Akar Perbedaan Hisab dan Rukyat, Begini Penjelasan PP Muhammadiyah
Jum'at, 01 Maret 2024 - 11:45 WIB
Awal Ramadan tahun ini diperkirakan tidak seragam. Muhammadiyah telah menetapkan 1 Ramadan 1445 H pada 11 Maret 2024, Idulfitri 1 Syawal pada 10 April, dan Puasa Arafah 9 Zulhijah pada 16 Juni, serta Iduladha 10 Zulhijah 1445 H pada 17 Juni 2024.
Sekretaris Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah , Muhammad Sayuti, menjelaskan, keputusan penetapan tersebut dilakukan dengan menggunakan metode Hisab Wujudul Hilal Hakiki.
Penetapan hari-hari penting itu berdasaran Maklumat Nomor 1/MLM/I.0/E/2024 ini ditandatangani oleh Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir dan Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu’ti pada 12 Januari 2024.
Muhammadiyah dalam menentukan awal bulan Kamariah memang berbeda dengan kalangan umat Islam lainnya yang memakai rukyat. Sehingga perdebatan tentang metode Muhammadiyah menjadi perdebatan yang seolah tak kunjung reda, suatu hal yang biasa ditemui di media sosial. Lalu, dimanakah akar perbedaan kedua metode penentuan kalender Kamariah ini?
Dalil Al-Qur’an dan Hadits
PP Muhammadiyah dalam laman resminya menjelaskan di antara dalil Al-Qur’an dan Hadis yang memuat perintah berpuasa dengan memperhatikan waktu adalah dalam Surat Al-Baqarah ayat 185, yaitu:
Yang diartikan secara tekstual sebagai “…Barangsiapa yang menyaksikan bulan di antara kalian hendaklah berpuasa...”.
Sedangkan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dan An-Nasa’i dengan redaksi lengkap yang sedikit berbeda, kedua hadis itu menyebutkan:
Yang diartikan secara tekstual “…berpuasalah kalian ketika melihatnya (hilal Ramadan) dan berbukalah ketika kalian melihatnya (hilal syawal)…”.
Maka perlu diperhatikan pada kalimat “syahida” (شهد) yang bermakna “menyaksikan” dan “rukyat” (رؤية) yang bermakna “melihat”.
Kata “syahida” di sini memang bermakna “menyaksikan”, akan tetapi tidak mengharuskan “menyaksikan” dengan penglihatan mata seperti halnya menyaksikan sebuah peristiwa. Melainkan lebih cenderung bermakna “mengetahui”.
Seperti yang tampak jelas dalam dua kalimat syahadat :
Yang bermakna “Aku bersaksi tiada Tuhan (yang pantas disembah) kecuali Allah, dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah”.
Sehingga sebuah persaksian dalam hal ini tidak mengharuskan seseorang yang bersyahadat menyaksikan secara langsung Allah dan Nabi Muhammad –shallallahu ‘alayhi wa sallam-. Akan tetapi seseorang yang bersyahadat adalah yang mengetahui dan meyakini bahwa hanya Allah-lah satu-satunya Tuhan yang pantas disembah dan Nabi Muhammad adalah utusan-Nya.
Adapun kata ru’yat (رؤية) atau rukyat secara asal bahasa memiliki makna “melihat, baik dengan mata atau dengan ilmu”, seperti yang dijelaskan dalam Kamus al-Munjid atau “melihat dengan menggunakan mata atau hati” seperti yang dijelaskan dalam Kamus ar-Raid dan al-Qamus al-Muhith.
Bahkan dalam al-Munjid disebutkan bahwa Kata ru’yat ini tidak banyak dimaknai sebagai “melihat” kecuali hanya terkadang saja, dan lebih banyak digunakan dalam arti “mengetahui”. Dapat disimpulkan, kata “ru’yat” adalah bahasa Arab untuk “melihat” dalam makna yang luas.
Itu tampak dalam beberapa ayat Al-Qur’an seperti ayat keempat dari Surat Yusuf :
Yang artinya, “….Sesungguhnya aku melihat sebelas bintang dan matahari serta rembulan, aku melihat mereka semua bersujud padaku…”.
Ayat itu membahas tentang mimpi Nabi Yusuf, dan penggunaan kata “ru’yat” sebagai kata kerja digunakan untuk menggambarkan apa yang dilihat dalam mimpi, dan tidak menggunakan pandangan mata ketika sadar.
Begitu juga dalam kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail dalam Surat Ash-Shaffat ayat 102 :
Yang diartikan, “…maka (ketika Ismail) mencapai usia remaja, Ibrahim berkata, ‘Wahai anakku, aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu, apa pendapatmu?’ Maka berkata (Ismail), ‘Wahai bapakku lakukanlah apa yang Allah perintahkan jangan ragu, maka engkau akan mendapatiku insyaa Allah termasuk sebagai orang-orang yang sabar”.
