Beda Pendapat 4 Mazhab tentang Zakat Harta Penghasilan

Kamis, 09 Maret 2023 - 13:33 WIB
Ada beda pendapat di antara para imam mazhab mengenai zakat penghasilan. Foto/Ilusrasi: mhy
Para imam mazhab empat berbeda pendapat yang cukup kisruh tentang harta penghasilan. Ibnu Hazm dalam al- Muhalla mengatakan Abu Hanifah berpendapat bahwa harta penghasilan itu dikeluarkan zakatnya bila mencapai masa setahun penuh pada pemiliknya, kecuali jika pemiliknya mempunyai harta sejenis yang harus dikeluarkan zakatnya yang untuk itu zakat harta penghasilan itu dikeluarkan pada permulaan tahun dengan syarat sudah mencapai nisab.

Dengan demikian bila ia memperoleh penghasilan sedikit ataupun banyak - meski satu jam menjelang waktu setahun dari harta yang sejenis tiba, ia wajib mengeluarkan zakat penghasilannya itu bersamaan dengan pokok harta yang sejenis tersebut, meskipun berupa emas, perak, binatang piaraan, atau anak-anak binatang piaraan atau lainnya.



Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa harta penghasilan tidak dikeluarkan zakatnya sampai penuh waktu setahun, baik harta tersebut sejenis dengan jenis harta pemiliknya atau tidak sejenis, kecuali jenis binatang piaraan. Karena itu orang yang memperoleh penghasilan berupa binatang piaraan bukan anaknya sedang ia memiliki binatang piaraan yang sejenis dengan yang diperolehnya, zakatnya dikeluarkan bersamaan pada waktu penuhnya batas satu tahun binatang piaraan miliknya itu bila sudah mencapai nisab. Kalau tidak atau belum mencapai nisab maka tidak wajib zakat.

Akan Tetapi bila binatang piaraan penghasilan itu berupa anaknya, maka anaknya itu dikeluarkan zakatnya berdasarkan masa setahun induknya baik induk tersebut sudah mencapai nisab ataupun belum mencapai nisab.

Sementara itu, Imam Syafi'i mengatakan bahwa harta penghasilan itu dikeluarkan zakatnya bila mencapai waktu setahun meskipun ia memiliki harta sejenis yang sudah cukup nisab. Tetapi zakat anak-anak binatang piaraan dikeluarkan bersamaan dengan zakat induknya yang sudah mencapai nisab, dan bila tidak mencapai nisab maka tidak wajib zakatnya.

Syaikh Yusuf al-Qardhawi dalam bukunya berjudul "Hukum Zakat, Studi Komparatif Mengenai Status dan Filsafat Zakat Berdasarkan Qur'an dan Hadis" menyebut Ibnu Hazm tampil dengan pendapat bahwa pendapat-pendapat di atas adalah salah.

Ia mengatakan bahwa salah satu bukti pendapat-pendapat itu salah adalah cukup dengan melihat kekisruhan semua pendapat itu. Semuanya hanya dugaan-dugaan belaka dan merupakan bagian-bagian yang saling bertentangan, yang tidak ada landasan salah satu pun dari semuanya, baik dari Quran atau hadis shahih ataupun dari riwayat yang bercacat sekalipun, tidak perlu dari Ijmak dan Qias, dan tidak pula dari pemikiran dan pendapat yang dapat diterima.



Al-Qardhawi menganggap Ibnu Hazm membuang semua perbedaan dan bagian yang salah tersebut dengan berpendapat bahwa ketentuan setahun berlaku bagi seluruh harta benda, uang penghasilan atau bukan, bahkan termasuk anak-anak binatang piaraan.

Hal itu bertentangan dengan temannya yaitu Daud Zahiri yang keluar dari pertentangan itu dengan pendapat bahwa seluruh harta penghasilan wajib zakat tanpa persyaratan setahun. Tetapi ia sendiri tidak bebas dari kesalahan serupa yang diderita oleh orang-orang lain di atas.

Cukup Senisab

Para ulama berpendapat penghasilan dan profesi dapat diambil zakatnya bila sudah setahun dan cukup senisab. Jika kita berpegang kepada pendapat Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan Muhammad bahwa nisab tidak perlu harus tercapai sepanjang tahun, tapi cukup tercapai penuh antara dua ujung tahun tanpa kurang di tengah-tengah kita dapat menyimpulkan bahwa dengan penafsiran tersebut memungkinkan untuk mewajibkan zakat atas hasil penghasilan setiap tahun, karena hasil itu jarang terhenti sepanjang tahun bahkan kebanyakan mencapai kedua sisi ujung tahun tersebut.

