Kisah Utsman bin Affan Mengadili Ubaidillah Putra Umar bin Khattab
Selasa, 08 Oktober 2024 - 05:15 WIB
Utsman bin Affan adalah khalifah ketiga yang berkuasa pada tahun 644 sampai 656 dan merupakan Khulafaur Rasyidin dengan masa kekuasaan terlama. Sama seperti dua pendahulunya, Khalifah Abu Bakar dan Umar bin Khattab , Utsman termasuk salah satu sahabat utama Nabi Muhammad SAW .
Muhammad Husain Haekal dalam bukunya yang diterjemahkan Ali Audah berjudul "Usman bin Affan, Antara Kekhalifahan dengan Kerajaan" (Pustaka Litera AntarNusa, 1987) menuturkan begitu Utsman dilantik, ada satu hal yang dihadapi yaitu soal Ubaidillah bin Umar bin Khattab.
Ubaidillah yakin bahwa pembunuhan terhadap ayahnya bukanlah suatu kejahatan perorangan yang dilakukan oleh Abu Lu'lu'ah Fairuz, budak Mugirah bin Syu'bah atas kemauannya sendiri, melainkan sudah merupakan hasil sebuah komplotan yang melibatkan juga Hormuzan, orang Persia dan Jufainah, orang Nasrani dari Hirah. Keyakinannya itu setelah didukung oleh adanya bukti.
Abdur-Rahman bin Auf dapat menjadi saksi, bahwa ketika terjadi peristiwa yang telah menggemparkan kaum Muslimin itu, sorenya ia melihat pisau yang dipakai menikam Umar itu di tangan Hormuzan dan Jufainah.
Abdur-Rahman bin Abu Bakar juga bersaksi dengan mengatakan: "Waktu saya lewat saya melihat Abu Lu'lu'ah pembunuh Umar itu bersama-sama dengan Jufainah dan Hormuzan; rupanya mereka sedang mengadakan pertemuan rahasia. Setelah merasakan kedatangan saya, tiba-tiba mereka berdiri, dan sebilah pisau berkepala dua dengan gagang di tengah jatuh. Periksalah itukah khanjar yang digunakan membunuh Umar?"
Mereka melihat pisau itu memang seperti yang dilukiskan Abdur-Rahman bin Abu Bakar.
Ketika itu Ubaidillah memberontak dan bangkit membawa pedang dengan tujuan mula-mula Hormuzan dan Jufainah yang dibunuhnya. Kemudian ia pergi ke rumah Fairuz dan membunuh anak perempuannya yang masih kecil dan mengaku Islam.
Menurut Haekal, peristiwa ini terjadi sebelum Utsman dilantik. Orang ramai marah dan mengancam. Mereka memasukkan Ubaidillah ke dalam penjara.
Setelah Utsman resmi menjadi khalifah, mau tak mau ia harus mengadili Ubaidillah.
At-Tabari mengutip sebuah sumber dari Syua'ib dan dari Saif dan Abu Mansur yang mengatakan: "Saya mendengar Kumazian bercerita tentang ayahnya - Hormuzan - yang terbunuh, dengan mengatakan: Orang-orang Persia di Madinah saat itu sedang rihat. Ketika itulah Fairuz singgah kepada ayah dengan membawa sebilah khanjar berkepala dua, dan diterima oleh ayah yang lalu menanyakan: "Akan Anda gunakan untuk di kota ini?"
"Untuk koleksi," jawabnya, dan ada orang yang melihatnya. Sesudah musibah menimpa Umar ia berkata, "saya melihat khanjar itu di tangan Hormuzan yang kemudian diberikan kepada Fairuz. Lalu Ubaidillah datang dan ia dibunuhnya."
Sesudah Utsman berkuasa ia memanggil saya dan ia memberi hak kepada saya terhadap dia -yakni Ubaidillah bin Umar- dengan mengatakan: "Anakku, orang itu pembunuh ayahmu dan Anda lebih berhak daripada kami, maka bunuhlah dia. Setelah itu saya ajak dia keluar. Ketika itu tak ada siapa pun selain kami berdua. Mereka meminta saya yang bertindak. Sayakah yang akan membunuhnya? Mereka menjawab: Ya. Lalu mereka memaki Ubaidillah. Kata saya: Adakah kalian akan mencegahnya? Mereka menjawab: Tidak, dan mereka memakinya. Saya serahkan kepada Allah dan kepada mereka. Mereka membawa saya, begitu saya sampai di rumah saya berhadapan dengan orang-orang terkemuka."
Demikian sumber at-Tabari. Pengampunan atas Ubaidillah itu atas usaha Kumazian, anak Hormuzan. Pendapat ini bertentangan dengan pendapat lain yang sudah umum.
Menurut Haekal, kebanyakan para narasumber menyebutkan bahwa sesudah pelantikan Utsman di samping Masjid, Ubaidillah dibawa dari penjara untuk diadili.
Sesudah tampil di depannya, Utsman berkata kepada orang-orang yang hadir itu: "Berikanlah pendapat kalian mengenai orang yang telah melakukan pembunuhan dalam Islam ini!"
