Hagia Sophia Pintu Masuk Dakwah Islam ke Daratan Eropa
Sabtu, 18 Juli 2020 - 05:00 WIB
SEBELUM ditaklukkan, Konstantinopel menjadi hambatan besar bagi tersebarnya Islam di Benua Eropa . Namun setelah penaklukan, ia seperti membuka jalan yang lebar bagi dakwah Islam untuk menyebar ke Benua Eropa dengan kekuatan dan kedamaian, lebih dari masa-masa sebelumnya.(
)
Prof Ali Muhammad Ash-Shalabi dalam Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Ustmaniyah menyebut penaklukkan Konstantinopel dianggap sebagai peristiwa paling monumental dalam sejarah dunia, dan secara khusus di mata sejarah Eropa dalam hubungannya dengan Islam.
Para sejarawan Eropa dan mereka yang sepaham, menganggap penaklukkan Konstantinopel sebagai akhir dari abad pertengahan dan sebagai titik awal menuju abad modern.
Setelah itu, Sultan Muhammad Al-Fatih melakukan penertiban berbagai masalah di Konstantinopel, lalu melakukan pembentengan kembali dan sekaligus menjadikannya sebagai ibukota Khilafah Ustmaniyah.
Dia menyebut kota itu dengan Islambul yang berarti kota Islam. Namun dalam perjalanan waktu, ia lebih dikenal sebagai Istambul.
Dakwah Islam
Penaklukan Konstantinopel tak hanya sekadar menjadikan kota ini takluk di bawah kekuasaan Utsmaniyah saja, melainkan sebagai titik tolak dakwah Islam ke seluruh Eropa, khususnya semenanjung Balkan.
“Dia (Muhammad Al-Fatih) sangat bersemangat dalam menyebarkan Islam ke segala penjuru dunia,” ungkap Muhammad Said Mursi dalam Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa tujuan utama penaklukan Muhammad Al-Fatih adalah mendakwahkan Islam kepada wilayah-wilayah yang telah berhasil ditaklukkan.
Mursi menyatakan misi dakwah yang dilakukan Muhammad Al-Fatih tergambar saat jatuhnya Konstantinopel, ia langsung mengubah gereja megah Hagia Sophia untuk dialihfungsikan menjadi masjid dan mengganti nama kota menjadi Islambul yang berarti kota Islam.
Tujuan utama pembebasan Konstantinopel adalah untuk menyeru manusia kepada Islam, tentu Muhammad Al-Fatih selalu berpegang teguh terhadap etika atau adab yang ditentukan oleh syariat Islam dalam memperlakukan wilayah yang telah dibebaskan.
Ash-Shalabi menceritakan bahwa Sultan Muhammad Al-Fatih memperlakukan penduduk Konstantinopel dengan cara yang ramah dan penuh rahmat. Sultan memerintahkan tentaranya untuk berlaku baik dan toleran pada para tawanan perang. “Bahkan dia telah menebus sejumlah tawanan dengan mempergunakan hartanya sendiri. Khususnya para pangeran yang berasal dari Yunani dan para pemuka agama Kristen,” tulisnya.
Keberhasilan dalam penaklukan Konstantinopel merupakan pembuka bagi perkembangan Islam di Eropa, menurut Ash Shalabi, bahwa sebelum ditaklukkan, Konstantinopel telah menjadi hambatan besar bagi tersebarnya Islam di benua Eropa. ( ).
Ahmad Al-Usairy dalam Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX juga berpendapat penaklukan yang dilakukan Al-Fatih berarti jalan pembuka bagi Islam untuk masuk ke benua Eropa dengan kekuatan dan kedamaian lebih dari masa-masa sebelumnya.
Menurutnya, pascapembebasan Konstantinopel agama Islam lebih tersebar luas di benua Eropa dengan kekuatan ( jihad ) dan kedamaian (dakwah) khususnya wilayah semenanjung Balkan, Eropa Timur dan Eropa Tengah.
Karena pembebasan Konstantinopel sebagai titik tolak untuk menyebarkan agama Islam ke seluruh Eropa, sudah tentu pembebasan Konstantinopel yang dilakukan oleh Muhammad Al-Fatih tersebut bukanlah akhir dari pembebasan yang dilakukannya, melainkan sebagai batu loncatan untuk membebaskan wilayah-wilayah lain di benua Eropa bagian Timur tersebut.
Menurut H.J. Van Den Berg dalam Sejarah Dunia, Jilid II; Sejarah Negeri-negeri Sekitar Laut Tengah dan Sejarah Eropah Sampai Tahun 1500, penaklukan Byzantium bukanlah akhir gerakan sultan Turki itu, melainkan permulaan dari pada rangkaian penaklukan, yang dilakukannya di seluruh Balkan.
