Waktu yang Diharamkan Menceraikan Istri, Begini Penjelasan Syaikh Al-Qardhawi
Jum'at, 30 Agustus 2024 - 10:11 WIB
Syaikh Yusuf al-Qardhawi mengatakan apabila ada keperluan dan kepentingan yang membolehkan talak , tidak berarti seorang muslim diperkenankan untuk segera menjatuhkan talaknya kapan pun ia suka, tetapi harus dipilihnya waktu yang tepat.
"Sedang waktu yang tepat itu --menurut yang digariskan oleh syariat-- yaitu sewaktu si perempuan dalam keadaan bersih, yakni tidak datang bulan , baru saja melahirkan anak (nifas) dan tidak sehabis disetubuhinya khusus waktu bersih itu, kecuali apabila si perempuan tersebut jelas dalam keadaan mengandung," tulis Syaikh Yusuf al-Qardhawi dalam bukunya yang diterjemahkan H. Mu'ammal Hamidy berjudul "Halal dan Haram dalam Islam" (PT Bina Ilmu, 1993).
Menurut al-Qardhawi, karena dalam keadaan haidh, termasuk juga nifas , mengharuskan seorang suami untuk menjauhi istrinya. Barangkali karena terhalangnya atau ketegangan alat vitalnya itu yang mendorong untuk menalak.
Oleh karena itu si suami diperintahkan supaya menangguhkan sampai selesai haidhnya itu kemudian bersuci, kemudian dia boleh menjatuhkan talaknya sebelum si istri itu disetubuhinya.
Sebagaimana diharamkannya mencerai istri di waktu haidh, begitu juga diharamkan mencerai di waktu suci sesudah bersetubuh.
"Sebab siapa tahu barangkali si perempuan itu memperoleh benih dari suaminya pada kali ini, dan barangkali juga kalau si suami setelah mengetahui bahwa istrinya hamil kemudian dia akan mengubah niatnya, dan dia dapat hidup senang bersama istri karena ada janin yang dikandungnya," ujar Al-Qardhawi
Akan tetapi bila si perempuan itu dalam keadaan suci yang tidak disetubuhi atau si perempuan itu sudah jelas hamil, maka jelas di sini bahwa yang mendorong untuk bercerai adalah karena ada alasan yang bisa dibenarkan. "Oleh karena itu di saat yang demikian dia tidak berdosa mencerainya," jelas al-Qardhawi.
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dikisahkan, bahwa Abdullah bin Umar Ibnul-Khattab pernah mencerai isterinya waktu haidh. Kejadian ini sewaktu Rasulullah SAW masih hidup. Maka bertanyalah Umar kepada Rasulullah SAW , maka jawab Nabi kepada Umar:
"Suruhlah dia ( Abdullah bin Umar ) supaya kembali, kemudian jika dia mau, cerailah sedang istrinya itu dalam keadaan suci sebelum disetubuhinya. Itulah yang disebut mencerai pada iddah, sebagaimana yang diperintahkan Allah dalam firmanNya: Hai Nabi! Apabila kamu hendak mencerai istrimu, maka cerailah dia pada iddahnya. Yakni menghadapi iddah, yaitu di dalam keadaan suci."
Di satu riwayat disebutkan:
"Perintahlah dia (Abdullah bin Umar) supaya kembali, kemudian cerailah dia dalam keadaan suci atau mengandung." (Riwayat Bukhari)
Akan tetapi apakah talak semacam itu dipandang sah dan harus dilaksanakan atau tidak?
Pendapat yang masyhur, bahwa talak semacam itu tetap sah, tetapi si pelakunya berdosa.
Sementara ahli fikih berpendapat tidak sah, sebab talak semacam itu sama sekali tidak menurut aturan syara' dan tidak dibenarkan. Oleh karena itu bagaimana mungkin dapat dikatakan berlaku dan sah?