Bahkan dalam ayat ini juga menjelaskan bahwa ru’yat juga bermakna “pendapat”.
Pendekatan dalam Rukyat
Penggunaan metode Rukyat merupakan praktik pendekatan Bayani sebagai metode tunggal dalam memahami nash dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah. Kemudian muncul pertanyaan, jika memang hisab itu disyari’atkan, lalu kenapa di masa salaf menggunakan metode rukyat dan bukan hisab?
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar -radhiyallahu anhuma-, dari Nabi -shallallahu alaihi wa sallam– bersabda, “Sesungguhnya kita adalah umat yang ummi, kita tidak bisa membaca, dan menghitung. (Siklus) bulan begini dan begini, maksudnya 29 dan 30 (hari)”. HR. Bukhari No. 1080 dan Muslim No. 1814.
Konteks hadis ini adalah bahwa Nabi dan kondisi sebagian para sahabat masa itu adalah umat yang ummiy, tidak bisa membaca dan tidak bisa menulis, dan menghitung.
Pendekatan dalam Hisab
Muhammadiyah dalam memahami nash dalil menggunakan pendekatan Bayani (bertumpu pada pemahaman teks nash), Burhani (pendekatan logika) dan Irfani (yang bertumpu pada pengalaman intuisi spiritual).
Dalam pembahasan ini lebih terfokus pada pendekatan Bayani dan Burhani dalam hisab.
Adapun penggunaan metode hisab berdasarkan nash dalil sebagai pendekatan Bayani, dan dikontekstualisasikan dengan pendekatan Burhani dengan penggunaan ilmu matematika astronomi untuk menghitung peredaran bulan dan menentukan kalender Kamariah. Karena ilmu pengetahuan dan teknologi telah berkembang sehingga membantu dan memudahkan penentuan kalender Kamariah.
PP Muhammadiyah menjelaskan alasan paling logis dan syar’i warga Muhammadiyah dan siapapun yang ikut penetapan kalender Kamariah dengan metode hisab adalah karena: (1) Islam agama yang rasional, (2) Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, (3) Islam telah berkembang ke seluruh dunia, dan menuntut penggunaan kalender global, dan tentunya (4) Metode hisab sesuai dengan Al Qur’an dan Sunnah serta perkembangan zaman.
Sekretaris Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah , Muhammad Sayuti, menjelaskan, keputusan penetapan tersebut dilakukan dengan menggunakan metode Hisab Wujudul Hilal Hakiki.
Penetapan hari-hari penting itu berdasaran Maklumat Nomor 1/MLM/I.0/E/2024 ini ditandatangani oleh Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir dan Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu’ti pada 12 Januari 2024.
Muhammadiyah dalam menentukan awal bulan Kamariah memang berbeda dengan kalangan umat Islam lainnya yang memakai rukyat. Sehingga perdebatan tentang metode Muhammadiyah menjadi perdebatan yang seolah tak kunjung reda, suatu hal yang biasa ditemui di media sosial. Lalu, dimanakah akar perbedaan kedua metode penentuan kalender Kamariah ini?
Dalil Al-Qur’an dan Hadits
PP Muhammadiyah dalam laman resminya menjelaskan di antara dalil Al-Qur’an dan Hadis yang memuat perintah berpuasa dengan memperhatikan waktu adalah dalam Surat Al-Baqarah ayat 185, yaitu:
“…فمن شهد منكم الشهر فليصمه…”
Yang diartikan secara tekstual sebagai “…Barangsiapa yang menyaksikan bulan di antara kalian hendaklah berpuasa...”.
Sedangkan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dan An-Nasa’i dengan redaksi lengkap yang sedikit berbeda, kedua hadis itu menyebutkan:
“…صوموا لرؤيته، وأفطروا لرؤيته…”
Yang diartikan secara tekstual “…berpuasalah kalian ketika melihatnya (hilal Ramadan) dan berbukalah ketika kalian melihatnya (hilal syawal)…”.
Maka perlu diperhatikan pada kalimat “syahida” (شهد) yang bermakna “menyaksikan” dan “rukyat” (رؤية) yang bermakna “melihat”.
Kata “syahida” di sini memang bermakna “menyaksikan”, akan tetapi tidak mengharuskan “menyaksikan” dengan penglihatan mata seperti halnya menyaksikan sebuah peristiwa. Melainkan lebih cenderung bermakna “mengetahui”.
Seperti yang tampak jelas dalam dua kalimat syahadat :
أشهد أن لا إله إلاّ الله وأشهد أنّ محمد رسول الله
Yang bermakna “Aku bersaksi tiada Tuhan (yang pantas disembah) kecuali Allah, dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah”.
