Hukum-hukum untuk Bekal Beramal Saleh
Sabtu, 02 Desember 2023 - 07:40 WIB
Jika ia tidak mengetahuinya, maka ia wajib mengamalkan firman Allah Ta’ala dalam surat al-Anbiya’ ayat 7,
“Maka tanyakanlah kepada orang yang berilmu, jika kamu tidak mengetahui.”(QS al Anbiya : 7)
Seseorang yang belum mengetahui hukum suatu amalan yang akan ia kerjakan, wajib untuk menanyakannya pada orang yang terpercaya secara keilmuan syariat dan waqi’/kondisi, serta terpercaya agamanya.
Hal ini merupakan perkara yang lebih sulit dari hukum sebelumnya, karena berkaitan dengan ruwetnya masalah maslahat dan mudarat. Demikian karena tidak cukup hanya melihat lahiriah hukumnya halal atau mubah hingga ketika dikerjakan pun mengandung konsekuensi demikian.
Sebab jika suatu amalan diketahui—setelah melalui pertimbangan siyasah, kondisi real dan pandangan orang yang berpengalaman—mengandung mudarat yang setara atau lebih besar dari maslahatnya, maka melaksanakannya pun menjadi haram.
Hal ini berdasarkan kaidah fikih yang berbunyi ‘Tidak boleh mendatangkan bahaya dan menolak bahaya dengan bahaya lainnya’.
Dengan demikian, bagi yang tidak mengetahui masalah ini, ia wajib mengembalikan perkaranya pada orang yang terpercaya dalam masalah keilmuan, terutama ilmu siyasah dan waqi’/realitas dari orang yang terpercaya agamanya.
Siapa saja yang mampu melaksanakannya, maka mereka inilah orang-orang yang memiliki azam kuat untuk melaksanakannya. Terlebih jika ia telah bermusyawarah terlebih dahulu dengan orang yang berpengalaman dan terpercaya.
Hal ini sebagaimana firman Allah dalam surat al-Qashash ayat 26,
“Sesungguhnya orang yang paling baik yang engkau ambil sebagai pekerja (pada kita) ialah orang yang kuat dan dapat dipercaya.”
Untuk itulah, setiap manusia tidak mungkin sukses dalam melakukan suatu amalan kecuali dengan mengambil tiga ketetapan hukum tersebut. Yaitu hukum syar’i, siyasah kemaslahatan, dan realitas kemungkinan. Dengan demikian, amal perbuatan yang kita lakukan merupakan amalan yang halal, bermaslahat, dan dapat direalisasikan.
Wallahu A'lam
فَسْـَٔلُوْٓا اَهْلَ الذِّكْرِ اِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ
“Maka tanyakanlah kepada orang yang berilmu, jika kamu tidak mengetahui.”(QS al Anbiya : 7)
Seseorang yang belum mengetahui hukum suatu amalan yang akan ia kerjakan, wajib untuk menanyakannya pada orang yang terpercaya secara keilmuan syariat dan waqi’/kondisi, serta terpercaya agamanya.
2. Hukum Siyasi
Hendaknya seseorang memperhatikan dan memikirkan, sejauh ilmu yang ia miliki, konsekuensi yang akan diterima dari suatu perbuatan yang hendak ia kerjakan. Apakah perbuatan itu berfaedah untuk kemaslahatan diri dan umat, atau justru membahayakannya?Hal ini merupakan perkara yang lebih sulit dari hukum sebelumnya, karena berkaitan dengan ruwetnya masalah maslahat dan mudarat. Demikian karena tidak cukup hanya melihat lahiriah hukumnya halal atau mubah hingga ketika dikerjakan pun mengandung konsekuensi demikian.
Sebab jika suatu amalan diketahui—setelah melalui pertimbangan siyasah, kondisi real dan pandangan orang yang berpengalaman—mengandung mudarat yang setara atau lebih besar dari maslahatnya, maka melaksanakannya pun menjadi haram.
Hal ini berdasarkan kaidah fikih yang berbunyi ‘Tidak boleh mendatangkan bahaya dan menolak bahaya dengan bahaya lainnya’.
Dengan demikian, bagi yang tidak mengetahui masalah ini, ia wajib mengembalikan perkaranya pada orang yang terpercaya dalam masalah keilmuan, terutama ilmu siyasah dan waqi’/realitas dari orang yang terpercaya agamanya.
3. Hukum Realitas
Termasuk perkara yang sangat penting setelah mengetahui hukum syar’i dan siyasi adalah memperhatikan kemungkinan tercapainya amalan tersebut. Ini merupakan perkara yang sangat penting dan utama, sehingga amalan yang sudah diketahui kehalalan dan kemaslahatannya akan dapat tercapai dengan pertimbangan kemungkinan dapat direalisasikannya.Siapa saja yang mampu melaksanakannya, maka mereka inilah orang-orang yang memiliki azam kuat untuk melaksanakannya. Terlebih jika ia telah bermusyawarah terlebih dahulu dengan orang yang berpengalaman dan terpercaya.
Hal ini sebagaimana firman Allah dalam surat al-Qashash ayat 26,
اِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْاَمِيْنُ
“Sesungguhnya orang yang paling baik yang engkau ambil sebagai pekerja (pada kita) ialah orang yang kuat dan dapat dipercaya.”
Untuk itulah, setiap manusia tidak mungkin sukses dalam melakukan suatu amalan kecuali dengan mengambil tiga ketetapan hukum tersebut. Yaitu hukum syar’i, siyasah kemaslahatan, dan realitas kemungkinan. Dengan demikian, amal perbuatan yang kita lakukan merupakan amalan yang halal, bermaslahat, dan dapat direalisasikan.
Wallahu A'lam
(wid)