Menjauhi Syubhat Berarti Menyelamatkan Agama dan Kehormatannya
Minggu, 27 Oktober 2024 - 17:15 WIB
Imam Ahmad menafsirkan bahwa syubhat ialah perkara yang berada antara halal dan haram ; yakni yang betul-betul halal dan betul-betul haram. Dia berkata, "Barang siapa yang menjauhinya, berarti dia telah menyelamatkan agamanya. Yaitu sesuatu yang bercampur antara yang halal dan haram."
Ibn Rajab berkata, "Masalah syubhat ini berlanjut kepada cara bermuamalah dengan orang yang di dalam harta bendanya bercampur antara barang yang halal dan barang yang haram. Apabila kebanyakan harta bendanya haram, maka Ahmad berkata, 'Dia harus dijauhkan kecuali untuk sesuatu yang kecil dan sesuatu yang tidak diketahui.'
Sedangkan ulama-ulama yang lain masih berselisih pendapat apakah muamalah dengan orang itu hukumnya makruh ataukah haram?
Jika kebanyakan harta bendanya halal, maka kita diperbolehkan melakukan muamalah dengannya, dan makan dari harta bendanya.
Al-Harits meriwayatkan dari Ali bahwasanya dia berkata tentang hadiah-hadiah yang diberikan oleh penguasa: "Tidak apa-apa, jika yang diberikan kepada kamu berasal dari barang yang lebih banyak halalnya daripada haramnya, karena dahulu Nabi SAW dan para sahabatnya pernah melakukan muamalah dengan orang-orang musyrik dan Ahli Kitab, padahal mereka tidak menjauhi hal-hal yang haram secara menyeluruh."
Jika ada suatu perkara yang masih diragukan maka perkara ini dikatakan syubhat. Dan orang-orang wara' (yang lebih berhati-hati dalam menjauhkan diri dari kemaksiatan meninggalkan perkara yang termasuk dalam syubhat ini.
Sufyan berkata, "Hal itu tidak mengherankan saya, yang lebih mengherankan bagi saya ialah cara dia meninggalkannya."
Az-Zuhri dan Makhul berkata, "Tidak apa-apa bagi kita untuk memakan sesuatu yang kita tidak tahu bahwa barang itu haram, jika tidak diketahui dengan mata kepalanya sendiri bahwa di dalam barang itu terdapat sesuatu yang haram."
Ishaq bin Rahawaih berpendapat sesuai dengan riwayat yang berasal dari Ibn Mas'ud dan Salman, dan lain-lain yang mengatakan bahwa perkara ini termasuk rukhshah; serta berdasarkan riwayat yang berasal dari al-Hasan dan Ibn Sirin yang membolehkan pengambilan sesuatu yang berasal dari riba dan judi, sebagaimana dinukilkan oleh Ibn Manshur.
Imam Ahmad berkata tentang harta benda yang masih diragukan kehalalan dan keharamannya, "Jika harta benda itu jumlahnya sangat banyak, maka harta-harta yang haram harus dikeluarkan, dan kita boleh mengadakan transaksi dengan harta yang masih tersisa."
Akan tetapi jika harta bendanya sedikit kita harus menjauhi barang-barang itu semuanya. Dengan alasan bahwa sesungguhnya barang yang jumlahnya hanya sedikit dan tercampur dengan sesuatu yang haram, maka dengan menjauhinya kita lebih selamat dari benda yang haram tersebut, dan berbeda dengan barang yang jumlahnya banyak.
Di antara sahabat kami ada yang lebih berhati-hati dalam menjaga suasana wara'nya sehingga mereka lebih membawa masalah ini kepada pengharaman.
Kelompok ini membolehkan transaksi dengan harta yang sedikit maupun banyak setelah mengeluarkan barang-barang haram yang tercampur di dalam barang-barang tersebut. Ini merupakan pendapat mazhab Hanafi dan lain-lain. Pendapat inilah yang diikuti oleh orang-orang wara', seperti Bisyr al-Hafi.
Sekelompok ulama salaf yang lain memberikan keringanan untuk memakan makanan dari orang yang diketahui bahwa di dalam hartanya ada sesuatu yang haram, selama orang itu tidak tahu barang haram itu dengan mata kepalanya sendiri; sebagaimana pendapat Makhul dan al-Zuhri yang kami sebutkan di muka. Begitu pula pendapat yang diriwayatkan dari Fudhail bin 'Iyadh.
Sehubungan dengan hal ini ada beberapa riwayat yang berasal dari para ulama salaf.
Ada sebuah riwayat yang berasal dari Ibn Mas'ud bahwasanya dia ditanya tentang orang yang mempunyai tetangga yang memakan barang riba secara terang-terangan.
