Ayat-Ayat Al-Quran tentang Halalbihalal
Selasa, 09 April 2024 - 14:10 WIB
Muhammad Quraish Shihab menyebut kata halal dari segi hukum diartikan sebagai sesuatu yang bukan haram ; sedangkan haram merupakan perbuatan yang mengakibatkan dosa dan ancaman siksa.
" Hukum Islam memperkenalkan panca hukum yaitu wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram," tulis Quraish Shihab dalam bukunya berjudul " Wawasan Al-Quran " (Mizan, 2007).
Empat yang pertama termasuk kelompok halal (termasuk yang makruh, dalam arti, yang dianjurkan untuk ditinggalkan). Nabi SAW bersabda, "Abghadu al-halal ila Allah, ath-thalaq" (Halal yang paling dibenci Allah adalah pemutusan hubungan suami-istri).
Jikalau halalbihalal diartikan dalam konteks hukum, kata Quraish, hal itu tidak akan menyebabkan lahirnya hubungan harmonis antarsesama, bahkan mungkin dalam beberapa hal dapat menimbulkan kebencian Allah kepada pelakunya. Karena itu, sebaiknya kata halal pada konteks halalbihalal tidak dipahami dalam bihalal pengertian hukum.
Dalam Al-Quran, kata halal terulang sebanyak enam kali. Dua di antaranya pada konteks kecaman, yaitu:
Katakanlah, "Terangkanlah kepadaku tentang rezeki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal. Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu ataukah kamu mengada-adakan saja terhadap Allah?" ( QS Yunus [10] : 59).
Janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta, "Ini halal dan ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tidaklah beruntung. (Itu adalah) kesenangan sementara yang sedikit, dan bagi mereka siksa yang pedih ( QS Al-Nahl [16] : 116-117).
Kesan apakah yang dapat diperoleh dari ayat ini? Paling tidak, terdapat kecaman terhadap mereka yang mencampurbaurkan antara yang halal dan yang haram. Jika yang mencampurbaurkan saja telah dikecam dan diancam dengan siksa yang pedih, lebih-lebih lagi orang yang seluruh aktivitasnya adalah haram.
Empat halal lainnya yang tersebut dalam Al-Quran mempunyai dua ciri yang sama, yaitu:
a. Dikemukakan dalam konteks perintah makan (kulu),
b. Kata halal digandengkan dengan kata thayyibah (baik).
Perhatikan keempat ayat berikut
Kulu mimma fil ardhi halalan thayyiban (Makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi) ( QS Al-Baqarah [2] : 168)
Wakulu mimma razaqakamullah halalan thayyiban... (Dan makanlah makanan yang halal lagi baik, dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu) ( QS Al-Maidah [5] : 88)
Faku1u mimma ghanimtum halalan thayyiban (Maka makanlah dari sebagian rampasan perang yang telah kamu ambil itu) ( QS Al-Anfal [8] : 69).
Fakulu mimma razaqakumullahu halalan thayyiban (Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezeki yang telah diberikan Allah kepadamu) ( QS An-Nahl [16] : 114)
Quraish Shihab menjelaskan kata makan dalam Al-Quran sering diartikan "melakukan aktivitas apa pun." Ini agaknya disebabkan karena makan merupakan sumber utama perolehan kalori yang dapat menghasilkan aktivitas. Dengan demikian, perintah makan dalam ayat-ayat di atas bermakna perintah melakukan aktivitas, sedangkan aktivitasnya tidak sekadar halal, tetapi juga harus thayyib (baik).
"Nah jika dikembalikan pada empat jenis halal yang diperkenalkan oleh hukum Islam, maka yang makruh tidak termasuk dalam kategori halalan thayyiban," jelasnya.
" Hukum Islam memperkenalkan panca hukum yaitu wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram," tulis Quraish Shihab dalam bukunya berjudul " Wawasan Al-Quran " (Mizan, 2007).
Empat yang pertama termasuk kelompok halal (termasuk yang makruh, dalam arti, yang dianjurkan untuk ditinggalkan). Nabi SAW bersabda, "Abghadu al-halal ila Allah, ath-thalaq" (Halal yang paling dibenci Allah adalah pemutusan hubungan suami-istri).
Jikalau halalbihalal diartikan dalam konteks hukum, kata Quraish, hal itu tidak akan menyebabkan lahirnya hubungan harmonis antarsesama, bahkan mungkin dalam beberapa hal dapat menimbulkan kebencian Allah kepada pelakunya. Karena itu, sebaiknya kata halal pada konteks halalbihalal tidak dipahami dalam bihalal pengertian hukum.
Dalam Al-Quran, kata halal terulang sebanyak enam kali. Dua di antaranya pada konteks kecaman, yaitu:
Katakanlah, "Terangkanlah kepadaku tentang rezeki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal. Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu ataukah kamu mengada-adakan saja terhadap Allah?" ( QS Yunus [10] : 59).
Janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta, "Ini halal dan ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tidaklah beruntung. (Itu adalah) kesenangan sementara yang sedikit, dan bagi mereka siksa yang pedih ( QS Al-Nahl [16] : 116-117).
Kesan apakah yang dapat diperoleh dari ayat ini? Paling tidak, terdapat kecaman terhadap mereka yang mencampurbaurkan antara yang halal dan yang haram. Jika yang mencampurbaurkan saja telah dikecam dan diancam dengan siksa yang pedih, lebih-lebih lagi orang yang seluruh aktivitasnya adalah haram.
Empat halal lainnya yang tersebut dalam Al-Quran mempunyai dua ciri yang sama, yaitu:
a. Dikemukakan dalam konteks perintah makan (kulu),
b. Kata halal digandengkan dengan kata thayyibah (baik).
Perhatikan keempat ayat berikut
Kulu mimma fil ardhi halalan thayyiban (Makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi) ( QS Al-Baqarah [2] : 168)
Wakulu mimma razaqakamullah halalan thayyiban... (Dan makanlah makanan yang halal lagi baik, dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu) ( QS Al-Maidah [5] : 88)
Faku1u mimma ghanimtum halalan thayyiban (Maka makanlah dari sebagian rampasan perang yang telah kamu ambil itu) ( QS Al-Anfal [8] : 69).
Fakulu mimma razaqakumullahu halalan thayyiban (Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezeki yang telah diberikan Allah kepadamu) ( QS An-Nahl [16] : 114)
Quraish Shihab menjelaskan kata makan dalam Al-Quran sering diartikan "melakukan aktivitas apa pun." Ini agaknya disebabkan karena makan merupakan sumber utama perolehan kalori yang dapat menghasilkan aktivitas. Dengan demikian, perintah makan dalam ayat-ayat di atas bermakna perintah melakukan aktivitas, sedangkan aktivitasnya tidak sekadar halal, tetapi juga harus thayyib (baik).
"Nah jika dikembalikan pada empat jenis halal yang diperkenalkan oleh hukum Islam, maka yang makruh tidak termasuk dalam kategori halalan thayyiban," jelasnya.