Ragam dan Sejarah Maulid Nabi Muhammad SAW, Arab Saudi Tidak Merayakan
Kamis, 28 September 2023 - 15:49 WIB
Konon hal itu bukan gagasan murni Salahuddin, melainkan usul dari iparnya, Muzaffaruddin Gekburi, yang menjadi atabeg (semacam bupati) di Irbil, Suriah Utara.
Untuk mengimbangi maraknya peringatan Natal oleh umat Nasrani, Muzaffaruddin di istananya sering menyelenggarakan peringatan Maulid Nabi, cuma perayaannya bersifat lokal dan tidak setiap tahun.
Adapun Salahuddin ingin agar perayaan Maulid Nabi menjadi tradisi bagi umat Islam di seluruh dunia dengan tujuan meningkatkan semangat juang, bukan sekadar perayaan ulang tahun biasa.
Pada mulanya gagasan Salahuddin ditentang oleh para ulama, sebab sejak zaman Nabi peringatan seperti itu tidak pernah ada. Lagi pula hari raya resmi menurut ajaran agama cuma ada dua, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha.
Salahuddin menegaskan bahwa perayaan Maulid Nabi hanyalah kegiatan yang menyemarakkan syiar agama, bukan perayaan yang bersifat ritual, sehingga tidak dapat dikategorikan bid'ah yang terlarang. Ketika Salahuddin meminta persetujuan dari Khalifah An-Nashir di Bagdad, ternyata khalifah setuju.
Pada ibadah haji bulan Zulhijjah 579 Hijriyah (1183 Masehi), Sultan Salahuddin al-Ayyubi sebagai penguasa Haramain (dua tanah suci Makkah dan Madinah) mengeluarkan instruksi kepada seluruh jemaah haji, agar jika kembali ke kampung halaman masing-masing segera mensosialisasikan kepada masyarakat Islam di mana saja berada, bahwa mulai tahun 580 Hijriah (1184 Masehi) tanggal 12 Rabiul Awal dirayakan sebagai hari Maulid Nabi dengan berbagai kegiatan yang membangkitkan semangat umat Islam.
Salah satu kegiatan yang diadakan oleh Sultan Salahuddin pada peringatan Maulid Nabi yang pertama kali tahun 1184 (580 Hijriah) adalah menyelenggarakan sayembara penulisan riwayat Nabi beserta puji-pujian bagi Nabi dengan bahasa yang seindah mungkin.
Seluruh ulama dan sastrawan diundang untuk mengikuti kompetisi tersebut. Pemenang yang menjadi juara pertama adalah Syaikh Ja'far al-Barzanji. Karyanya yang dikenal sebagai Kitab Barzanji sampai sekarang sering dibaca masyarakat di kampung-kampung pada peringatan Maulid Nabi.
Peringatan Maulid Nabi yang diselenggarakan Sultan Salahuddin itu membuahkan hasil yang positif. Semangat umat Islam menghadapi Perang Salib bergelora kembali. Salahuddin berhasil menghimpun kekuatan, sehingga pada tahun 1187 (583 Hijriah) Yerusalem direbut oleh Salahuddin dari tangan bangsa Eropa, dan Masjid al-Aqsa menjadi masjid kembali sampai hari ini.
Selain itu, perayaan Maulid Nabi juga dapat ditelusuri kembali pada tulisan Jamāl al-Dīn Ibn al-Ma'mūn yang wafat pada tahun 587 H/1192 M.
Maulid Nabi mulai populer di Mesir pada abad ke-11 M. Pada abad ke-12 masyarakat muslim di wilayah lain seperti Turki, Maroko, Suriah, dan Spanyol juga mulai merayakannya.
Saat ini, ada berbagai bentuk peringatan. Kelompok sufi di Mesir memasuki beberapa masjid paling terkenal di negara itu untuk melakukan apa yang dikenal sebagai “Halaqat al-Dzikir”, atau lingkaran zikir.
