2 Faedah Berharga Hadis tentang Dialog Nabi Muhammad SAW dengan Malaikat Jibril
loading...
A
A
A
Potongan hadis dari Umar bin Khattab ra yang menceritakan tentang dialog Nabi Muhammad SAW dengan malaikat Jibril tentang Islam, Iman, Ikhsan, dan hari kiamat, dimulai dengan kalimat sebagai berikut:
"Suatu hari, kami duduk-duduk bersama Rasulullah SAW . Tiba-tiba datang kepada kami seorang laki-laki yang sangat putih pakaiannya lagi sangat hitam rambutnya. Tidak terlihat padanya bekas atau tanda-tanda safar. Tidak ada seorang pun dari kami yang mengenalnya. Orang tersebut duduk dekat Nabi SAW, dia menempelkan lututnya dengan lutut Nabi SAW, lalu meletakkan kedua tangannya di atas pahanya..."
Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar As-Sidawi dalam bukunya berjudul "Syarah 10 Landasan Agama dari Kalimat Nubuwwah" menjelaskan kalimat 'suatu hari kami duduk-duduk bersama Rasulullah' memberikan kepada kita dua faedah berharga:
Pertama, keutamaan bermajelis atau duduk-duduk bersama orang saleh dan alim karena orang saleh sangat berpengaruh bagi orang yang duduk bersamanya dan berpengaruh untuk kesucian hatinya. Kalau kita bergaul dengan orang shalih maka kita akan terpengaruh untuk meniru ilmunya, adabnya, kesalehannya, dan ucapannya.
Betapa banyak orang jahil dan bodoh tatkala mereka duduk bersama orang yang saleh dan lebih mengerti akhirnya dia dapat berubah jadi orang yang lebih baik. Sebagaimana juga sebaliknya betapa banyak orang yang dulunya saleh tetapi ketika dia duduk dengan orang yang ahli maksiat dan ahli bid‘ah, akhirnya kemudian dia berubah warnanya, baunya, dan rasanya. "Dan ini adalah sebuah kenyataan dan fakta," ujar Abu Ubaidah Yusuf.
Alkisah, Imran bin Hiththan dahulunya adalah seorang tokoh ulama sunnah, namun akhirnya berubah menjadi tokoh Khawarij. Kisahnya, dia punya sepupu berpaham Khawarij bernama Hamnah. Karena kecantikannya, maka Imran pun jatuh cinta padanya dan hendak menikahinya.
Tatkala ditegur oleh sebagian temannya, Imran menjawab: “Saya ingin menikahinya untuk mengentaskannya dari cengkeraman paham khawarij!” Namun, ternyata bukannya dia yang mengubah istrinya, malah dia yang diubah oleh istrinya sehingga menjadi Khawarij tulen! (Lihat Siyar A‘lam an-Nubala’ (4/214) karya Adz-Dzahabi.)
Syaikh Bakr bin Abdillah Abu Zaid berkomentar tentang kisah ini: “Dengan demikian, Anda mengetahui bahaya bergaul dan menikah dengan para ahli bid‘ah dan aliran-aliran sesat. Tidaklah perubahan drastis Irak dari mayoritas Ahli Sunnah menjadi mayoritas Syiah melainkan karena Ahli Sunnah menikah dengan Syiah sebagaimana dalam Al-Khuthuth al-‘Aridhah oleh Muhibbuddin al-Khathib.” (An-Nazha’ir (hlm. 90–91))
Oleh karena itu, Nabi SAW bersabda: “Seorang itu berdasarkan agama temannya, maka hendak nya dia melihat kepada siapakah dia berteman.” (HR Abu Dawud, At-Tirmidzi)
Kedua, Abu Ubaidah Yusuf melanjutnya, hendaknya sebagai seorang muslim lebih terbuka, bergaul, bermasyarakat, dan duduk-duduk dengan sahabat, tetangga, dan masyarakatnya, karena ada sebagian orang yang lebih suka menutup diri dan tidak mau bergaul dengan masyarakat, tidak mengobrol dengan masyarakat.
"Ini merupakan sebuah kesalahan. Namun, tentu saja maksudnya di sini kita tetap harus bergaul dengan mereka dalam batas-batas syariat, sesuai dengan kebutuhan, tidak buang buang waktu ke sana kemari dengan ghibah, namimah, dan membicarakan hal-hal yang tidak ada faedahnya," demikian Abu Ubaidah Yusuf.
