Frugal Living di Era Umar bin Khattab: Ketika Wabah dan Kelaparan Melanda
Kamis, 28 November 2024 - 14:52 WIB
PADA masa Khalifah Umar bin Khattab , kelaparan dan wabah menyerang Jazirah Arab terutama wilayah sekitar Makkah dan Madinah .Ini terjadi karena kekeringan melanda. Selama 9 bulan tak turun hujan. Lapisan-lapisan gunung berapi mulai bergerak dari dasar dan membakar permukaan. Akibatnya, semua tanaman di atasnya mati. Lapisan tanah itu menjadi hitam, gersang dan penuh abu, yang bila datang angin bertiup makin luas bertebaran.
Muhammad Husain Haekal dalam bukunya berjudul "Al-Faruq Umar" yang diterjemahkan Ali Audah menjadi "Umar bin Khattab, Sebuah teladan mendalam tentang pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya masa itu" (PT Pustaka Litera AntarNusa, 2000) menjelaskan pada tahun ini dinamai "Tahun Abu" (Amar Ramadah).
Akibat tak ada hujan dan tiupan angin serta hancurnya segala usaha pertanian dan peternakan itu, timbul kelaparan yang menelan banyak korban manusia dan binatang ternak.
Hewan-hewan yang masih ada sudah kurus kering, tetapi karena lapar, orang menyembelih ternaknya dengan rasa jijik karena sudah begitu buruk.
Dengan demikian keadaan pasar jadi sepi, karena sudah tak ada lagi yang akan diperjualbelikan. Uang di tangan pun sudah tidak berarti apa-apa, sebab tak ada yang dapat dibeli untuk sekadar menyambung hidupnya.
Perjuangan ini cukup lama dan bencana pun makin berat. Orang sudah menggali lubang-lubang tikus untuk memburunya.
Pada permulaan musim kelaparan itu keadaan penduduk Madinah masih lebih baik. Madinah merupakan sebuah kota yang di waktu lapang penduduknya biasa menyimpan makanan, seperti yang biasa dilakukan oleh penduduk kota. Bila sudah mulai musim kemarau simpanan itu dikeluarkan untuk dimakan.
Sebaliknya penduduk pedalaman, tak ada yang dapat mereka simpan sehingga sejak permulaan mereka sudah menderita. Mereka malah ramai-ramai datang ke Madinah meminta bantuan Amirulmukminin dengan menyampaikan keluhan mengharapkan remah makanan yang dapat mereka makan.
Mereka yang datang mengungsi ke Madinah saban hari terus bertambah sehingga makin banyak jumlahnya. Kota Madinah menjadi penuh sesak, penduduk merasa makin tertekan, kegersangan dan kelaparan yang menimpa mereka pun sama seperti yang menimpa penduduk pedalaman.
Upaya Umar Mengatasi Kelaparan
Setelah kelaparan mencapai puncaknya pernah terjadi Umar disuguhi roti yang diremukkan dengan samin. Ia memanggil seorang badui dan roti itu dimakannya bersama-sama. Orang badui itu setiap kali menyuap diikutinya dengan lemak yang terdapat di sisi luarnya.
Oleh Umar ia ditanya: "Tampaknya Anda tak pernah mengenyam lemak?"
"Ya," jawab orang itu. "Saya tak pernah makan dengan samin atau minyak zaitun, juga saya tak melihat ada orang memakannya sejak sekian dan sekian lamanya sampai sekarang."
Sejak itu Umar bersumpah untuk tidak lagi makan daging atau samin sampai semua orang hidup seperti biasa. Ia tetap bertahan dengan sumpahnya itu sampai dengan izin Allah hujan turun dan musim paceklik berakhir.
Ia sangat bersungguh-sungguh dengan sumpahnya itu. Di pasar ada orang yang membawa samin dalam satu tabung kulit dan susu, juga dalam satu tabung kulit. Kedua barang itu dibeli oleh seorang anak muda dengan harga empat puluh dirham dan langsung pergi menemui Umar seraya katanya:
"Allah sudah menerima sumpah Anda dan memperbesar pahala Anda. Ada orang yang membawa setabung susu dan setabung samin saya beli dengan harga empat puluh dirham. Terlalu mahal lalu Anda sedekahkan."