Sehingga sebuah persaksian dalam hal ini tidak mengharuskan seseorang yang bersyahadat menyaksikan secara langsung Allah dan Nabi Muhammad –shallallahu ‘alayhi wa sallam-. Akan tetapi seseorang yang bersyahadat adalah yang mengetahui dan meyakini bahwa hanya Allah-lah satu-satunya Tuhan yang pantas disembah dan Nabi Muhammad adalah utusan-Nya.
Adapun kata ru’yat (رؤية) atau rukyat secara asal bahasa memiliki makna “melihat, baik dengan mata atau dengan ilmu”, seperti yang dijelaskan dalam Kamus al-Munjid atau “melihat dengan menggunakan mata atau hati” seperti yang dijelaskan dalam Kamus ar-Raid dan al-Qamus al-Muhith.
Bahkan dalam al-Munjid disebutkan bahwa Kata ru’yat ini tidak banyak dimaknai sebagai “melihat” kecuali hanya terkadang saja, dan lebih banyak digunakan dalam arti “mengetahui”. Dapat disimpulkan, kata “ru’yat” adalah bahasa Arab untuk “melihat” dalam makna yang luas.
Itu tampak dalam beberapa ayat Al-Qur’an seperti ayat keempat dari Surat Yusuf :
“…إني رأيت أحد عشر كوكبا والشمس والقمر رأيتهم لي ساجدين…”
Yang artinya, “….Sesungguhnya aku melihat sebelas bintang dan matahari serta rembulan, aku melihat mereka semua bersujud padaku…”.
Baca Juga
Ayat itu membahas tentang mimpi Nabi Yusuf, dan penggunaan kata “ru’yat” sebagai kata kerja digunakan untuk menggambarkan apa yang dilihat dalam mimpi, dan tidak menggunakan pandangan mata ketika sadar.
Begitu juga dalam kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail dalam Surat Ash-Shaffat ayat 102 :
….”فلما بلغ معه السعي قال يابني إني أرى في المنام أني أذبحك فانظر ماذا ترى قال ياأبت افعل ما تؤمر ستجدني إن شاء الله من الصابرين”….
Yang diartikan, “…maka (ketika Ismail) mencapai usia remaja, Ibrahim berkata, ‘Wahai anakku, aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu, apa pendapatmu?’ Maka berkata (Ismail), ‘Wahai bapakku lakukanlah apa yang Allah perintahkan jangan ragu, maka engkau akan mendapatiku insyaa Allah termasuk sebagai orang-orang yang sabar”.
Bahkan dalam ayat ini juga menjelaskan bahwa ru’yat juga bermakna “pendapat”.
Pendekatan dalam Rukyat
Penggunaan metode Rukyat merupakan praktik pendekatan Bayani sebagai metode tunggal dalam memahami nash dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah. Kemudian muncul pertanyaan, jika memang hisab itu disyari’atkan, lalu kenapa di masa salaf menggunakan metode rukyat dan bukan hisab?
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar -radhiyallahu anhuma-, dari Nabi -shallallahu alaihi wa sallam– bersabda, “Sesungguhnya kita adalah umat yang ummi, kita tidak bisa membaca, dan menghitung. (Siklus) bulan begini dan begini, maksudnya 29 dan 30 (hari)”. HR. Bukhari No. 1080 dan Muslim No. 1814.
Konteks hadis ini adalah bahwa Nabi dan kondisi sebagian para sahabat masa itu adalah umat yang ummiy, tidak bisa membaca dan tidak bisa menulis, dan menghitung.
Pendekatan dalam Hisab
Muhammadiyah dalam memahami nash dalil menggunakan pendekatan Bayani (bertumpu pada pemahaman teks nash), Burhani (pendekatan logika) dan Irfani (yang bertumpu pada pengalaman intuisi spiritual).
Dalam pembahasan ini lebih terfokus pada pendekatan Bayani dan Burhani dalam hisab.
Adapun penggunaan metode hisab berdasarkan nash dalil sebagai pendekatan Bayani, dan dikontekstualisasikan dengan pendekatan Burhani dengan penggunaan ilmu matematika astronomi untuk menghitung peredaran bulan dan menentukan kalender Kamariah. Karena ilmu pengetahuan dan teknologi telah berkembang sehingga membantu dan memudahkan penentuan kalender Kamariah.
PP Muhammadiyah menjelaskan alasan paling logis dan syar’i warga Muhammadiyah dan siapapun yang ikut penetapan kalender Kamariah dengan metode hisab adalah karena: (1) Islam agama yang rasional, (2) Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, (3) Islam telah berkembang ke seluruh dunia, dan menuntut penggunaan kalender global, dan tentunya (4) Metode hisab sesuai dengan Al Qur’an dan Sunnah serta perkembangan zaman.
(mhy)
Lihat Juga :