Boleh dikatakan, menurutnya, seluruh Jazirah Balkan dapat ditaklukkan oleh Sultan yang masih muda itu. Bosnia, Walachia, Moldavia, Albania dimasukkan ke dalam wilayah Utsmani.
Prof Ali Muhammad Ash-Shalabi dalam Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Ustmaniyah menyebut penaklukkan Konstantinopel dianggap sebagai peristiwa paling monumental dalam sejarah dunia, dan secara khusus di mata sejarah Eropa dalam hubungannya dengan Islam.
Para sejarawan Eropa dan mereka yang sepaham, menganggap penaklukkan Konstantinopel sebagai akhir dari abad pertengahan dan sebagai titik awal menuju abad modern.
Setelah itu, Sultan Muhammad Al-Fatih melakukan penertiban berbagai masalah di Konstantinopel, lalu melakukan pembentengan kembali dan sekaligus menjadikannya sebagai ibukota Khilafah Ustmaniyah.
Dia menyebut kota itu dengan Islambul yang berarti kota Islam. Namun dalam perjalanan waktu, ia lebih dikenal sebagai Istambul.
Dakwah Islam
Penaklukan Konstantinopel tak hanya sekadar menjadikan kota ini takluk di bawah kekuasaan Utsmaniyah saja, melainkan sebagai titik tolak dakwah Islam ke seluruh Eropa, khususnya semenanjung Balkan.
“Dia (Muhammad Al-Fatih) sangat bersemangat dalam menyebarkan Islam ke segala penjuru dunia,” ungkap Muhammad Said Mursi dalam Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa tujuan utama penaklukan Muhammad Al-Fatih adalah mendakwahkan Islam kepada wilayah-wilayah yang telah berhasil ditaklukkan.
Mursi menyatakan misi dakwah yang dilakukan Muhammad Al-Fatih tergambar saat jatuhnya Konstantinopel, ia langsung mengubah gereja megah Hagia Sophia untuk dialihfungsikan menjadi masjid dan mengganti nama kota menjadi Islambul yang berarti kota Islam.
Tujuan utama pembebasan Konstantinopel adalah untuk menyeru manusia kepada Islam, tentu Muhammad Al-Fatih selalu berpegang teguh terhadap etika atau adab yang ditentukan oleh syariat Islam dalam memperlakukan wilayah yang telah dibebaskan.
Ash-Shalabi menceritakan bahwa Sultan Muhammad Al-Fatih memperlakukan penduduk Konstantinopel dengan cara yang ramah dan penuh rahmat. Sultan memerintahkan tentaranya untuk berlaku baik dan toleran pada para tawanan perang. “Bahkan dia telah menebus sejumlah tawanan dengan mempergunakan hartanya sendiri. Khususnya para pangeran yang berasal dari Yunani dan para pemuka agama Kristen,” tulisnya.
Keberhasilan dalam penaklukan Konstantinopel merupakan pembuka bagi perkembangan Islam di Eropa, menurut Ash Shalabi, bahwa sebelum ditaklukkan, Konstantinopel telah menjadi hambatan besar bagi tersebarnya Islam di benua Eropa. ( ).
Ahmad Al-Usairy dalam Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX juga berpendapat penaklukan yang dilakukan Al-Fatih berarti jalan pembuka bagi Islam untuk masuk ke benua Eropa dengan kekuatan dan kedamaian lebih dari masa-masa sebelumnya.
Menurutnya, pascapembebasan Konstantinopel agama Islam lebih tersebar luas di benua Eropa dengan kekuatan ( jihad ) dan kedamaian (dakwah) khususnya wilayah semenanjung Balkan, Eropa Timur dan Eropa Tengah.
Karena pembebasan Konstantinopel sebagai titik tolak untuk menyebarkan agama Islam ke seluruh Eropa, sudah tentu pembebasan Konstantinopel yang dilakukan oleh Muhammad Al-Fatih tersebut bukanlah akhir dari pembebasan yang dilakukannya, melainkan sebagai batu loncatan untuk membebaskan wilayah-wilayah lain di benua Eropa bagian Timur tersebut.
Menurut H.J. Van Den Berg dalam Sejarah Dunia, Jilid II; Sejarah Negeri-negeri Sekitar Laut Tengah dan Sejarah Eropah Sampai Tahun 1500, penaklukan Byzantium bukanlah akhir gerakan sultan Turki itu, melainkan permulaan dari pada rangkaian penaklukan, yang dilakukannya di seluruh Balkan.
Boleh dikatakan, menurutnya, seluruh Jazirah Balkan dapat ditaklukkan oleh Sultan yang masih muda itu. Bosnia, Walachia, Moldavia, Albania dimasukkan ke dalam wilayah Utsmani.