Dalam hal ini Ali bin Abi Thalib berkata: "Tidak adil membiarkan dia, dan saya berpendapat dia juga harus dibunuh."
Tetapi salah seorang dari yang hadir menentang pendapat Ali dengan mengatakan: "Umar baru kemarin terbunuh, sekarang anaknya akan dibunuh pula!"
Mendengar penolakan ini semua yang hadir terdiam, Ali juga tidak meneruskan kata-katanya. Dia diam barangkali khawatir akan dituduh mau menolak Utsman pada waktu pembaiatannya.
Utsman melihat ke sekeliling, kepada mereka yang hadir, mengharapkan pendapat mereka. Ia ingin sekiranya ada di antara mereka yang mau membunuh Ubaidillah sebagai jalan keluarnya.
Amr bin Ash yang ketika itu ikut hadir berkata: "Allah telah membebaskan Anda dari kejadian ini. Waktu itu Anda tidak punya kekuasaan atas kaum Muslimin. Peristiwa semacam itu belum ada pada zaman Anda. Tinggalkan sajalah!"
Pendapat ini tidak memuaskan Utsman maka ia berkata: "Sayalah yang akan menjadi wali mereka - maksudnya wali mereka yang terbunuh - sudah saya jadikan diat dan saya yang akan menanggungnya dari harta saya sendiri."
Pendapat Utsman ini sungguh sangat bijaksana. Ia tidak memaafkan Ubaidillah karena tindakan kejahatannya. Dia pun tidak memerintahkan diadakan penyelidikan, sebab kalau persekongkolan Hormuzan, Jufainah dan Fairuz terbukti, akan membangkitkan kemarahan pihak Persia dan orang-orang Nasrani. Sementara Ubaidillah juga tidak akan bebas dari tindakannya yang sengaja membunuh anak perempuan Fairuz yang tidak berdosa dan tanpa alasan itu.
Semua orang merasa lega dengan kebijakan Utsman itu. Hanya ada sekelompok orang yang karena didorong oleh rasa fanatik menentang dan mengecamnya.
Di antara mereka itu terdapat Ziyad bin Ubaid al-Bayad yang lalu membaca sajak menjelek-jelekkan Ubaidillah dan mengecam keputusan Utsman. Akan tetapi Utsman kemudian memanggilnya dan memintanya untuk menghentikan kecamannya itu, dan dia pun memang berhenti tidak mengecam lagi.
Dengan demikian fitnah yang sudah dapat diredam itu tak perlu diungkit-ungkit lagi, dan kaum Muslimin di segenap Kedaulatan itu pun kembali ke dalam kehidupan sehari-hari yang biasa seperti sebelum terbunuhnya Umar.
Muhammad Husain Haekal dalam bukunya yang diterjemahkan Ali Audah berjudul "Usman bin Affan, Antara Kekhalifahan dengan Kerajaan" (Pustaka Litera AntarNusa, 1987) menuturkan begitu Utsman dilantik, ada satu hal yang dihadapi yaitu soal Ubaidillah bin Umar bin Khattab.
Ubaidillah yakin bahwa pembunuhan terhadap ayahnya bukanlah suatu kejahatan perorangan yang dilakukan oleh Abu Lu'lu'ah Fairuz, budak Mugirah bin Syu'bah atas kemauannya sendiri, melainkan sudah merupakan hasil sebuah komplotan yang melibatkan juga Hormuzan, orang Persia dan Jufainah, orang Nasrani dari Hirah. Keyakinannya itu setelah didukung oleh adanya bukti.
Abdur-Rahman bin Auf dapat menjadi saksi, bahwa ketika terjadi peristiwa yang telah menggemparkan kaum Muslimin itu, sorenya ia melihat pisau yang dipakai menikam Umar itu di tangan Hormuzan dan Jufainah.
Abdur-Rahman bin Abu Bakar juga bersaksi dengan mengatakan: "Waktu saya lewat saya melihat Abu Lu'lu'ah pembunuh Umar itu bersama-sama dengan Jufainah dan Hormuzan; rupanya mereka sedang mengadakan pertemuan rahasia. Setelah merasakan kedatangan saya, tiba-tiba mereka berdiri, dan sebilah pisau berkepala dua dengan gagang di tengah jatuh. Periksalah itukah khanjar yang digunakan membunuh Umar?"
Mereka melihat pisau itu memang seperti yang dilukiskan Abdur-Rahman bin Abu Bakar.
Ketika itu Ubaidillah memberontak dan bangkit membawa pedang dengan tujuan mula-mula Hormuzan dan Jufainah yang dibunuhnya. Kemudian ia pergi ke rumah Fairuz dan membunuh anak perempuannya yang masih kecil dan mengaku Islam.
Menurut Haekal, peristiwa ini terjadi sebelum Utsman dilantik. Orang ramai marah dan mengancam. Mereka memasukkan Ubaidillah ke dalam penjara.
