Tata Cara Ihram Perempuan Haid dan Nifas
Jum'at, 17 Mei 2024 - 22:26 WIB
Perempuan yang haid dan nifas boleh mandi dan berihram haji atau umrah , ia tetap dalam ihramnya dan menunaikan ibadah-ibadah haji. Akan tetapi ia tidak boleh thawaf di baitullah hingga ia suci, kemudian mandi dan menyempurnakan ibadah-ibadah hajinya, kemudian bertahallul.
Adapun jika berihram umrah, maka ia tetap dalam ihram sampai suci, kemudian ia mandi, lalu menyempurnakan ibadah-ibadah umrah , kemudian bertahallul. Demikian disampaikan Syaikh Muhammad bin Ibrahim At-Tuwaijri dalam "Ringkasan Fiqih Islam".
Sementara itu, dalam membahas hukum perempuan melaksanakan haji dan umrah tanpa mahram , disebutkan bahwa bagi perempuan, disyaratkan untuk kewajiban haji, adanya mahram seperti suaminya, atau orang yang haram menikah dengannya untuk selamanya, seperti ayah atau saudara, atau anak, atau semisal mereka.
Jika mahram menolak berhaji dengannya (perempuan), maka ia tidak wajib melaksanakan haji. Jika ia berhaji tanpa mahram, maka ia berdosa dan hajinya sah.
Perempuan tidak boleh melakukan perjalanan untuk haji atau yang lainnya kecuali bersama mahram, sama saja ia masih muda atau tua, sama saja ia bersama rombongan perempuan atau tidak, sama saja perjalanan itu jauh atau dekat, karena umumnya sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,
‘Janganlah perempuan melakukan safar (perjalanan) kecuali bersama mahram.‘ Muttafaqun ‘alaih.[HR Bukhari dan Muslim]
Barang siapa yang menghajikan orang lain karena faktor lanjut usia, atau sakit yang tidak diharapkan kesembuhanya, atau untuk mayit, ia boleh berihram dari miqat mana saja yang dia kehendaki.
Dia tidak harus memulai safar dari negeri orang yang dihajikannya. Seorang muslim tidak sah menghajikan orang lain sebelum ia melaksanakan haji untuk dirinya sendiri dan yang mewakilkan tidak harus menahan diri dari segala yang diharamkan dalam ihram saat ibadah haji.
Orang yang tidak mampu secara fisik boleh meminta ganti kepada orang lain dalam melaksanakan haji sunnah atau umrah, dengan upah atau tanpa upah.
Barang siapa yang meninggal dunia saat melaksanakan haji, maka tidak perlu diqadha` amalan haji yang tersisa, karena ia akan dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan bertalbiyah. Dan barang siapa yang meninggal dunia, sedangkan dia tidak pernah salat, maka ia tidak boleh dihajikan atau bersedekah untuknya, karena ia telah murtad.
Adapun jika berihram umrah, maka ia tetap dalam ihram sampai suci, kemudian ia mandi, lalu menyempurnakan ibadah-ibadah umrah , kemudian bertahallul. Demikian disampaikan Syaikh Muhammad bin Ibrahim At-Tuwaijri dalam "Ringkasan Fiqih Islam".
Sementara itu, dalam membahas hukum perempuan melaksanakan haji dan umrah tanpa mahram , disebutkan bahwa bagi perempuan, disyaratkan untuk kewajiban haji, adanya mahram seperti suaminya, atau orang yang haram menikah dengannya untuk selamanya, seperti ayah atau saudara, atau anak, atau semisal mereka.
Jika mahram menolak berhaji dengannya (perempuan), maka ia tidak wajib melaksanakan haji. Jika ia berhaji tanpa mahram, maka ia berdosa dan hajinya sah.
Perempuan tidak boleh melakukan perjalanan untuk haji atau yang lainnya kecuali bersama mahram, sama saja ia masih muda atau tua, sama saja ia bersama rombongan perempuan atau tidak, sama saja perjalanan itu jauh atau dekat, karena umumnya sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,
لا تُسَافِرِ المَرْأَةُ إلا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ.متفق عليه.
‘Janganlah perempuan melakukan safar (perjalanan) kecuali bersama mahram.‘ Muttafaqun ‘alaih.[HR Bukhari dan Muslim]
Barang siapa yang menghajikan orang lain karena faktor lanjut usia, atau sakit yang tidak diharapkan kesembuhanya, atau untuk mayit, ia boleh berihram dari miqat mana saja yang dia kehendaki.
Dia tidak harus memulai safar dari negeri orang yang dihajikannya. Seorang muslim tidak sah menghajikan orang lain sebelum ia melaksanakan haji untuk dirinya sendiri dan yang mewakilkan tidak harus menahan diri dari segala yang diharamkan dalam ihram saat ibadah haji.
Orang yang tidak mampu secara fisik boleh meminta ganti kepada orang lain dalam melaksanakan haji sunnah atau umrah, dengan upah atau tanpa upah.
Barang siapa yang meninggal dunia saat melaksanakan haji, maka tidak perlu diqadha` amalan haji yang tersisa, karena ia akan dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan bertalbiyah. Dan barang siapa yang meninggal dunia, sedangkan dia tidak pernah salat, maka ia tidak boleh dihajikan atau bersedekah untuknya, karena ia telah murtad.
(mhy)