Profil Syiah Ismailiyah, Mirip Aliran Kebatinan Gatholoco di Jawa?
Kamis, 24 Oktober 2024 - 20:09 WIB
SYIAH Ismailiyah dikenal pula dengan Syi'ah Sab'iyyah atau Syi'ah Batiniyyah. Disebut demikian, karena pengikut sekte berkeyakinan bahwa Imam yang ketujuh bagi mereka adalah Isma'il atau karena pendirian mereka yang menyatakan bahwa setiap yang lahir, pasti ada yang batin dan setiap ayat yang turun pasfi ada takwil atau tafsir batiniyyah-nya.
Muslih Fathoni dalam bukunya berjudul "Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah dalam Perspektif" (PT. RajaGrafindo Persada, 1994) menjelaskanSyi'ah Isma'iliyah muncul sesudah tahun 200 H, menurut penuturan al-Mahdi Lidinillah Ahmad yang mengutip pernyataan al-Hakim dan kesepakatan para penulis Muslim, bahwa orang yang mula-mula membangun mazhab ini ialah anak-anak orang Majusi dan sisa-sisa pengikut aliran Huramiyyah.
Mereka dihimpun oleh suatu perkumpulan yang bekerja sama dengan orang-orang yang ahli tentang Islam dan filsafat. Motif mereka tidak lain, karena mereka ingin membuat tipu daya guna merusak Islam dengan menyusupkan para propagandisnya ke dalam masyarakat Syi'ah yang masih awam, karena mereka iri terhadap kejayaan Islam.
Menurut Muslih Fathoni, untuk pertama kalinya sekte ini lahir di Irak , kemudian ia mengalihkan gerakannya ke Persia, Khurasan, India, dan Turkistan. Di daerah-daerah tersebut, ajaran-ajarannya bercampur dengan kepercayaan versi lama dan pemikiran Hindu .
Dalam hubungan ini Fazlur Rahman menjelaskan bahwa Syi'ah Isma'iliyah ini giat berpropaganda di sekitar abad II H/IX M - V H/XI M, sehingga ia pernah menjadi aliran terkuat di dunia Islam, sejak dari Afrika sampai ke India dengan mengobarkan revolusi sosial, melalui asimilasi ide-ide dari luar terutama ide platonisme dan gnostik.
Dari sinilah sekte tersebut menyusun sistem filsafat di atas mana dibangun suatu agama baru, setelah merongrong struktur keagamaan ortodoks.
Isma'il yang wafat mendahului ayahnya, diyakini keimamannya melalui nas dari ayahnya, Ja'far as-Sadiq. Pengikut sekte ini mengingkari kematiannya dan ia dipandang sebagai al-Qa'im (yang bangkit) sampai ia menguasai bumi dan menegakkan urusan manusia.
Sesudah Isma'il, jabatan imam diteruskan oleh anaknya, Muhammad al-Maktum dan selanjutnya jabatan tersebut diteruskan oleh puteranya, Muhammad al-Habib, kemudian oleh penggantinya, 'Abdullah al-Mahdi.
Dalam propagandanya ia mendapat sukses karena jasa Abu 'Abdullah as-Syi'i, sesudah ia lolos dari tempat penahanannya di Sijilmasah, ia dapat menguasai daerah Kairuwan dan Magrib (Afrika). Dalam perkembangan selanjutnya, anak keturunan al-Mahdi ini akhirnya dapat menguasai Mesir dan mendirikan dinasti Fatimiyah.
Sesudah sekte ini merasa kuat posisinya, berakhirlah Imam Mastur dan muncullah 'Abdullah ibn Muhammad al-Habib yang mengaku sebagai Imam Mahdi yang dijanjikan.
Di antara sub sektenya yang paling agresif adalah golongan Qaramitah yang dipelopori oleh Hamdan ibn Qarmat di penghujung abad ke-3 H/9 M. Gerakannya bertujuan, di bidang politik, membantu berdirinya dinasti Fatimiyyah di Mesir, sedangkan di bidang sosial, membangun masyarakat yang didasarkan atas asas kebersamaan.
Mereka hidup dalam suatu komune yang hampir menyerupai sistem kehidupan masyarakat komunis. Kepercayaan aliran ini terhadap al-Mahdi, tidak jauh berbeda dengan keyakinan Syi'ah Isna 'Asyariyyah. Hanya saja pengikut sekte Qaramitah ini menganggap Muhammad ibn Isma'il sebagai al-Mahdi atau al-Qa'im.
Ia masih hidup dan tidak akan mati serta akan kembali lagi ke dunia dan memenuhi bumi dengan keadilan. Menurut keyakinan mereka, berita kemahdiannya telah disampaikan oleh imam-imam pendahulunya.
Selain aliran Qaramitah, muncul pula golongan Druziyyah, yang dipimpin dan didirikan oleh ad-Durzi. Tampaknya aliran ini rapat hubungannya dengan Syi'ah al-Hakimiyyah yang lahir di masa al-Hakim bi Amrillah al-Fatimi yang memerintah Mesir di tahun 386 H.
Dialah yang didewa-dewakan sebagai tuhan. Dalam hubungan ini, menurut salah satu riwayat, dia adalah Hamzah ad-Durzi yang datang dari Persia ke Mesir, kemudian membujuk al-Hakim agar dirinya diperbolehkan untuk mempropagandakan paham baru yaitu bahwa al-Hakim adalah tuhan, sehingga manusia mau menyembahnya.
Sangat boleh jadi, ajaran tentang Hulul dan Tanasukh versi aliran Druziyyah ini, dipengaruhi oleh ajaran al-Hallaj (858 - 922 M), yang dalam konsep filsafat ketuhanannya, menjelaskan bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat kemanusiaan (an-Nasut), dan manusia pun memiliki sifat-sifat ketuhanan (al-Lahut).
