Tidak Puasa karena Mudik, Bolehkah?
Kamis, 04 April 2024 - 15:09 WIB
Lebaran sebentar lagi. Bagi sebagian umat Islam, mudik menjadi salah satu kelaziman di saat Idulfitri tersebut. Lalu, haruskan tetap berpuasa di kala dalam perjalanan mudik?
Puasa merupakan salah satu amalan wajib bagi umat Islam , sesuai dengan QS Al Baqarah ayat 183. Namun, dalam agama Islam juga terdapat kelonggaran bagi beberapa golongan, termasuk musafir atau mereka yang sedang dalam perjalanan.
Tak dapat dipungkiri bahwa kondisi musafir, terutama dalam konteks mudik, sering kali sangat berat dan menyulitkan. Oleh karena itu, Islam memberikan kelonggaran bagi mereka yang dalam perjalanan untuk meninggalkan puasa.
Dalil yang mendasari kelonggaran ini terdapat dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 184 yang menyatakan, “Maka barang siapa di antara kamu yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.”
Dengan demikian, bagi para pemudik yang terjebak dalam kemacetan panjang dan antrian transportasi yang melelahkan, boleh mempertimbangkan untuk membatalkan puasa mereka dan menggantinya di hari lain. Penting untuk diingat bahwa kelonggaran ini diberikan untuk memudahkan umat dalam menjalankan ibadah, bukan untuk disalahgunakan.
Namun, keputusan untuk membatalkan puasa dan menggantinya di hari lain harus diambil dengan penuh kesadaran dan ketaatan terhadap ajaran Islam. Maka, dalam situasi apapun, niat dan kesadaran dalam menjalankan ibadah tetap menjadi hal yang utama bagi umat Islam.
Alasan dibolehkannya membatalkan puasa karena Islam adalah agama yang mengajarkan keseimbangan dan kasih sayang. Menurut Syamsul Anwar, Islam tidak mengajarkan pencapaian prestasi spiritual melalui penderitaan yang berlebihan. Meskipun pelaksanaan kewajiban agama terkadang menantang, kesulitannya selalu berada dalam batas kewajaran manusiawi.
Penting untuk diingat bahwa jika seseorang menghadapi kesulitan yang melebihi batas kemanusiaan, Islam memiliki kaidah-kaidah dan asas-asas yang memayungi serta memberi keringanan. Salah satu contohnya adalah kelonggaran yang diberikan bagi musafir untuk membatalkan puasa dan menggantinya di hari lain.
Dalam Islam, kesehatan dan kesejahteraan jiwa serta raga diprioritaskan. Maka, dalam konteks mudik yang melelahkan, penting bagi umat Islam untuk memahami bahwa menjaga kesehatan dan keselamatan diri serta keluarga adalah prioritas utama. Dengan demikian, keputusan untuk membatalkan puasa dan menggantinya di hari lain adalah bentuk penghormatan terhadap keseimbangan dan kasih sayang yang diajarkan oleh Islam.
Puasa merupakan salah satu amalan wajib bagi umat Islam , sesuai dengan QS Al Baqarah ayat 183. Namun, dalam agama Islam juga terdapat kelonggaran bagi beberapa golongan, termasuk musafir atau mereka yang sedang dalam perjalanan.
Tak dapat dipungkiri bahwa kondisi musafir, terutama dalam konteks mudik, sering kali sangat berat dan menyulitkan. Oleh karena itu, Islam memberikan kelonggaran bagi mereka yang dalam perjalanan untuk meninggalkan puasa.
Baca Juga
Dalil yang mendasari kelonggaran ini terdapat dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 184 yang menyatakan, “Maka barang siapa di antara kamu yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.”
Dengan demikian, bagi para pemudik yang terjebak dalam kemacetan panjang dan antrian transportasi yang melelahkan, boleh mempertimbangkan untuk membatalkan puasa mereka dan menggantinya di hari lain. Penting untuk diingat bahwa kelonggaran ini diberikan untuk memudahkan umat dalam menjalankan ibadah, bukan untuk disalahgunakan.
Namun, keputusan untuk membatalkan puasa dan menggantinya di hari lain harus diambil dengan penuh kesadaran dan ketaatan terhadap ajaran Islam. Maka, dalam situasi apapun, niat dan kesadaran dalam menjalankan ibadah tetap menjadi hal yang utama bagi umat Islam.
Alasan dibolehkannya membatalkan puasa karena Islam adalah agama yang mengajarkan keseimbangan dan kasih sayang. Menurut Syamsul Anwar, Islam tidak mengajarkan pencapaian prestasi spiritual melalui penderitaan yang berlebihan. Meskipun pelaksanaan kewajiban agama terkadang menantang, kesulitannya selalu berada dalam batas kewajaran manusiawi.
Penting untuk diingat bahwa jika seseorang menghadapi kesulitan yang melebihi batas kemanusiaan, Islam memiliki kaidah-kaidah dan asas-asas yang memayungi serta memberi keringanan. Salah satu contohnya adalah kelonggaran yang diberikan bagi musafir untuk membatalkan puasa dan menggantinya di hari lain.
Dalam Islam, kesehatan dan kesejahteraan jiwa serta raga diprioritaskan. Maka, dalam konteks mudik yang melelahkan, penting bagi umat Islam untuk memahami bahwa menjaga kesehatan dan keselamatan diri serta keluarga adalah prioritas utama. Dengan demikian, keputusan untuk membatalkan puasa dan menggantinya di hari lain adalah bentuk penghormatan terhadap keseimbangan dan kasih sayang yang diajarkan oleh Islam.
(mhy)