Pelajaran dari Kisah Jibril Duduk dan Menempelkan Lututnya dengan Lutut Rasulullah SAW
Rabu, 30 Agustus 2023 - 15:50 WIB
Potongan hadis dari Umar bin Khattab ra yang menceritakan tentang dialog Nabi Muhammad SAW dengan malaikat Jibril tentang Islam, Iman, Ikhsan, dan hari kiamat, ternyata sarat akan pelajaran bagi para penuntut ilmu.
Pada awal kisah diceritakan:
"Suatu hari, kami duduk-duduk bersama Rasulullah SAW. Tiba-tiba datang kepada kami seorang laki-laki yang sangat putih pakaiannya lagi sangat hitam rambutnya. Tidak terlihat padanya bekas atau tanda-tanda safar. Tidak ada seorang pun dari kami yang mengenalnya. Orang tersebut duduk dekat Nabi SAW, dia menempelkan lututnya dengan lutut Nabi SAW, lalu meletakkan kedua tangannya di atas pahanya..."
Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar As-Sidawi dalam bukunya berjudul "Syarah 10 Landasan Agama dari Kalimat Nubuwwah" menjelaskan tentang kalimat: “Kemudian dia duduk dan menempelkan lututnya kepada lutut Nabi”.
Menurutnya, ini menunjukkan kita sebagai penuntut ilmu lebih mendekat kepada pengajarnya dengan tenang dan khusyuk untuk memperhatikan, hal itu dicontohkan oleh Jibril kepada Nabi SAW, agar penuntut ilmu siap dan semangat untuk menerima pelajaran serta lebih beradab, karena ilmu itu sesuatu yang mulia dan mahal.
"Jika memang kita dianjurkan untuk duduk dekat dengan ustaz, maka hal ini memberikan faedah kepada kita agar datang lebih awal dalam menghadiri majelis ilmu dan tidak terlambat," ujar Abu Ubaidah Yusuf.
Para ulama salaf, katanya, sangat memperhatikan masalah ini. Dikatakan kepada Sya‘bi: “Wahai Sya’bi, dari mana kamu mendapatkan ilmu ini?” Beliau mengatakan: “Dengan tawakkal kepada Allah, pergi merantau menuntut ilmu, sabar seperti sabarnya keledai, dan berpagi-pagi seperti burung ketika mencari rezeki.” (lihat Ar-Rihlah fi Thalab al-Hadits karya Al-Khathib al-Baghdadi).
Imam As-Sam‘ani menceritakan bahwa suatu kali ada seo rangulama bernama Abdushshamad, dia membuat kajian di rumahnya “kajian ahlul hadits”. Kemudian ada seorang mengetuk pintu rumahnya karena terlambat, maka dia mengatakan kepada salah seorang muridnya:
“Lihatlah di pintu, siapakah yang datang, kalau dia ahlul hadits maka jangan dibukakan pintu baginya, dan kalau bukan maka bukakanlah pintunya.”
Muridnya heran kenapa kalau ahlul hadits tidak diizinkan masuk sedangkan yang bukan malah boleh? Murid itu protes: “Ya Syaikh, bukankah ahli hadits lebih utama dibuka untuknya?”
Syaikh menjawab: “Tidak, karena kita ini sedang mengkaji hadits, kalau memang dia ahlul hadits kenapa dia terlambat. Adapun kalau bukan ahli hadis maka memang bukan bidangnya, jadi dia mendapat udzur.” (Adab al-Imla’ wa-al-Istimla’)
Abu Ubaidah Yusuf mengatakan suatu pelajaran berharga bagi kita hendaknya kita segera berpagi-pagi dalam menuntut ilmu, karena kalau kita terlambat maka kita akan terlambat dan tertinggal pelajarannya. Tinggalkan kebiasan ustaz yang menunggu kita, tetapi mari kita biasakan kita yang menunggu ustaz.
Pada awal kisah diceritakan:
"Suatu hari, kami duduk-duduk bersama Rasulullah SAW. Tiba-tiba datang kepada kami seorang laki-laki yang sangat putih pakaiannya lagi sangat hitam rambutnya. Tidak terlihat padanya bekas atau tanda-tanda safar. Tidak ada seorang pun dari kami yang mengenalnya. Orang tersebut duduk dekat Nabi SAW, dia menempelkan lututnya dengan lutut Nabi SAW, lalu meletakkan kedua tangannya di atas pahanya..."
Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar As-Sidawi dalam bukunya berjudul "Syarah 10 Landasan Agama dari Kalimat Nubuwwah" menjelaskan tentang kalimat: “Kemudian dia duduk dan menempelkan lututnya kepada lutut Nabi”.
Menurutnya, ini menunjukkan kita sebagai penuntut ilmu lebih mendekat kepada pengajarnya dengan tenang dan khusyuk untuk memperhatikan, hal itu dicontohkan oleh Jibril kepada Nabi SAW, agar penuntut ilmu siap dan semangat untuk menerima pelajaran serta lebih beradab, karena ilmu itu sesuatu yang mulia dan mahal.
"Jika memang kita dianjurkan untuk duduk dekat dengan ustaz, maka hal ini memberikan faedah kepada kita agar datang lebih awal dalam menghadiri majelis ilmu dan tidak terlambat," ujar Abu Ubaidah Yusuf.
Para ulama salaf, katanya, sangat memperhatikan masalah ini. Dikatakan kepada Sya‘bi: “Wahai Sya’bi, dari mana kamu mendapatkan ilmu ini?” Beliau mengatakan: “Dengan tawakkal kepada Allah, pergi merantau menuntut ilmu, sabar seperti sabarnya keledai, dan berpagi-pagi seperti burung ketika mencari rezeki.” (lihat Ar-Rihlah fi Thalab al-Hadits karya Al-Khathib al-Baghdadi).
Imam As-Sam‘ani menceritakan bahwa suatu kali ada seo rangulama bernama Abdushshamad, dia membuat kajian di rumahnya “kajian ahlul hadits”. Kemudian ada seorang mengetuk pintu rumahnya karena terlambat, maka dia mengatakan kepada salah seorang muridnya:
“Lihatlah di pintu, siapakah yang datang, kalau dia ahlul hadits maka jangan dibukakan pintu baginya, dan kalau bukan maka bukakanlah pintunya.”
Muridnya heran kenapa kalau ahlul hadits tidak diizinkan masuk sedangkan yang bukan malah boleh? Murid itu protes: “Ya Syaikh, bukankah ahli hadits lebih utama dibuka untuknya?”
Syaikh menjawab: “Tidak, karena kita ini sedang mengkaji hadits, kalau memang dia ahlul hadits kenapa dia terlambat. Adapun kalau bukan ahli hadis maka memang bukan bidangnya, jadi dia mendapat udzur.” (Adab al-Imla’ wa-al-Istimla’)
Abu Ubaidah Yusuf mengatakan suatu pelajaran berharga bagi kita hendaknya kita segera berpagi-pagi dalam menuntut ilmu, karena kalau kita terlambat maka kita akan terlambat dan tertinggal pelajarannya. Tinggalkan kebiasan ustaz yang menunggu kita, tetapi mari kita biasakan kita yang menunggu ustaz.
Baca Juga
(mhy)