Pedihnya Nasib Orang-Orang Yahudi ketika Palestina Dikuasai Persia sampai Romawi
Jum'at, 27 Oktober 2023 - 15:10 WIB
Dr Muhsin Muhammad Shaleh mengatakan ketika Palestina masuk di bawah pemerintahan Persia pada tahun 539 – 332 SM, Kaisar Qursh II mengizinkan orang-orang Yahudi kembali ke Palestina dari tempat pembuangan mereka di Babilonia .
"Sebagian kecil dari mereka kembali ke Palestina sementara mayoritas tetap tinggal di Irak setelah kagum dengan tanahnya dan tinggal menetap di sana," tulis Dr Muhsin Muhammad Shaleh dalam bukunya berjudul "Ardhu Filistin wa Sya’buha" yang diterjemahkan Warsito, Lc menjadi "Tanah Palestina dan Rakyatnya".
Orang-orang Yahudi diberikan semacam pemerintahan otonomi di bawah hegemoni Persia di daerah al Quds yang luasnya tidak lebih dari separuh lingkaran yang jari-jarinya 20 kilometer, yaitu tidak lebih dari 4,8% dari total luas tanah Palestina yang sekarang ini.
Setelah itu Palestina berada di bawah kekuasaan Yunani tahun 332 – 63 SM, kondisi orang-orang Yahudi tetap tidak berubah kira-kira pada masa Bathalomeus (301 – 198) SM.
Hanya saja akhirnya mereka mendapat perlakukan kejam dari pemerintahan Saluki tahun 198 – 63 SM yang memaksa orang-orang Yahudi beribadah menyembah tuhan-tuhan orang Yunani.
Tatkala orang-orang Yahudi berontak atas kondisinya, orang-orang Saluki memperbolehkan mereka melakukan ibadah sesuai agamanya (Yahudi).
Mereka mendirikan pemerintahan otonomi di al Quds sejak tahun 163 SM yang terus mengalami perubahan menyempit dan meluas, kadang tampak fenomena kemerdekaannya, atau melemah bahkan melemah sesuai dengan konflik yang terjadi antar kekuatan super power pada masa itu di Palestina. "Namun mereka tetap berada di bawah kekuasaan orang lain," ujar Muhsin Muhammad Shaleh.
Tidak mudah bagi mereka untuk merdeka secara politik penuh meskipun mereka melihat adanya kebangkitan dan perluasan di bawah pemimpin mereka bernama Alexander Ganeus tahun 103-76 SM.
Romawi
Kemudian setelah Romawi mulai berkuasa atas Palestina sejak tahun 63 SM, mereka mengubah kebijakannya terhadap pemerintahan otonomi Yahudi di Palestina sejak tahun ke-6 Masehi. Mereka mulai memerintah langsung atas al Quds dan seluruh wilayah Palestina lainnya.
Ketika orang-orang Yahudi bangkit melakukan pemberontakan pada tahun 77 – 70 Masehi, pihak Romawi berhasil memadamkan pemberontakan dengan kekerasan, mereka menghancurkan Haikal dan al Quds.
Pemerintah Romawi juga berhasil memadamkan pemberontakan lain yang dilakukan Yahudi, yang terakhir terjadi pada tahun 132 – 135 Masehi.
Mereka menghancurkan al Quds, meratakan posisinya, melarang orang-orang Yahudi masuk dan tinggal di dalamnya. Hanya orang-orang Nasrani yang diperbolehkan dengan syarat tidak memiliki akar Yahudi.
Kemudian rezim Romawi mendirikan kota baru di atas puing-puing al Quds mereka beri nama Eilia Capitolina. Oleh karenanya, setelah itu al Quds dikenal dengan nama Eilia’. Itu adalah nama pertama kaisar Romawi pada masa itu yaitu Haderyan. Pelarangan bagi orang-orang Yahudi ini terus berlaku hingga 200 tahun berikutnya.
"Sebagian kecil dari mereka kembali ke Palestina sementara mayoritas tetap tinggal di Irak setelah kagum dengan tanahnya dan tinggal menetap di sana," tulis Dr Muhsin Muhammad Shaleh dalam bukunya berjudul "Ardhu Filistin wa Sya’buha" yang diterjemahkan Warsito, Lc menjadi "Tanah Palestina dan Rakyatnya".
Orang-orang Yahudi diberikan semacam pemerintahan otonomi di bawah hegemoni Persia di daerah al Quds yang luasnya tidak lebih dari separuh lingkaran yang jari-jarinya 20 kilometer, yaitu tidak lebih dari 4,8% dari total luas tanah Palestina yang sekarang ini.
Setelah itu Palestina berada di bawah kekuasaan Yunani tahun 332 – 63 SM, kondisi orang-orang Yahudi tetap tidak berubah kira-kira pada masa Bathalomeus (301 – 198) SM.
Hanya saja akhirnya mereka mendapat perlakukan kejam dari pemerintahan Saluki tahun 198 – 63 SM yang memaksa orang-orang Yahudi beribadah menyembah tuhan-tuhan orang Yunani.
Tatkala orang-orang Yahudi berontak atas kondisinya, orang-orang Saluki memperbolehkan mereka melakukan ibadah sesuai agamanya (Yahudi).
Mereka mendirikan pemerintahan otonomi di al Quds sejak tahun 163 SM yang terus mengalami perubahan menyempit dan meluas, kadang tampak fenomena kemerdekaannya, atau melemah bahkan melemah sesuai dengan konflik yang terjadi antar kekuatan super power pada masa itu di Palestina. "Namun mereka tetap berada di bawah kekuasaan orang lain," ujar Muhsin Muhammad Shaleh.
Tidak mudah bagi mereka untuk merdeka secara politik penuh meskipun mereka melihat adanya kebangkitan dan perluasan di bawah pemimpin mereka bernama Alexander Ganeus tahun 103-76 SM.
Romawi
Kemudian setelah Romawi mulai berkuasa atas Palestina sejak tahun 63 SM, mereka mengubah kebijakannya terhadap pemerintahan otonomi Yahudi di Palestina sejak tahun ke-6 Masehi. Mereka mulai memerintah langsung atas al Quds dan seluruh wilayah Palestina lainnya.
Ketika orang-orang Yahudi bangkit melakukan pemberontakan pada tahun 77 – 70 Masehi, pihak Romawi berhasil memadamkan pemberontakan dengan kekerasan, mereka menghancurkan Haikal dan al Quds.
Pemerintah Romawi juga berhasil memadamkan pemberontakan lain yang dilakukan Yahudi, yang terakhir terjadi pada tahun 132 – 135 Masehi.
Mereka menghancurkan al Quds, meratakan posisinya, melarang orang-orang Yahudi masuk dan tinggal di dalamnya. Hanya orang-orang Nasrani yang diperbolehkan dengan syarat tidak memiliki akar Yahudi.
Kemudian rezim Romawi mendirikan kota baru di atas puing-puing al Quds mereka beri nama Eilia Capitolina. Oleh karenanya, setelah itu al Quds dikenal dengan nama Eilia’. Itu adalah nama pertama kaisar Romawi pada masa itu yaitu Haderyan. Pelarangan bagi orang-orang Yahudi ini terus berlaku hingga 200 tahun berikutnya.
(mhy)