Akar Perbedaan Hisab dan Rukyat, Begini Penjelasan PP Muhammadiyah
Jum'at, 01 Maret 2024 - 11:45 WIB
Bahkan dalam al-Munjid disebutkan bahwa Kata ru’yat ini tidak banyak dimaknai sebagai “melihat” kecuali hanya terkadang saja, dan lebih banyak digunakan dalam arti “mengetahui”. Dapat disimpulkan, kata “ru’yat” adalah bahasa Arab untuk “melihat” dalam makna yang luas.
Itu tampak dalam beberapa ayat Al-Qur’an seperti ayat keempat dari Surat Yusuf :
Yang artinya, “….Sesungguhnya aku melihat sebelas bintang dan matahari serta rembulan, aku melihat mereka semua bersujud padaku…”.
Ayat itu membahas tentang mimpi Nabi Yusuf, dan penggunaan kata “ru’yat” sebagai kata kerja digunakan untuk menggambarkan apa yang dilihat dalam mimpi, dan tidak menggunakan pandangan mata ketika sadar.
Begitu juga dalam kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail dalam Surat Ash-Shaffat ayat 102 :
Yang diartikan, “…maka (ketika Ismail) mencapai usia remaja, Ibrahim berkata, ‘Wahai anakku, aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu, apa pendapatmu?’ Maka berkata (Ismail), ‘Wahai bapakku lakukanlah apa yang Allah perintahkan jangan ragu, maka engkau akan mendapatiku insyaa Allah termasuk sebagai orang-orang yang sabar”.
Bahkan dalam ayat ini juga menjelaskan bahwa ru’yat juga bermakna “pendapat”.
Pendekatan dalam Rukyat
Penggunaan metode Rukyat merupakan praktik pendekatan Bayani sebagai metode tunggal dalam memahami nash dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah. Kemudian muncul pertanyaan, jika memang hisab itu disyari’atkan, lalu kenapa di masa salaf menggunakan metode rukyat dan bukan hisab?
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar -radhiyallahu anhuma-, dari Nabi -shallallahu alaihi wa sallam– bersabda, “Sesungguhnya kita adalah umat yang ummi, kita tidak bisa membaca, dan menghitung. (Siklus) bulan begini dan begini, maksudnya 29 dan 30 (hari)”. HR. Bukhari No. 1080 dan Muslim No. 1814.
Konteks hadis ini adalah bahwa Nabi dan kondisi sebagian para sahabat masa itu adalah umat yang ummiy, tidak bisa membaca dan tidak bisa menulis, dan menghitung.
Pendekatan dalam Hisab
Muhammadiyah dalam memahami nash dalil menggunakan pendekatan Bayani (bertumpu pada pemahaman teks nash), Burhani (pendekatan logika) dan Irfani (yang bertumpu pada pengalaman intuisi spiritual).
Dalam pembahasan ini lebih terfokus pada pendekatan Bayani dan Burhani dalam hisab.
Adapun penggunaan metode hisab berdasarkan nash dalil sebagai pendekatan Bayani, dan dikontekstualisasikan dengan pendekatan Burhani dengan penggunaan ilmu matematika astronomi untuk menghitung peredaran bulan dan menentukan kalender Kamariah. Karena ilmu pengetahuan dan teknologi telah berkembang sehingga membantu dan memudahkan penentuan kalender Kamariah.
PP Muhammadiyah menjelaskan alasan paling logis dan syar’i warga Muhammadiyah dan siapapun yang ikut penetapan kalender Kamariah dengan metode hisab adalah karena: (1) Islam agama yang rasional, (2) Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, (3) Islam telah berkembang ke seluruh dunia, dan menuntut penggunaan kalender global, dan tentunya (4) Metode hisab sesuai dengan Al Qur’an dan Sunnah serta perkembangan zaman.
Itu tampak dalam beberapa ayat Al-Qur’an seperti ayat keempat dari Surat Yusuf :
“…إني رأيت أحد عشر كوكبا والشمس والقمر رأيتهم لي ساجدين…”
Yang artinya, “….Sesungguhnya aku melihat sebelas bintang dan matahari serta rembulan, aku melihat mereka semua bersujud padaku…”.
Baca Juga
Ayat itu membahas tentang mimpi Nabi Yusuf, dan penggunaan kata “ru’yat” sebagai kata kerja digunakan untuk menggambarkan apa yang dilihat dalam mimpi, dan tidak menggunakan pandangan mata ketika sadar.
Begitu juga dalam kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail dalam Surat Ash-Shaffat ayat 102 :
….”فلما بلغ معه السعي قال يابني إني أرى في المنام أني أذبحك فانظر ماذا ترى قال ياأبت افعل ما تؤمر ستجدني إن شاء الله من الصابرين”….
Yang diartikan, “…maka (ketika Ismail) mencapai usia remaja, Ibrahim berkata, ‘Wahai anakku, aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu, apa pendapatmu?’ Maka berkata (Ismail), ‘Wahai bapakku lakukanlah apa yang Allah perintahkan jangan ragu, maka engkau akan mendapatiku insyaa Allah termasuk sebagai orang-orang yang sabar”.
Bahkan dalam ayat ini juga menjelaskan bahwa ru’yat juga bermakna “pendapat”.
Pendekatan dalam Rukyat
Penggunaan metode Rukyat merupakan praktik pendekatan Bayani sebagai metode tunggal dalam memahami nash dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah. Kemudian muncul pertanyaan, jika memang hisab itu disyari’atkan, lalu kenapa di masa salaf menggunakan metode rukyat dan bukan hisab?
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar -radhiyallahu anhuma-, dari Nabi -shallallahu alaihi wa sallam– bersabda, “Sesungguhnya kita adalah umat yang ummi, kita tidak bisa membaca, dan menghitung. (Siklus) bulan begini dan begini, maksudnya 29 dan 30 (hari)”. HR. Bukhari No. 1080 dan Muslim No. 1814.
Konteks hadis ini adalah bahwa Nabi dan kondisi sebagian para sahabat masa itu adalah umat yang ummiy, tidak bisa membaca dan tidak bisa menulis, dan menghitung.
Pendekatan dalam Hisab
Muhammadiyah dalam memahami nash dalil menggunakan pendekatan Bayani (bertumpu pada pemahaman teks nash), Burhani (pendekatan logika) dan Irfani (yang bertumpu pada pengalaman intuisi spiritual).
Dalam pembahasan ini lebih terfokus pada pendekatan Bayani dan Burhani dalam hisab.
Adapun penggunaan metode hisab berdasarkan nash dalil sebagai pendekatan Bayani, dan dikontekstualisasikan dengan pendekatan Burhani dengan penggunaan ilmu matematika astronomi untuk menghitung peredaran bulan dan menentukan kalender Kamariah. Karena ilmu pengetahuan dan teknologi telah berkembang sehingga membantu dan memudahkan penentuan kalender Kamariah.
PP Muhammadiyah menjelaskan alasan paling logis dan syar’i warga Muhammadiyah dan siapapun yang ikut penetapan kalender Kamariah dengan metode hisab adalah karena: (1) Islam agama yang rasional, (2) Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, (3) Islam telah berkembang ke seluruh dunia, dan menuntut penggunaan kalender global, dan tentunya (4) Metode hisab sesuai dengan Al Qur’an dan Sunnah serta perkembangan zaman.
Lihat Juga :