Idul Adha, Kurban, dan Keteladanan Nabi Ibrahim AS (1)
Sabtu, 01 Agustus 2020 - 08:15 WIB
Akan tetap pada akhirnya ternyata sang mentari juga hilang (terbenam) di sore hari. Ibrahimpun sampai kepada kesimpulan yang pasti bahwa Tuhan yang sesungguhnya adalah yang mencipta semua itu.
Itulah yang diikrarkan: Sesungguhnya saya menghadapkan wajahku kepada Yang menciptakan langit dan bumi, haniif dalam berislam, dan saya tidak termasuk orang-orang yang musyrik”.
Ibrahim AS Pada prinsipnya memang membangun pemikiran kritis, bahkan dalam hal-hal yang prinsip sekalipun. Hal itu terlihat misalnya ketika beliau mempertanyakan kebangkitan hari akhirat.
Ibrahim AS tanpa ragu mempertanyakan kepada Allah SWT: “Bagaimana Engkau menghidupkan orang yang telah mati?
Barangkali bagi sebagian Mukmin mempertanyakan hal seperti ini dikategorikan sebagai kelemahan, bahkan keraguan kepada agama. Tapi bagi Ibrahim justeru sebaliknya. Pertanyaan itu adalah bagian dari proses konfirmasi dan afirmasi iman.
Menyikapi pertanyaan Ibrahim itu Allah SWT menanyakan kepada Ibrahim: “tidak kamu beriman wahai Ibrahim?”.
Jawaban Ibrahim tegas: “Benar, (ya Allah saya beriman). Tapi saya ingin hatiku tenang”.
Proses logika dalam mencari kebenaran dalama agama Islam ternyata sangat didorong (encouraged). Bukankah Al-Quran sendiri menegaskan: “Maka tanyalah orang yang berilmu jika kamu tidak mengetahui”.
Intinya agama, bahkan aspek keimanan sekalipun, tidak diterima secara buta (blindly). Tapi melalui proses pencarian panjang yang seringkali melibatkan rasionalitas dan logika.
Itulah salah satu makna penting kenapa justeru ayat-ayat pertama yang diturunkan kepada Rasulullah SAW adalah perintah untuk “membaca” (iqra’). Bagi saya membaca adalah proses berlanjut (sustainable process) dalam menemukan kebenaran sejati.
Baca juga: Berikut Alasan Mengapa Kurban Mesti di Daerah Domisili
Al-Quran sendiri menampakkan diri sebagai Kitab Suci yang menjunjung tinggi logika dan rasionalitas. Kata kedua yang paling sering terulang dalam Al-Quran adalah kata-kata yang berkaitan dengan “akal” manusia.
”Tidakkah kamu berakal?”
“Tidakkah kamu berpikir?”
“Tidakkah kamu melakukan bertadabbur?”
Itulah yang diikrarkan: Sesungguhnya saya menghadapkan wajahku kepada Yang menciptakan langit dan bumi, haniif dalam berislam, dan saya tidak termasuk orang-orang yang musyrik”.
Ibrahim AS Pada prinsipnya memang membangun pemikiran kritis, bahkan dalam hal-hal yang prinsip sekalipun. Hal itu terlihat misalnya ketika beliau mempertanyakan kebangkitan hari akhirat.
Ibrahim AS tanpa ragu mempertanyakan kepada Allah SWT: “Bagaimana Engkau menghidupkan orang yang telah mati?
Barangkali bagi sebagian Mukmin mempertanyakan hal seperti ini dikategorikan sebagai kelemahan, bahkan keraguan kepada agama. Tapi bagi Ibrahim justeru sebaliknya. Pertanyaan itu adalah bagian dari proses konfirmasi dan afirmasi iman.
Menyikapi pertanyaan Ibrahim itu Allah SWT menanyakan kepada Ibrahim: “tidak kamu beriman wahai Ibrahim?”.
Jawaban Ibrahim tegas: “Benar, (ya Allah saya beriman). Tapi saya ingin hatiku tenang”.
Proses logika dalam mencari kebenaran dalama agama Islam ternyata sangat didorong (encouraged). Bukankah Al-Quran sendiri menegaskan: “Maka tanyalah orang yang berilmu jika kamu tidak mengetahui”.
Intinya agama, bahkan aspek keimanan sekalipun, tidak diterima secara buta (blindly). Tapi melalui proses pencarian panjang yang seringkali melibatkan rasionalitas dan logika.
Itulah salah satu makna penting kenapa justeru ayat-ayat pertama yang diturunkan kepada Rasulullah SAW adalah perintah untuk “membaca” (iqra’). Bagi saya membaca adalah proses berlanjut (sustainable process) dalam menemukan kebenaran sejati.
Baca juga: Berikut Alasan Mengapa Kurban Mesti di Daerah Domisili
Al-Quran sendiri menampakkan diri sebagai Kitab Suci yang menjunjung tinggi logika dan rasionalitas. Kata kedua yang paling sering terulang dalam Al-Quran adalah kata-kata yang berkaitan dengan “akal” manusia.
”Tidakkah kamu berakal?”
“Tidakkah kamu berpikir?”
“Tidakkah kamu melakukan bertadabbur?”