Dia merasa tidak bersalah dengan adanya barang kotor yang dia pergunakan untuk makanan para tamu undangannya itu. Ibn Mas'ud menjawab, "Penuhi undangannya, karena sesungguhnya jamuan itu untukmu dan dosanya ditanggung olehnya." (Diriwayatkan oleh Abd al-Razzaq di dalam al-Mushannaf, 4675, 4676, dengan isnad yang shahih).
Ibn Rajab berkata, "Masalah syubhat ini berlanjut kepada cara bermuamalah dengan orang yang di dalam harta bendanya bercampur antara barang yang halal dan barang yang haram. Apabila kebanyakan harta bendanya haram, maka Ahmad berkata, 'Dia harus dijauhkan kecuali untuk sesuatu yang kecil dan sesuatu yang tidak diketahui.'
Sedangkan ulama-ulama yang lain masih berselisih pendapat apakah muamalah dengan orang itu hukumnya makruh ataukah haram?
Jika kebanyakan harta bendanya halal, maka kita diperbolehkan melakukan muamalah dengannya, dan makan dari harta bendanya.
Al-Harits meriwayatkan dari Ali bahwasanya dia berkata tentang hadiah-hadiah yang diberikan oleh penguasa: "Tidak apa-apa, jika yang diberikan kepada kamu berasal dari barang yang lebih banyak halalnya daripada haramnya, karena dahulu Nabi SAW dan para sahabatnya pernah melakukan muamalah dengan orang-orang musyrik dan Ahli Kitab, padahal mereka tidak menjauhi hal-hal yang haram secara menyeluruh."
Jika ada suatu perkara yang masih diragukan maka perkara ini dikatakan syubhat. Dan orang-orang wara' (yang lebih berhati-hati dalam menjauhkan diri dari kemaksiatan meninggalkan perkara yang termasuk dalam syubhat ini.
Sufyan berkata, "Hal itu tidak mengherankan saya, yang lebih mengherankan bagi saya ialah cara dia meninggalkannya."
Az-Zuhri dan Makhul berkata, "Tidak apa-apa bagi kita untuk memakan sesuatu yang kita tidak tahu bahwa barang itu haram, jika tidak diketahui dengan mata kepalanya sendiri bahwa di dalam barang itu terdapat sesuatu yang haram."
Ishaq bin Rahawaih berpendapat sesuai dengan riwayat yang berasal dari Ibn Mas'ud dan Salman, dan lain-lain yang mengatakan bahwa perkara ini termasuk rukhshah; serta berdasarkan riwayat yang berasal dari al-Hasan dan Ibn Sirin yang membolehkan pengambilan sesuatu yang berasal dari riba dan judi, sebagaimana dinukilkan oleh Ibn Manshur.
Imam Ahmad berkata tentang harta benda yang masih diragukan kehalalan dan keharamannya, "Jika harta benda itu jumlahnya sangat banyak, maka harta-harta yang haram harus dikeluarkan, dan kita boleh mengadakan transaksi dengan harta yang masih tersisa."
Akan tetapi jika harta bendanya sedikit kita harus menjauhi barang-barang itu semuanya. Dengan alasan bahwa sesungguhnya barang yang jumlahnya hanya sedikit dan tercampur dengan sesuatu yang haram, maka dengan menjauhinya kita lebih selamat dari benda yang haram tersebut, dan berbeda dengan barang yang jumlahnya banyak.
Di antara sahabat kami ada yang lebih berhati-hati dalam menjaga suasana wara'nya sehingga mereka lebih membawa masalah ini kepada pengharaman.
Kelompok ini membolehkan transaksi dengan harta yang sedikit maupun banyak setelah mengeluarkan barang-barang haram yang tercampur di dalam barang-barang tersebut. Ini merupakan pendapat mazhab Hanafi dan lain-lain. Pendapat inilah yang diikuti oleh orang-orang wara', seperti Bisyr al-Hafi.
Sekelompok ulama salaf yang lain memberikan keringanan untuk memakan makanan dari orang yang diketahui bahwa di dalam hartanya ada sesuatu yang haram, selama orang itu tidak tahu barang haram itu dengan mata kepalanya sendiri; sebagaimana pendapat Makhul dan al-Zuhri yang kami sebutkan di muka. Begitu pula pendapat yang diriwayatkan dari Fudhail bin 'Iyadh.
Sehubungan dengan hal ini ada beberapa riwayat yang berasal dari para ulama salaf.
Ada sebuah riwayat yang berasal dari Ibn Mas'ud bahwasanya dia ditanya tentang orang yang mempunyai tetangga yang memakan barang riba secara terang-terangan.
Dia merasa tidak bersalah dengan adanya barang kotor yang dia pergunakan untuk makanan para tamu undangannya itu. Ibn Mas'ud menjawab, "Penuhi undangannya, karena sesungguhnya jamuan itu untukmu dan dosanya ditanggung olehnya." (Diriwayatkan oleh Abd al-Razzaq di dalam al-Mushannaf, 4675, 4676, dengan isnad yang shahih).