Setelah Utsman resmi menjadi khalifah, mau tak mau ia harus mengadili Ubaidillah.
At-Tabari mengutip sebuah sumber dari Syua'ib dan dari Saif dan Abu Mansur yang mengatakan: "Saya mendengar Kumazian bercerita tentang ayahnya - Hormuzan - yang terbunuh, dengan mengatakan: Orang-orang Persia di Madinah saat itu sedang rihat. Ketika itulah Fairuz singgah kepada ayah dengan membawa sebilah khanjar berkepala dua, dan diterima oleh ayah yang lalu menanyakan: "Akan Anda gunakan untuk di kota ini?"
"Untuk koleksi," jawabnya, dan ada orang yang melihatnya. Sesudah musibah menimpa Umar ia berkata, "saya melihat khanjar itu di tangan Hormuzan yang kemudian diberikan kepada Fairuz. Lalu Ubaidillah datang dan ia dibunuhnya."
Sesudah Utsman berkuasa ia memanggil saya dan ia memberi hak kepada saya terhadap dia -yakni Ubaidillah bin Umar- dengan mengatakan: "Anakku, orang itu pembunuh ayahmu dan Anda lebih berhak daripada kami, maka bunuhlah dia. Setelah itu saya ajak dia keluar. Ketika itu tak ada siapa pun selain kami berdua. Mereka meminta saya yang bertindak. Sayakah yang akan membunuhnya? Mereka menjawab: Ya. Lalu mereka memaki Ubaidillah. Kata saya: Adakah kalian akan mencegahnya? Mereka menjawab: Tidak, dan mereka memakinya. Saya serahkan kepada Allah dan kepada mereka. Mereka membawa saya, begitu saya sampai di rumah saya berhadapan dengan orang-orang terkemuka."
Demikian sumber at-Tabari. Pengampunan atas Ubaidillah itu atas usaha Kumazian, anak Hormuzan. Pendapat ini bertentangan dengan pendapat lain yang sudah umum.
Menurut Haekal, kebanyakan para narasumber menyebutkan bahwa sesudah pelantikan Utsman di samping Masjid, Ubaidillah dibawa dari penjara untuk diadili.
Sesudah tampil di depannya, Utsman berkata kepada orang-orang yang hadir itu: "Berikanlah pendapat kalian mengenai orang yang telah melakukan pembunuhan dalam Islam ini!"
Dalam hal ini Ali bin Abi Thalib berkata: "Tidak adil membiarkan dia, dan saya berpendapat dia juga harus dibunuh."
Tetapi salah seorang dari yang hadir menentang pendapat Ali dengan mengatakan: "Umar baru kemarin terbunuh, sekarang anaknya akan dibunuh pula!"
Mendengar penolakan ini semua yang hadir terdiam, Ali juga tidak meneruskan kata-katanya. Dia diam barangkali khawatir akan dituduh mau menolak Utsman pada waktu pembaiatannya.
Utsman melihat ke sekeliling, kepada mereka yang hadir, mengharapkan pendapat mereka. Ia ingin sekiranya ada di antara mereka yang mau membunuh Ubaidillah sebagai jalan keluarnya.
Amr bin Ash yang ketika itu ikut hadir berkata: "Allah telah membebaskan Anda dari kejadian ini. Waktu itu Anda tidak punya kekuasaan atas kaum Muslimin. Peristiwa semacam itu belum ada pada zaman Anda. Tinggalkan sajalah!"
Pendapat ini tidak memuaskan Utsman maka ia berkata: "Sayalah yang akan menjadi wali mereka - maksudnya wali mereka yang terbunuh - sudah saya jadikan diat dan saya yang akan menanggungnya dari harta saya sendiri."
Pendapat Utsman ini sungguh sangat bijaksana. Ia tidak memaafkan Ubaidillah karena tindakan kejahatannya. Dia pun tidak memerintahkan diadakan penyelidikan, sebab kalau persekongkolan Hormuzan, Jufainah dan Fairuz terbukti, akan membangkitkan kemarahan pihak Persia dan orang-orang Nasrani. Sementara Ubaidillah juga tidak akan bebas dari tindakannya yang sengaja membunuh anak perempuan Fairuz yang tidak berdosa dan tanpa alasan itu.
Semua orang merasa lega dengan kebijakan Utsman itu. Hanya ada sekelompok orang yang karena didorong oleh rasa fanatik menentang dan mengecamnya.
Di antara mereka itu terdapat Ziyad bin Ubaid al-Bayad yang lalu membaca sajak menjelek-jelekkan Ubaidillah dan mengecam keputusan Utsman. Akan tetapi Utsman kemudian memanggilnya dan memintanya untuk menghentikan kecamannya itu, dan dia pun memang berhenti tidak mengecam lagi.
Dengan demikian fitnah yang sudah dapat diredam itu tak perlu diungkit-ungkit lagi, dan kaum Muslimin di segenap Kedaulatan itu pun kembali ke dalam kehidupan sehari-hari yang biasa seperti sebelum terbunuhnya Umar.
(mhy)