5 Tanda Haji Mabrur, Salah Satunya Harta yang Dipakai Berhaji Halal
Rabu, 08 Mei 2024 - 08:39 WIB
Setiap orang yang pergi berhaji mencita-citakan haji yang mabrûr . Haji mabrûr bukanlah sekadar haji yang sah. Mabrûr artinya diterima oleh Allah Azza wa Jalla, dan sah artinya menggugurkan kewajiban.
Bisa jadi haji seseorang sah sehingga kewajiban berhaji baginya telah gugur, namun belum tentu hajinya diterima oleh Allah Azza wa Jalla," ujar Syaikh Shaleh bin Fauzan bin Abdullah Al Fauzan dalam bukunya yang diterjemahkan Abu Zakaria Sutrisno berjudul "Ringkasan Fiqih Haji".
Jadi, tidak semua yang hajinya sah terhitung sebagai haji mabrûr. Ibnu Rajab al-Hanbali dalam kitab Lathâiful Ma’ârif Fîma Li Mawâsimil ‘Am Minal Wazhâif mengatakan: “Yang hajinya mabrûr sedikit, tapi mungkin Allah Azza wa Jalla memberikan karunia kepada jemaah haji yang tidak baik dikarenakan jama’ah haji yang baik.”
Di antara tanda-tanda haji mabrûr yang telah disebutkan para Ulama adalah:
Pertama, harta yang dipakai untuk haji adalah harta yang halal. Karena Allah tidak menerima kecuali yang halal, sebagaimana ditegaskan oleh sabda Nabi SAW:
Sungguh Allah baik, tidak menerima kecuali yang baik. [HR Muslim]
Orang yang ingin hajinya mabrûr harus memastikan bahwa seluruh harta yang ia pakai untuk haji adalah harta yang halal, terutama bagi mereka yang selama mempersiapkan biaya pelaksanaan ibadah haji tidak lepas dari transaksi dengan bank. Jika tidak, maka haji mabrûr bagi mereka hanyalah jauh panggang dari api.
Ibnu Rajab dalam Lathâiful Ma’ârif berkata dalam sebuah syair:
Jika anda berhaji dengan harta tak halal asalnya.
Maka anda tidak berhaji, yang berhaji hanya rombongan anda.
Allah Azza wa Jalla tidak menerima kecuali yang halal saja.
Tidak semua yang berhaji mabrûr hajinya.
Kedua, amalan-amalannya dilakukan dengan baik, sesuai dengan tuntunan Nabi SAW .
Paling tidak, rukun-rukun dan kewajibannya dijalankan, dan semua larangan ditinggalkan. Jika terjadi kesalahan, maka hendaknya segera melakukan penebusan yang telah ditentukan.
Di samping itu, haji yang mabrûr juga memperhatikan keikhlasan hati, yang seiring dengan majunya zaman semakin sulit dijaga. Mari merenungkan perkataan Syuraih al-Qâdhi: “Yang (benar-benar) berhaji sedikit, meski jama`ah haji banyak. Alangkah banyak orang yang berbuat baik, tapi alangkah sedikit yang ikhlas karena Allah Azza wa Jalla.”
Pada zaman dahulu ada orang yang menjalankan ibadah haji dengan berjalan kaki setiap tahun. Suatu malam ia tidur di atas kasurnya dan ibunya memintanya untuk mengambilkan air minum. Ia merasakan berat untuk bangkit memberikan air minum kepada sang ibu. Ia pun teringat perjalanan haji yang selalu ia lakukan dengan berjalan kaki tanpa merasa berat. Ia mawas diri dan berpikir bahwa pandangan dan pujian manusialah yang telah membuat perjalanan itu ringan.
Sebaliknya saat menyendiri, memberikan air minum untuk orang paling berjasa pun terasa berat. Akhirnya, ia pun menyadari bahwa dirinya telah bersalah.
Ketiga, hajinya dipenuhi dengan banyak amalan baik. Seperti dzikir, salat di Masjidil Haram, salat pada waktunya, dan membantu teman seperjalanan.
Ibnu Rajab berkata: “Maka haji mabrûr adalah yang terkumpul di dalamnya amalan-amalan baik, plus menghindari perbuatan-perbuatan dosa.
Di antara amalan khusus yang disyariatkan untuk meraih haji mabrûr adalah bersedekah dan berkata-kata baik selama haji. Nabi SAW pernah ditanya tentang maksud haji mabrûr, maka beliau menjawab:
Memberi makan dan berkata-kata baik. [HR. al-Baihaqi 2/413 (no. 10693), dihukumi shahîh oleh al-Hâkim dan al-Albâni dalam Silsilah al-Ahâdits ash-Shahîhah 3/262 (no. 1264)]
Keempat, tidak berbuat maksiat selama ihram. Maksiat dilarang dalam agama kita dalam semua kondisi. Dalam kondisi ihram, larangan tersebut menjadi lebih tegas, dan jika dilanggar, maka haji mabrûr yang diimpikan akan lepas.
