluarga Husain atau di hadapan para wanita, Bila dikatakan para wanita yang bersembunyi, Maka benarlah bahwa wanita yang melindungi dirinya mendapat ke hormatan.”Sajak Taufail bin Auf-Ghanawi: “Dengan penutup muka tidak akan mengurangi kehormatannya kemuliaannya tetap terjaga, dan kecantikannya dapat dinikmati bila telah tiba saatnya.”
Jilbab dalam Islam
Berbeda dengan jilbab pada masa jahiliah yang membedakan antara wanita terhormat dengan wanita yang merupakan seorang budak. Jilbab pada masa kedatangan Islam justru membawa keadilan dan perlindungan bagi setiap muslimah.
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman,
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah Menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (QS An-Nur : 31)
Ayat perintah jilbab tersebut turun karena beberapa peristiwa yang menimpa istri Nabi Muhammad Shallallahu alaihiwa sallam. Imam Bukhari meriwayatkan dari Aisyah rhadiyallahu'anha:
“Setelah turunnya perintah berhijab, suatu ketika Sau’dah (salah seorang istri Rasulullah) keluar untuk membuang hajat. Sau’dah adalah seorang wanita berbadan besar sehingga akan langsung dikenali jika berpapasan dengan orang yang telah mengenalnya. Di tengah jalan, Umar melihatnya. Umar lalu berkata, ‘Wahai Sau’dah, kami sungguh masih dapat mengenali engkau. Oleh karena itu, pertimbangkanlah kembali bagaimana cara engkau keluar!’
Mendengar ucapan Umar itu, Sau’dah langsung berbalik pulang dengan cepat. Pada saat itu, Rasulullah tengah makan malam di rumah saya dan di tangan beliau tengah tergenggam minuman. Ketika masuk ke rumah, Sau’dah langsung berkata, ‘Wahai Rasulullah, baru saja saya keluar untuk menunaikan hajat. Akan tetapi, Umar lalu berkata begini dan begini kepada saya.’
Tiba-tiba turun wahyu kepada Rasulullah. Ketika wahyu selesai dan beliau kembali ke kondisi semula, minuman yang ketika itu beliau pegang masih tetap berada di tangannya. Rasulullah lalu berkata, ‘Sesungguhnya telah diizinkan bagi kalian keluar rumah untuk menunaikan hajat kalian.” (Shahih Bukhari, kitab at-Tafsiir, hadits nomor 4795).
Ibnu Sa’d, dalam kitab ath-Thabaqaat, meriwayatkan dari Abu Malik yang berkata,
“Para istri Rasulullah biasa keluar di malam hari untuk menunaikan hajat. Akan tetapi, beberapa orang munafik kemudian mengganggu mereka di perjalanan sehingga mereka merasa tidak nyaman. Ketika hal tersebut dilaporkan (kepada Rasulullah), beliau lantas menegur orang-orang tersebut.
Akan tetapi, mereka balik berkata, ‘Sesungguhnya kami hanya melakukannya dengan isyarat tangan (menunjuk-nunjuk dengan jari).’ Setelah kejadian itu, turunlah ayat ini.” Ibnu Sa’ad juga meriwayatkan hal serupa dari al-Hasan dan Muhammad bin Ka’ab al-Qurazhi.
Dalil lain yang lebih tegas adalah firman Allah dalam QS Al-Ahzab : 59
يٰۤـاَيُّهَا النَّبِىُّ قُلْ لِّاَزۡوَاجِكَ وَبَنٰتِكَ وَنِسَآءِ الۡمُؤۡمِنِيۡنَ يُدۡنِيۡنَ عَلَيۡهِنَّ مِنۡ جَلَابِيۡبِهِنَّ ؕ ذٰ لِكَ اَدۡنٰٓى اَنۡ يُّعۡرَفۡنَ فَلَا يُؤۡذَيۡنَ ؕ وَكَانَ اللّٰهُ غَفُوۡرًا رَّحِيۡمًا
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Ahzab: 59)