Di kalangan ini, para sufi membacakan puisi-puisi keagamaan dan nasyid untuk memuji Tuhan dan Nabi Muhammad SAW.
Foto-foto:TRTWORLD
Untuk mengimbangi maraknya peringatan Natal oleh umat Nasrani, Muzaffaruddin di istananya sering menyelenggarakan peringatan Maulid Nabi, cuma perayaannya bersifat lokal dan tidak setiap tahun.
Adapun Salahuddin ingin agar perayaan Maulid Nabi menjadi tradisi bagi umat Islam di seluruh dunia dengan tujuan meningkatkan semangat juang, bukan sekadar perayaan ulang tahun biasa.
Pada mulanya gagasan Salahuddin ditentang oleh para ulama, sebab sejak zaman Nabi peringatan seperti itu tidak pernah ada. Lagi pula hari raya resmi menurut ajaran agama cuma ada dua, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha.
Salahuddin menegaskan bahwa perayaan Maulid Nabi hanyalah kegiatan yang menyemarakkan syiar agama, bukan perayaan yang bersifat ritual, sehingga tidak dapat dikategorikan bid'ah yang terlarang. Ketika Salahuddin meminta persetujuan dari Khalifah An-Nashir di Bagdad, ternyata khalifah setuju.
Pada ibadah haji bulan Zulhijjah 579 Hijriyah (1183 Masehi), Sultan Salahuddin al-Ayyubi sebagai penguasa Haramain (dua tanah suci Makkah dan Madinah) mengeluarkan instruksi kepada seluruh jemaah haji, agar jika kembali ke kampung halaman masing-masing segera mensosialisasikan kepada masyarakat Islam di mana saja berada, bahwa mulai tahun 580 Hijriah (1184 Masehi) tanggal 12 Rabiul Awal dirayakan sebagai hari Maulid Nabi dengan berbagai kegiatan yang membangkitkan semangat umat Islam.
Salah satu kegiatan yang diadakan oleh Sultan Salahuddin pada peringatan Maulid Nabi yang pertama kali tahun 1184 (580 Hijriah) adalah menyelenggarakan sayembara penulisan riwayat Nabi beserta puji-pujian bagi Nabi dengan bahasa yang seindah mungkin.
Seluruh ulama dan sastrawan diundang untuk mengikuti kompetisi tersebut. Pemenang yang menjadi juara pertama adalah Syaikh Ja'far al-Barzanji. Karyanya yang dikenal sebagai Kitab Barzanji sampai sekarang sering dibaca masyarakat di kampung-kampung pada peringatan Maulid Nabi.
Peringatan Maulid Nabi yang diselenggarakan Sultan Salahuddin itu membuahkan hasil yang positif. Semangat umat Islam menghadapi Perang Salib bergelora kembali. Salahuddin berhasil menghimpun kekuatan, sehingga pada tahun 1187 (583 Hijriah) Yerusalem direbut oleh Salahuddin dari tangan bangsa Eropa, dan Masjid al-Aqsa menjadi masjid kembali sampai hari ini.
Selain itu, perayaan Maulid Nabi juga dapat ditelusuri kembali pada tulisan Jamāl al-Dīn Ibn al-Ma'mūn yang wafat pada tahun 587 H/1192 M.
Maulid Nabi mulai populer di Mesir pada abad ke-11 M. Pada abad ke-12 masyarakat muslim di wilayah lain seperti Turki, Maroko, Suriah, dan Spanyol juga mulai merayakannya.
Saat ini, ada berbagai bentuk peringatan. Kelompok sufi di Mesir memasuki beberapa masjid paling terkenal di negara itu untuk melakukan apa yang dikenal sebagai “Halaqat al-Dzikir”, atau lingkaran zikir.
Di kalangan ini, para sufi membacakan puisi-puisi keagamaan dan nasyid untuk memuji Tuhan dan Nabi Muhammad SAW.
Foto-foto:TRTWORLD
(mhy)
Lihat Juga :