Di antara yang dilarang selama haji adalah rafats, fusûq dan jidâl. Allah Azza wa Jalla berfirman:
(Musim) haji adalah beberapa bulan yang diketahui. Barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan-bulan itu untuk mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, fusûq dan berbantah-bantahan selama mengerjakan haji. [ QS al-Baqarah : 197]
Nabi SAW bersabda:
Barang siapa yang haji dan ia tidak rafats dan tidak fusûq, ia akan kembali pada keadaannya saat dilahirkan ibunya.” [HR Muslim]
Rafats adalah semua bentuk kekejian dan perkara yang tidak berguna. Termasuk di dalamnya bersenggama, bercumbu atau membicarakannya, meskipun dengan pasangan sendiri selama ihrâm.
Fusûq adalah keluar dari ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla, apapun bentuknya. Dengan kata lain, segala bentuk maksiat adalah fusûq yang dimaksudkan dalam hadits di atas.
Jidâl adalah berbantah-bantahan secara berlebihan.
Ketiga hal ini dilarang selama ihrâm. Adapun di luar waktu ihrâm, bersenggama dengan pasangan kembali diperbolehkan, sedangkan larangan yang lain tetap tidak boleh.
Demikian juga, haji yang mabrûr juga harus meninggalkan semua bentuk dosa selama perjalanan ibadah haji, baik berupa syirik, bid’ah maupun maksiyat.
Kelima, pulang dari haji dengan keadaan lebih baik. Salah satu tanda diterimanya amal seseorang di sisi Allah Azza wa Jalla adalah diberikan taufik untuk melakukan kebaikan lagi setelah amalan tersebut. Sebaliknya, jika setelah beramal saleh melakukan perbuatan buruk, maka itu adalah tanda bahwa Allah Azza wa Jalla tidak menerima amalannya.
Orang yang hajinya mabrûr menjadikan ibadah haji sebagai titik tolak untuk membuka lembaran baru dalam menggapai rida Allah Azza wa Jalla ; ia akan semakin mendekat ke akhirat dan menjauhi dunia. Al-Hasan al-Bashri rahimahullah dalam At-Târîkh al-Kabir mengatakan: “Haji mabrûr adalah pulang dalam keadaan zuhud terhadap dunia dan mencintai akhirat.” Ia juga mengatakan: “Tandanya adalah meninggalkan perbuatan-perbuatan buruk yang dilakukan sebelum haji.”
Ibnu Hajar al-Haitami dalam Qutul Qulub mengatakan: “Dikatakan bahwa tanda diterimanya haji adalah meninggalkan maksiat yang dahulu dilakukan, mengganti teman-teman yang buruk menjadi teman-teman yang baik, dan mengganti majlis kelalaian menjadi majlis dzikir dan kesadaran.”
Bisa jadi haji seseorang sah sehingga kewajiban berhaji baginya telah gugur, namun belum tentu hajinya diterima oleh Allah Azza wa Jalla," ujar Syaikh Shaleh bin Fauzan bin Abdullah Al Fauzan dalam bukunya yang diterjemahkan Abu Zakaria Sutrisno berjudul "Ringkasan Fiqih Haji".
Jadi, tidak semua yang hajinya sah terhitung sebagai haji mabrûr. Ibnu Rajab al-Hanbali dalam kitab Lathâiful Ma’ârif Fîma Li Mawâsimil ‘Am Minal Wazhâif mengatakan: “Yang hajinya mabrûr sedikit, tapi mungkin Allah Azza wa Jalla memberikan karunia kepada jemaah haji yang tidak baik dikarenakan jama’ah haji yang baik.”
Di antara tanda-tanda haji mabrûr yang telah disebutkan para Ulama adalah:
Pertama, harta yang dipakai untuk haji adalah harta yang halal. Karena Allah tidak menerima kecuali yang halal, sebagaimana ditegaskan oleh sabda Nabi SAW:
إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا
Sungguh Allah baik, tidak menerima kecuali yang baik. [HR Muslim]
Orang yang ingin hajinya mabrûr harus memastikan bahwa seluruh harta yang ia pakai untuk haji adalah harta yang halal, terutama bagi mereka yang selama mempersiapkan biaya pelaksanaan ibadah haji tidak lepas dari transaksi dengan bank. Jika tidak, maka haji mabrûr bagi mereka hanyalah jauh panggang dari api.
Ibnu Rajab dalam Lathâiful Ma’ârif berkata dalam sebuah syair:
Jika anda berhaji dengan harta tak halal asalnya.
Maka anda tidak berhaji, yang berhaji hanya rombongan anda.
Allah Azza wa Jalla tidak menerima kecuali yang halal saja.
Tidak semua yang berhaji mabrûr hajinya.
Kedua, amalan-amalannya dilakukan dengan baik, sesuai dengan tuntunan Nabi SAW .
Paling tidak, rukun-rukun dan kewajibannya dijalankan, dan semua larangan ditinggalkan. Jika terjadi kesalahan, maka hendaknya segera melakukan penebusan yang telah ditentukan.