Kemudian ajaran ini oleh ad-Durzi diterapkan pada diri al-Hakim yang dipropagandakan sebagai tuhan.
Muslih Fathoni dalam bukunya berjudul "Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah dalam Perspektif" (PT. RajaGrafindo Persada, 1994) menjelaskanSyi'ah Isma'iliyah muncul sesudah tahun 200 H, menurut penuturan al-Mahdi Lidinillah Ahmad yang mengutip pernyataan al-Hakim dan kesepakatan para penulis Muslim, bahwa orang yang mula-mula membangun mazhab ini ialah anak-anak orang Majusi dan sisa-sisa pengikut aliran Huramiyyah.
Mereka dihimpun oleh suatu perkumpulan yang bekerja sama dengan orang-orang yang ahli tentang Islam dan filsafat. Motif mereka tidak lain, karena mereka ingin membuat tipu daya guna merusak Islam dengan menyusupkan para propagandisnya ke dalam masyarakat Syi'ah yang masih awam, karena mereka iri terhadap kejayaan Islam.
Menurut Muslih Fathoni, untuk pertama kalinya sekte ini lahir di Irak , kemudian ia mengalihkan gerakannya ke Persia, Khurasan, India, dan Turkistan. Di daerah-daerah tersebut, ajaran-ajarannya bercampur dengan kepercayaan versi lama dan pemikiran Hindu .
Dalam hubungan ini Fazlur Rahman menjelaskan bahwa Syi'ah Isma'iliyah ini giat berpropaganda di sekitar abad II H/IX M - V H/XI M, sehingga ia pernah menjadi aliran terkuat di dunia Islam, sejak dari Afrika sampai ke India dengan mengobarkan revolusi sosial, melalui asimilasi ide-ide dari luar terutama ide platonisme dan gnostik.
Dari sinilah sekte tersebut menyusun sistem filsafat di atas mana dibangun suatu agama baru, setelah merongrong struktur keagamaan ortodoks.
Isma'il yang wafat mendahului ayahnya, diyakini keimamannya melalui nas dari ayahnya, Ja'far as-Sadiq. Pengikut sekte ini mengingkari kematiannya dan ia dipandang sebagai al-Qa'im (yang bangkit) sampai ia menguasai bumi dan menegakkan urusan manusia.
Sesudah Isma'il, jabatan imam diteruskan oleh anaknya, Muhammad al-Maktum dan selanjutnya jabatan tersebut diteruskan oleh puteranya, Muhammad al-Habib, kemudian oleh penggantinya, 'Abdullah al-Mahdi.
Dalam propagandanya ia mendapat sukses karena jasa Abu 'Abdullah as-Syi'i, sesudah ia lolos dari tempat penahanannya di Sijilmasah, ia dapat menguasai daerah Kairuwan dan Magrib (Afrika). Dalam perkembangan selanjutnya, anak keturunan al-Mahdi ini akhirnya dapat menguasai Mesir dan mendirikan dinasti Fatimiyah.
Sesudah sekte ini merasa kuat posisinya, berakhirlah Imam Mastur dan muncullah 'Abdullah ibn Muhammad al-Habib yang mengaku sebagai Imam Mahdi yang dijanjikan.
Di antara sub sektenya yang paling agresif adalah golongan Qaramitah yang dipelopori oleh Hamdan ibn Qarmat di penghujung abad ke-3 H/9 M. Gerakannya bertujuan, di bidang politik, membantu berdirinya dinasti Fatimiyyah di Mesir, sedangkan di bidang sosial, membangun masyarakat yang didasarkan atas asas kebersamaan.
Mereka hidup dalam suatu komune yang hampir menyerupai sistem kehidupan masyarakat komunis. Kepercayaan aliran ini terhadap al-Mahdi, tidak jauh berbeda dengan keyakinan Syi'ah Isna 'Asyariyyah. Hanya saja pengikut sekte Qaramitah ini menganggap Muhammad ibn Isma'il sebagai al-Mahdi atau al-Qa'im.
Ia masih hidup dan tidak akan mati serta akan kembali lagi ke dunia dan memenuhi bumi dengan keadilan. Menurut keyakinan mereka, berita kemahdiannya telah disampaikan oleh imam-imam pendahulunya.
Selain aliran Qaramitah, muncul pula golongan Druziyyah, yang dipimpin dan didirikan oleh ad-Durzi. Tampaknya aliran ini rapat hubungannya dengan Syi'ah al-Hakimiyyah yang lahir di masa al-Hakim bi Amrillah al-Fatimi yang memerintah Mesir di tahun 386 H.
Dialah yang didewa-dewakan sebagai tuhan. Dalam hubungan ini, menurut salah satu riwayat, dia adalah Hamzah ad-Durzi yang datang dari Persia ke Mesir, kemudian membujuk al-Hakim agar dirinya diperbolehkan untuk mempropagandakan paham baru yaitu bahwa al-Hakim adalah tuhan, sehingga manusia mau menyembahnya.
Sangat boleh jadi, ajaran tentang Hulul dan Tanasukh versi aliran Druziyyah ini, dipengaruhi oleh ajaran al-Hallaj (858 - 922 M), yang dalam konsep filsafat ketuhanannya, menjelaskan bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat kemanusiaan (an-Nasut), dan manusia pun memiliki sifat-sifat ketuhanan (al-Lahut).
Kemudian ajaran ini oleh ad-Durzi diterapkan pada diri al-Hakim yang dipropagandakan sebagai tuhan.