"Saya tidak suka makan dengan berlebihan," jawab Umar. Ia menunduk sebentar lalu katanya lagi: "Bagaimana saya akan dapat memperhatikan keadaan rakyat jika saya tidak ikut merasakan apa yang mereka rasakan."
Muhammad Husain Haekal dalam bukunya berjudul "Al-Faruq Umar" yang diterjemahkan Ali Audah menjadi "Umar bin Khattab, Sebuah teladan mendalam tentang pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya masa itu" (PT Pustaka Litera AntarNusa, 2000) menjelaskan pada tahun ini dinamai "Tahun Abu" (Amar Ramadah).
Akibat tak ada hujan dan tiupan angin serta hancurnya segala usaha pertanian dan peternakan itu, timbul kelaparan yang menelan banyak korban manusia dan binatang ternak.
Hewan-hewan yang masih ada sudah kurus kering, tetapi karena lapar, orang menyembelih ternaknya dengan rasa jijik karena sudah begitu buruk.
Dengan demikian keadaan pasar jadi sepi, karena sudah tak ada lagi yang akan diperjualbelikan. Uang di tangan pun sudah tidak berarti apa-apa, sebab tak ada yang dapat dibeli untuk sekadar menyambung hidupnya.
Perjuangan ini cukup lama dan bencana pun makin berat. Orang sudah menggali lubang-lubang tikus untuk memburunya.
Pada permulaan musim kelaparan itu keadaan penduduk Madinah masih lebih baik. Madinah merupakan sebuah kota yang di waktu lapang penduduknya biasa menyimpan makanan, seperti yang biasa dilakukan oleh penduduk kota. Bila sudah mulai musim kemarau simpanan itu dikeluarkan untuk dimakan.
Sebaliknya penduduk pedalaman, tak ada yang dapat mereka simpan sehingga sejak permulaan mereka sudah menderita. Mereka malah ramai-ramai datang ke Madinah meminta bantuan Amirulmukminin dengan menyampaikan keluhan mengharapkan remah makanan yang dapat mereka makan.
Mereka yang datang mengungsi ke Madinah saban hari terus bertambah sehingga makin banyak jumlahnya. Kota Madinah menjadi penuh sesak, penduduk merasa makin tertekan, kegersangan dan kelaparan yang menimpa mereka pun sama seperti yang menimpa penduduk pedalaman.
Upaya Umar Mengatasi Kelaparan
Setelah kelaparan mencapai puncaknya pernah terjadi Umar disuguhi roti yang diremukkan dengan samin. Ia memanggil seorang badui dan roti itu dimakannya bersama-sama. Orang badui itu setiap kali menyuap diikutinya dengan lemak yang terdapat di sisi luarnya.
Oleh Umar ia ditanya: "Tampaknya Anda tak pernah mengenyam lemak?"
"Ya," jawab orang itu. "Saya tak pernah makan dengan samin atau minyak zaitun, juga saya tak melihat ada orang memakannya sejak sekian dan sekian lamanya sampai sekarang."
Sejak itu Umar bersumpah untuk tidak lagi makan daging atau samin sampai semua orang hidup seperti biasa. Ia tetap bertahan dengan sumpahnya itu sampai dengan izin Allah hujan turun dan musim paceklik berakhir.
Ia sangat bersungguh-sungguh dengan sumpahnya itu. Di pasar ada orang yang membawa samin dalam satu tabung kulit dan susu, juga dalam satu tabung kulit. Kedua barang itu dibeli oleh seorang anak muda dengan harga empat puluh dirham dan langsung pergi menemui Umar seraya katanya:
"Allah sudah menerima sumpah Anda dan memperbesar pahala Anda. Ada orang yang membawa setabung susu dan setabung samin saya beli dengan harga empat puluh dirham. Terlalu mahal lalu Anda sedekahkan."
"Saya tidak suka makan dengan berlebihan," jawab Umar. Ia menunduk sebentar lalu katanya lagi: "Bagaimana saya akan dapat memperhatikan keadaan rakyat jika saya tidak ikut merasakan apa yang mereka rasakan."
Lihat Juga :