"Suatu hari, kami duduk-duduk bersama Rasulullah SAW . Tiba-tiba datang kepada kami seorang laki-laki yang sangat putih pakaiannya lagi sangat hitam rambutnya. Tidak terlihat padanya bekas atau tanda-tanda safar. Tidak ada seorang pun dari kami yang mengenalnya. Orang tersebut duduk dekat Nabi SAW, dia menempelkan lututnya dengan lutut Nabi SAW, lalu meletakkan kedua tangannya di atas pahanya..."
Baca Juga
Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar As-Sidawi dalam bukunya berjudul "Syarah 10 Landasan Agama dari Kalimat Nubuwwah" menjelaskan kalimat 'suatu hari kami duduk-duduk bersama Rasulullah' memberikan kepada kita dua faedah berharga:
Pertama, keutamaan bermajelis atau duduk-duduk bersama orang saleh dan alim karena orang saleh sangat berpengaruh bagi orang yang duduk bersamanya dan berpengaruh untuk kesucian hatinya. Kalau kita bergaul dengan orang shalih maka kita akan terpengaruh untuk meniru ilmunya, adabnya, kesalehannya, dan ucapannya.
Betapa banyak orang jahil dan bodoh tatkala mereka duduk bersama orang yang saleh dan lebih mengerti akhirnya dia dapat berubah jadi orang yang lebih baik. Sebagaimana juga sebaliknya betapa banyak orang yang dulunya saleh tetapi ketika dia duduk dengan orang yang ahli maksiat dan ahli bid‘ah, akhirnya kemudian dia berubah warnanya, baunya, dan rasanya. "Dan ini adalah sebuah kenyataan dan fakta," ujar Abu Ubaidah Yusuf.
Alkisah, Imran bin Hiththan dahulunya adalah seorang tokoh ulama sunnah, namun akhirnya berubah menjadi tokoh Khawarij. Kisahnya, dia punya sepupu berpaham Khawarij bernama Hamnah. Karena kecantikannya, maka Imran pun jatuh cinta padanya dan hendak menikahinya.
Tatkala ditegur oleh sebagian temannya, Imran menjawab: “Saya ingin menikahinya untuk mengentaskannya dari cengkeraman paham khawarij!” Namun, ternyata bukannya dia yang mengubah istrinya, malah dia yang diubah oleh istrinya sehingga menjadi Khawarij tulen! (Lihat Siyar A‘lam an-Nubala’ (4/214) karya Adz-Dzahabi.)
Syaikh Bakr bin Abdillah Abu Zaid berkomentar tentang kisah ini: “Dengan demikian, Anda mengetahui bahaya bergaul dan menikah dengan para ahli bid‘ah dan aliran-aliran sesat. Tidaklah perubahan drastis Irak dari mayoritas Ahli Sunnah menjadi mayoritas Syiah melainkan karena Ahli Sunnah menikah dengan Syiah sebagaimana dalam Al-Khuthuth al-‘Aridhah oleh Muhibbuddin al-Khathib.” (An-Nazha’ir (hlm. 90–91))
Oleh karena itu, Nabi SAW bersabda: “Seorang itu berdasarkan agama temannya, maka hendak nya dia melihat kepada siapakah dia berteman.” (HR Abu Dawud, At-Tirmidzi)
Kedua, Abu Ubaidah Yusuf melanjutnya, hendaknya sebagai seorang muslim lebih terbuka, bergaul, bermasyarakat, dan duduk-duduk dengan sahabat, tetangga, dan masyarakatnya, karena ada sebagian orang yang lebih suka menutup diri dan tidak mau bergaul dengan masyarakat, tidak mengobrol dengan masyarakat.
"Ini merupakan sebuah kesalahan. Namun, tentu saja maksudnya di sini kita tetap harus bergaul dengan mereka dalam batas-batas syariat, sesuai dengan kebutuhan, tidak buang buang waktu ke sana kemari dengan ghibah, namimah, dan membicarakan hal-hal yang tidak ada faedahnya," demikian Abu Ubaidah Yusuf.
(mhy)