5 Cara Menasihati Istri Sesuai Syariat yang Layak Ditiru Para Suami
Minggu, 20 Agustus 2023 - 12:56 WIB
وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ سَرِّحُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ
“Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang ma’ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma’ruf (pula).” (QS. Al-Baqoroh/2: 231)
Hukum perceraian, ketika tidak ada permasalahan, pada asalnya adalah makruh atau haram. Sebab hal itu memutus tali pernikahan yang memiliki banyak manfaat. Demikian juga perceraian adalah sesuatu yang disukai oleh Iblis.
Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassallam bersabda: “Sesungguhnya Iblis meletakkan singgasananya di atas air, kemudian dia mengirim pasukannya. Tentara yang paling dekat kedudukannya dengan Iblis adalah yang paling besar keburukannya. Salah seorang dari mereka datang (melapor), lalu berkata, “Aku telah melakukan ini dan ini”. Iblis berkata, “Kamu tidak melakukan apa pun!” Kemudian salah seorang dari mereka datang (melapor), lalu berkata, “Aku tidak meninggalkannya (seorang suami) sampai aku pisahkan antara dia dengan istrinya”. Iblis mendekatkannya dan berkata, “Kamu memang bagus!”. (HR. Muslim, no. 2813; Ahmad, no. 14377)
Tetapi jika seorang istri berperilaku buruk, buruk akhlaqnya, menyusahkan suaminya, dan susah diperbaiki, maka dianjurkan untuk diceraikan. Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi rahimahullah (wafat th. 620 H) berkata:
“Hukum thalaq yang ketiga adalah mubah, yaitu ketika thalaq itu dibutuhkan, karena buruknya perlaku istri, buruknya sikap istri, dan suami mendapatkan kesusahan dengan sebab istrinya, tanpa meraih tujuan (pernikahan) dengannya”.
(Al-Mughniy, 7/364, karya imam Ibnu Qudamah)
Di dalam sebuah hadis yang shahih diriwayatkan:
Dari Abu Musa Al-Asy’ariy radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wassallam, beliau bersabda: “Tiga orang yang berdoa kepada Allah, namun tidak dikabulkan: Seorang suami yang memiliki istri yang buruk akhlaqnya, namun dia tidak mentalaqnya. Seseorang yang memiliki piutang, namun dia tidak mengadakan saksi atasnya. Dan seseorang yang memberikan hartanya kepada orang yang bodoh (dalam mengatur harta), padahal Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: “Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu)”.[QS. An-Nisa’/4: 5] (HR. Al-Hakim, no. 3181; dishahihkan oleh Al-Hakim, Adz-Dzahabi, dan Al-Albani. Lihat Ash-Shahihah, no. 1805)
Orang yang belum sempurna akalnya ialah anak yatim yang belum baligh atau orang dewasa yang tidak dapat mengatur harta bendanya. Demikian sedikit saran-saran yang kami sampaikan, semoga bermanfaat. Semoga Allah membimbing kita di dalam kebaikan di dunia dan akhirat.
Wallahu A'lam
(wid)