Diriwayatkan:
"Sesungguhnya Ibnu Umar pernah ditanya: bagaimana pendapatmu tentang seorang laki-laki yang mencerai istrinya waktu haidh? Maka ia menceritakan kepada si penanya tentang kisahnya ketika ia mencerai istrinya waktu haidh, dan Rasulullah SAW mengembalikan istrinya itu kepadanya sedang Rasulullah tidak menganggapnya sedikit pun." (Riwayat Abu Daud dengan sanad yang sahih)
"Sedang waktu yang tepat itu --menurut yang digariskan oleh syariat-- yaitu sewaktu si perempuan dalam keadaan bersih, yakni tidak datang bulan , baru saja melahirkan anak (nifas) dan tidak sehabis disetubuhinya khusus waktu bersih itu, kecuali apabila si perempuan tersebut jelas dalam keadaan mengandung," tulis Syaikh Yusuf al-Qardhawi dalam bukunya yang diterjemahkan H. Mu'ammal Hamidy berjudul "Halal dan Haram dalam Islam" (PT Bina Ilmu, 1993).
Menurut al-Qardhawi, karena dalam keadaan haidh, termasuk juga nifas , mengharuskan seorang suami untuk menjauhi istrinya. Barangkali karena terhalangnya atau ketegangan alat vitalnya itu yang mendorong untuk menalak.
Oleh karena itu si suami diperintahkan supaya menangguhkan sampai selesai haidhnya itu kemudian bersuci, kemudian dia boleh menjatuhkan talaknya sebelum si istri itu disetubuhinya.
Sebagaimana diharamkannya mencerai istri di waktu haidh, begitu juga diharamkan mencerai di waktu suci sesudah bersetubuh.
"Sebab siapa tahu barangkali si perempuan itu memperoleh benih dari suaminya pada kali ini, dan barangkali juga kalau si suami setelah mengetahui bahwa istrinya hamil kemudian dia akan mengubah niatnya, dan dia dapat hidup senang bersama istri karena ada janin yang dikandungnya," ujar Al-Qardhawi
Akan tetapi bila si perempuan itu dalam keadaan suci yang tidak disetubuhi atau si perempuan itu sudah jelas hamil, maka jelas di sini bahwa yang mendorong untuk bercerai adalah karena ada alasan yang bisa dibenarkan. "Oleh karena itu di saat yang demikian dia tidak berdosa mencerainya," jelas al-Qardhawi.
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dikisahkan, bahwa Abdullah bin Umar Ibnul-Khattab pernah mencerai isterinya waktu haidh. Kejadian ini sewaktu Rasulullah SAW masih hidup. Maka bertanyalah Umar kepada Rasulullah SAW , maka jawab Nabi kepada Umar:
"Suruhlah dia ( Abdullah bin Umar ) supaya kembali, kemudian jika dia mau, cerailah sedang istrinya itu dalam keadaan suci sebelum disetubuhinya. Itulah yang disebut mencerai pada iddah, sebagaimana yang diperintahkan Allah dalam firmanNya: Hai Nabi! Apabila kamu hendak mencerai istrimu, maka cerailah dia pada iddahnya. Yakni menghadapi iddah, yaitu di dalam keadaan suci."
Di satu riwayat disebutkan:
"Perintahlah dia (Abdullah bin Umar) supaya kembali, kemudian cerailah dia dalam keadaan suci atau mengandung." (Riwayat Bukhari)
Akan tetapi apakah talak semacam itu dipandang sah dan harus dilaksanakan atau tidak?
Pendapat yang masyhur, bahwa talak semacam itu tetap sah, tetapi si pelakunya berdosa.
Sementara ahli fikih berpendapat tidak sah, sebab talak semacam itu sama sekali tidak menurut aturan syara' dan tidak dibenarkan. Oleh karena itu bagaimana mungkin dapat dikatakan berlaku dan sah?
Diriwayatkan:
"Sesungguhnya Ibnu Umar pernah ditanya: bagaimana pendapatmu tentang seorang laki-laki yang mencerai istrinya waktu haidh? Maka ia menceritakan kepada si penanya tentang kisahnya ketika ia mencerai istrinya waktu haidh, dan Rasulullah SAW mengembalikan istrinya itu kepadanya sedang Rasulullah tidak menganggapnya sedikit pun." (Riwayat Abu Daud dengan sanad yang sahih)
(mhy)