Berdasar hal itu, kita dapat menetapkan hasil penghasilan sebagai sumber zakat, karena terdapatnya illat (penyebab), yang menurut ulama-ulama fikih sah, dan nisab, yang merupakan landasan wajib zakat.

Dan karena Islam mempunyai ukuran bagi seseorang - untuk bisa dianggap kaya - yaitu 12 Junaih emas menurut ukuran Junaih Mesir lama maka ukuran itu harus terpenuhi pula buat seseorang untuk terkena kewajiban zakat, sehingga jelas perbedaan antara orang kaya yang wajib zakat dan orang miskin penerima zakat.



Dalam hal ini, mazhab Hanafi lebih jelas, yaitu bahwa jumlah senisab itu cukup terdapat pada awal dan akhir tahun saja tanpa harus terdapat di pertengahan tahun.

Ketentuan itu harus diperhatikan dalam mewajibkan zakat atas hasil penghasilan dan profesi ini, supaya dapat jelas siapa yang tergolong kaya dan siapa yang tergolong miskin, seorang pekerja profesi jarang tidak memenuhi ketentuan tersebut.

Mengenai besar zakat, mereka mengatakan, penghasilan dan profesi, kita tidak menemukan contohnya dalam fikih, selain masalah khusus mengenai penyewaan yang dibicarakan Ahmad. Ia dilaporkan berpendapat tentang seseorang yang menyewakan rumahnya dan mendapatkan uang sewaan yang cukup nisab, bahwa orang tersebut wajib mengeluarkan zakatnya ketika menerimanya tanpa persyaratan setahun.

Hal itu pada hakikatnya menyerupai mata penghasilan, dan wajib dikeluarkan zakatnya bila sudah mencapai satu nisab.

Hal itu bahwa jarang seseorang pekerja yang penghasilannya tidak mencapai nisab seperti yang telah kita tetapkan, meskipun tidak cukup di pertengahan tahun tetapi cukup pada akhir tahun. Ia wajib mengeluarkan zakat sesuai dengan nisab yang telah berumur setahun.



Al-Qardhawi mengatakan akibat dari tafsiran itu, kecuali yang menentang, - adalah bahwa zakat wajib dipungut dari gaji atau semacamnya sebulan dari dua belas bulan. Karena ketentuan wajib zakat adalah cukup nisab penuh pada awal tahun atau akhir tahun.

Menurutnya, yang menarik adalah pendapat guru-guru besar tentang hasil penghasilan dan profesi dan pendapatan dari gaji atau lain-lainnya di atas, bahwa mereka tidak menemukan persamaannya dalam fikih selain apa yang dilaporkan tentang pendapat Ahmad tentang sewa rumah diatas.

Al-Qardhawi berpendapat sesungguhnya persamaan itu ada yang perlu disebutkan di sini, yaitu bahwa kekayaan tersebut dapat digolongkan kepada kekayaan penghasilan, "yaitu kekayaan yang diperoleh seseorang Muslim melalui bentuk usaha baru yang sesuai dengan syariat agama.

Jadi pandangan fikih tentang bentuk penghasilan itu adalah, bahwa ia "harta penghasilan."

Sekelompok sahabat berpendapat bahwa kewajiban zakat kekayaan tersebut langsung, tanpa menunggu batas waktu setahun. Di antara mereka adalah Ibnu Abbas, Ibnu Mas'ud, Mu'awiyah, Shadiq, Baqir, Nashir, Daud, dan diriwayatkan juga Umar bin Abdul Aziz, Hasan, Zuhri, serta Auza'i.
(mhy)
Lihat Juga :
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
cover top ayah
اِنَّمَا التَّوۡبَةُ عَلَى اللّٰهِ لِلَّذِيۡنَ يَعۡمَلُوۡنَ السُّوۡٓءَ بِجَهَالَةٍ ثُمَّ يَتُوۡبُوۡنَ مِنۡ قَرِيۡبٍ فَاُولٰٓٮِٕكَ يَتُوۡبُ اللّٰهُ عَلَيۡهِمۡ‌ؕ وَكَانَ اللّٰهُ عَلِيۡمًا حَكِيۡمًا
Sesungguhnya bertobat kepada Allah itu hanya pantas bagi mereka yang melakukan kejahatan karena tidak mengerti, kemudian segera bertobat. Tobat mereka itulah yang diterima Allah. Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.

(QS. An-Nisa Ayat 17)
cover bottom ayah
Artikel Terkait
Al-Qur'an, Bacalah!
Rekomendasi
Terpopuler
Artikel Terkini More