Kedudukan Perempuan Tempo Dulu: Lebih Jahat dari Racun, Ular dan Api
Jum'at, 16 Agustus 2024 - 21:02 WIB
Sejarah menginformasikan bahwa sebelum turunnya Al-Quran terdapat sekian banyak peradaban besar, seperti Yunani , Romawi . India , dan Cina . Dunia juga mengenal agama-agama seperti Yahudi , Nasrani, Buddha, Zoroaster, dan sebagainya.
Masyarakat Yunani yang terkenal dengan pemikiran-pemikiran filsafatnya, tidak banyak membicarakan hak dan kewajiban wanita.
"Di kalangan elite mereka, wanita-wanita ditempatkan (disekap) dalam istana-istana. Dan di kalangan bawah, nasib wanita sangat menyedihkan," tulis Prof Dr Quraish Shihab dalam bukunya berjudul "Wawasan Al-Quran, Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat" (Mizan, 2007).
Mereka diperjualbelikan, sedangkan yang berumah tangga sepenuhnya berada di bawah kekuasaan suaminya. Mereka tidak memiliki hak-hak sipil, bahkan hak waris pun tidak ada.
Pada puncak peradaban Yunani, wanita diberi kebebasan sedemikian rupa untuk memenuhi kebutuhan dan selera lelaki. Hubungan seksual yang bebas tidak dianggap melanggar kesopanan, tempat-tempat pelacuran menjadi pusat-pusat kegiatan politik dan sastra/seni Patung-patung telanjang yang terlihat di negara-negara Barat adalah bukti atau sisa pandangan itu.
Dalam pandangan mereka, dewa-dewa melakukan hubungan gelap dengan rakyat bawahan, dan dari hubungan gelap itu lahirlah "Dewi Cinta" yang terkenal dalam peradaban Yunani.
Dalam peradaban Romawi, wanita sepenuhnya berada di bawah kekuasaan ayahnya. Setelah kawin, kekuasaan tersebut pindah ke tangan sang suami.
Kekuasaan ini mencakup kewenangan menjual, mengusir, menganiaya, dan membunuh. Keadaan tersebut berlangsung terus sampai abad ke-6 Masehi.
Segala hasil usaha wanita, menjadi hak milik keluarganya yang laki-laki.
Pada zaman Kaisar Constantine terjadi sedikit perubahan yaitu dengan diundangkannya hak pemilikan terbatas bagi wanita, dengan catatan bahwa setiap transaksi harus disetujui oleh keluarga (suami atau ayah).
Peradaban Hindu dan Cina tidak lebih baik dari peradaban-peradaban Yunani dan Romawi. Hak hidup seorang wanita yang bersuami harus berakhir pada saat kematian suaminya; istri harus dibakar hidup-hidup pada saat mayat
suaminya dibakar. Ini baru berakhir pada abad ke-17 Masehi.
Wanita pada masyarakat Hindu ketika itu sering dijadikan sesajen bagi apa yang mereka namakan dewa-dewa. Petuah sejarah kuno mereka mengatakan bahwa "Racun, ular dan api
tidak lebih jahat daripada wanita."
Sementara itu dalam petuah Cina kuno diajarkan "Anda boleh mendengar pembicaraan wanita tetapi sama sekali jangan mempercayai kebenarannya."
Dalam ajaran Yahudi, martabat wanita sama dengan pembantu. Ayah berhak menjual anak perempuan kalau ia tidak mempunyai saudara laki-laki. Ajaran mereka menganggap wanita sebagai sumber laknat karena dialah yang menyebabkan Adam terusir dari surga.
Dalam pandangan sementara pemuka/pengamat Nasrani ditemukan bahwa wanita adalah senjata Iblis untuk menyesatkan manusia. Pada abad ke-5 Masehi diselenggarakan suatu konsili yang memperbincangkan apakah wanita mempunyai roh atau tidak, Akhirnya terdapat kesimpulan bahwa wanita tidak mempunyai
Masyarakat Yunani yang terkenal dengan pemikiran-pemikiran filsafatnya, tidak banyak membicarakan hak dan kewajiban wanita.
"Di kalangan elite mereka, wanita-wanita ditempatkan (disekap) dalam istana-istana. Dan di kalangan bawah, nasib wanita sangat menyedihkan," tulis Prof Dr Quraish Shihab dalam bukunya berjudul "Wawasan Al-Quran, Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat" (Mizan, 2007).
Mereka diperjualbelikan, sedangkan yang berumah tangga sepenuhnya berada di bawah kekuasaan suaminya. Mereka tidak memiliki hak-hak sipil, bahkan hak waris pun tidak ada.
Baca Juga
Pada puncak peradaban Yunani, wanita diberi kebebasan sedemikian rupa untuk memenuhi kebutuhan dan selera lelaki. Hubungan seksual yang bebas tidak dianggap melanggar kesopanan, tempat-tempat pelacuran menjadi pusat-pusat kegiatan politik dan sastra/seni Patung-patung telanjang yang terlihat di negara-negara Barat adalah bukti atau sisa pandangan itu.
Dalam pandangan mereka, dewa-dewa melakukan hubungan gelap dengan rakyat bawahan, dan dari hubungan gelap itu lahirlah "Dewi Cinta" yang terkenal dalam peradaban Yunani.
Dalam peradaban Romawi, wanita sepenuhnya berada di bawah kekuasaan ayahnya. Setelah kawin, kekuasaan tersebut pindah ke tangan sang suami.
Kekuasaan ini mencakup kewenangan menjual, mengusir, menganiaya, dan membunuh. Keadaan tersebut berlangsung terus sampai abad ke-6 Masehi.
Segala hasil usaha wanita, menjadi hak milik keluarganya yang laki-laki.
Pada zaman Kaisar Constantine terjadi sedikit perubahan yaitu dengan diundangkannya hak pemilikan terbatas bagi wanita, dengan catatan bahwa setiap transaksi harus disetujui oleh keluarga (suami atau ayah).
Peradaban Hindu dan Cina tidak lebih baik dari peradaban-peradaban Yunani dan Romawi. Hak hidup seorang wanita yang bersuami harus berakhir pada saat kematian suaminya; istri harus dibakar hidup-hidup pada saat mayat
suaminya dibakar. Ini baru berakhir pada abad ke-17 Masehi.
Wanita pada masyarakat Hindu ketika itu sering dijadikan sesajen bagi apa yang mereka namakan dewa-dewa. Petuah sejarah kuno mereka mengatakan bahwa "Racun, ular dan api
tidak lebih jahat daripada wanita."
Sementara itu dalam petuah Cina kuno diajarkan "Anda boleh mendengar pembicaraan wanita tetapi sama sekali jangan mempercayai kebenarannya."
Dalam ajaran Yahudi, martabat wanita sama dengan pembantu. Ayah berhak menjual anak perempuan kalau ia tidak mempunyai saudara laki-laki. Ajaran mereka menganggap wanita sebagai sumber laknat karena dialah yang menyebabkan Adam terusir dari surga.
Dalam pandangan sementara pemuka/pengamat Nasrani ditemukan bahwa wanita adalah senjata Iblis untuk menyesatkan manusia. Pada abad ke-5 Masehi diselenggarakan suatu konsili yang memperbincangkan apakah wanita mempunyai roh atau tidak, Akhirnya terdapat kesimpulan bahwa wanita tidak mempunyai