Berdebat dalam Al-Quran Surat Hud Ayat 118, Dianjurkan Berdiskusi
Senin, 22 Januari 2024 - 10:49 WIB
Sebuah perbedaan merupakan salah satu ketetapan Allah yang menjadikan kehidupan di dunia ini semakin beragam. Perbedaan pendapat, keyakinan, dan perilaku manusia merupakan sebuah keniscayaan, sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah:
"Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat." ( QS 11 : 118)
Pada ayat ini, makna berselisih pendapat diungkapkan dengan lafadz wala yazaluna mukhtalifina, dengan menggunakan fi’il mudari’ yang mengindikasikan bahwa setiap perselisihan akan terus berlangsung pada masa kini dan masa mendatang.
Penyebutan kata mukhtalifina pada ayat tersebut, tampaknya, menjadi titik penting dalam problematika perbedaan pendapat yang bersifat insidental.
Muhammad Fakhr al-Din al-Razi dalam Tafsir al-Kabir wa Mafatih al-Ghaib memahami ayat tersebut bersifat umum, meliputi perbedaan agama, perilaku, perbuatan, warna kulit, bahasa, rezeki, dan lainnya.
Pendapat tidak jauh berbeda diungkapkan Wahbah al-Zuhayli. Dalam al-Tafsir al-Munir fi al-’Aqidah wa al-Syariat wa al-Manhaj, ia menyatakan bahwa ayat tersebut memiliki arti perbedaan argumentasi, agama, keyakinan, ideologi, petunjuk, rezeki, dan lain-lain.
Setiap perbedaan dalam kehidupan manusia disinyalir sudah menjadi lazim ketika dilihat dari sudut pandang siklus kehidupan yang mengharuskan adanya interaksi dan kompetisi.
Dalam hal ini, sebuah jembatan penghubung untuk sebuah perbedaan sangat diperlukan guna membangun kehidupan yang layak dan menjunjung nilai-nilai keharmonisan.
Salah satu cara untuk saling memahami dan mempertemukan setiap perbedaan antar-sesama adalah diskusi. Selain merupakan konsekuensi logis dari sebuah perbedaan, diskusi juga merupakan anjuran agama agar saling mengenal dan memahami satu sama lain dengan cara yang baik sebagaimana terekam dalam Firman Allah QS al-Nahl (16) : 25 dan QS al-‘Ankabut (29) : 46.
"Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat." ( QS 11 : 118)
Pada ayat ini, makna berselisih pendapat diungkapkan dengan lafadz wala yazaluna mukhtalifina, dengan menggunakan fi’il mudari’ yang mengindikasikan bahwa setiap perselisihan akan terus berlangsung pada masa kini dan masa mendatang.
Baca Juga
Penyebutan kata mukhtalifina pada ayat tersebut, tampaknya, menjadi titik penting dalam problematika perbedaan pendapat yang bersifat insidental.
Muhammad Fakhr al-Din al-Razi dalam Tafsir al-Kabir wa Mafatih al-Ghaib memahami ayat tersebut bersifat umum, meliputi perbedaan agama, perilaku, perbuatan, warna kulit, bahasa, rezeki, dan lainnya.
Pendapat tidak jauh berbeda diungkapkan Wahbah al-Zuhayli. Dalam al-Tafsir al-Munir fi al-’Aqidah wa al-Syariat wa al-Manhaj, ia menyatakan bahwa ayat tersebut memiliki arti perbedaan argumentasi, agama, keyakinan, ideologi, petunjuk, rezeki, dan lain-lain.
Setiap perbedaan dalam kehidupan manusia disinyalir sudah menjadi lazim ketika dilihat dari sudut pandang siklus kehidupan yang mengharuskan adanya interaksi dan kompetisi.
Dalam hal ini, sebuah jembatan penghubung untuk sebuah perbedaan sangat diperlukan guna membangun kehidupan yang layak dan menjunjung nilai-nilai keharmonisan.
Salah satu cara untuk saling memahami dan mempertemukan setiap perbedaan antar-sesama adalah diskusi. Selain merupakan konsekuensi logis dari sebuah perbedaan, diskusi juga merupakan anjuran agama agar saling mengenal dan memahami satu sama lain dengan cara yang baik sebagaimana terekam dalam Firman Allah QS al-Nahl (16) : 25 dan QS al-‘Ankabut (29) : 46.
Baca Juga
(mhy)