Di samping itu, haji yang mabrûr juga memperhatikan keikhlasan hati, yang seiring dengan majunya zaman semakin sulit dijaga. Mari merenungkan perkataan Syuraih al-Qâdhi: “Yang (benar-benar) berhaji sedikit, meski jama`ah haji banyak. Alangkah banyak orang yang berbuat baik, tapi alangkah sedikit yang ikhlas karena Allah Azza wa Jalla.”
Pada zaman dahulu ada orang yang menjalankan ibadah haji dengan berjalan kaki setiap tahun. Suatu malam ia tidur di atas kasurnya dan ibunya memintanya untuk mengambilkan air minum. Ia merasakan berat untuk bangkit memberikan air minum kepada sang ibu. Ia pun teringat perjalanan haji yang selalu ia lakukan dengan berjalan kaki tanpa merasa berat. Ia mawas diri dan berpikir bahwa pandangan dan pujian manusialah yang telah membuat perjalanan itu ringan.
Sebaliknya saat menyendiri, memberikan air minum untuk orang paling berjasa pun terasa berat. Akhirnya, ia pun menyadari bahwa dirinya telah bersalah.
Ketiga, hajinya dipenuhi dengan banyak amalan baik. Seperti dzikir, salat di Masjidil Haram, salat pada waktunya, dan membantu teman seperjalanan.
Ibnu Rajab berkata: “Maka haji mabrûr adalah yang terkumpul di dalamnya amalan-amalan baik, plus menghindari perbuatan-perbuatan dosa.
Di antara amalan khusus yang disyariatkan untuk meraih haji mabrûr adalah bersedekah dan berkata-kata baik selama haji. Nabi SAW pernah ditanya tentang maksud haji mabrûr, maka beliau menjawab:
إِطْعَامُ الطَّعَامِ وَطِيْبُ الْكَلاَمِ
Memberi makan dan berkata-kata baik. [HR. al-Baihaqi 2/413 (no. 10693), dihukumi shahîh oleh al-Hâkim dan al-Albâni dalam Silsilah al-Ahâdits ash-Shahîhah 3/262 (no. 1264)]
Keempat, tidak berbuat maksiat selama ihram. Maksiat dilarang dalam agama kita dalam semua kondisi. Dalam kondisi ihram, larangan tersebut menjadi lebih tegas, dan jika dilanggar, maka haji mabrûr yang diimpikan akan lepas.
Di antara yang dilarang selama haji adalah rafats, fusûq dan jidâl. Allah Azza wa Jalla berfirman:
الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلاَ رَفَثَ وَلاَ فُسُوقَ وَلاَ جِدَالَ فِي الْحَجِّ
(Musim) haji adalah beberapa bulan yang diketahui. Barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan-bulan itu untuk mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, fusûq dan berbantah-bantahan selama mengerjakan haji. [ QS al-Baqarah : 197]
Nabi SAW bersabda:
مَنْ حَجَّ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ
Barang siapa yang haji dan ia tidak rafats dan tidak fusûq, ia akan kembali pada keadaannya saat dilahirkan ibunya.” [HR Muslim]
Rafats adalah semua bentuk kekejian dan perkara yang tidak berguna. Termasuk di dalamnya bersenggama, bercumbu atau membicarakannya, meskipun dengan pasangan sendiri selama ihrâm.
Fusûq adalah keluar dari ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla, apapun bentuknya. Dengan kata lain, segala bentuk maksiat adalah fusûq yang dimaksudkan dalam hadits di atas.
Jidâl adalah berbantah-bantahan secara berlebihan.
Ketiga hal ini dilarang selama ihrâm. Adapun di luar waktu ihrâm, bersenggama dengan pasangan kembali diperbolehkan, sedangkan larangan yang lain tetap tidak boleh.
Demikian juga, haji yang mabrûr juga harus meninggalkan semua bentuk dosa selama perjalanan ibadah haji, baik berupa syirik, bid’ah maupun maksiyat.
Kelima, pulang dari haji dengan keadaan lebih baik. Salah satu tanda diterimanya amal seseorang di sisi Allah Azza wa Jalla adalah diberikan taufik untuk melakukan kebaikan lagi setelah amalan tersebut. Sebaliknya, jika setelah beramal saleh melakukan perbuatan buruk, maka itu adalah tanda bahwa Allah Azza wa Jalla tidak menerima amalannya.
Orang yang hajinya mabrûr menjadikan ibadah haji sebagai titik tolak untuk membuka lembaran baru dalam menggapai rida Allah Azza wa Jalla ; ia akan semakin mendekat ke akhirat dan menjauhi dunia. Al-Hasan al-Bashri rahimahullah dalam At-Târîkh al-Kabir mengatakan: “Haji mabrûr adalah pulang dalam keadaan zuhud terhadap dunia dan mencintai akhirat.” Ia juga mengatakan: “Tandanya adalah meninggalkan perbuatan-perbuatan buruk yang dilakukan sebelum haji.”
Ibnu Hajar al-Haitami dalam Qutul Qulub mengatakan: “Dikatakan bahwa tanda diterimanya haji adalah meninggalkan maksiat yang dahulu dilakukan, mengganti teman-teman yang buruk menjadi teman-teman yang baik, dan mengganti majlis kelalaian menjadi majlis dzikir dan kesadaran.”
(mhy)