Jika Bunga Bank Riba, Bagaimana Mengelola Duit yang Sudah Terlanjur Diterima?
Senin, 12 Oktober 2020 - 05:00 WIB
Demikianlah keadaan harta yang haram, tidak ada manfaatnya dizakati, karena zakat itu tidak dapat mensucikannya. Yang dapat mensucikan harta ialah mengeluarkan sebagian darinya untuk zakat. Karena itulah Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya Allah tidak menerima sedekah dari hasil korupsi." (HR Muslim)
Allah tidak menerima sedekah dari harta semacam ini, karena harta tersebut bukan milik orang yang memegangnya tetapi milik umum yang dikorupsi.
Oleh sebab itu, Al-Qardhawi mengingatkan, janganlah seseorang mengambil bunga bank untuk kepentingan dirinya, dan jangan pula membiarkannya menjadi milik bank sehingga dimanfaatkan karena hal ini akan memperkuat posisi bank dalam bermuamalat secara riba. Tetapi hendaklah ia mengambilnya dan menggunakannya pada jalan-jalan kebaikan. ( )
Sebagian orang ada yang mengemukakan alasan bahwa sesungguhnya seseorang yang menyimpan uang di bank juga memiliki risiko kerugian jika bank itu mengalami kerugian dan pailit, misalnya karena sebab tertentu. "Kerugian seperti itu tidak membatalkan kaidah, walaupun si penabung mengalami kerugian akibat dari kepailitan atau kebangkrutan tersebut, karena hal ini menyimpang dari kaidah yang telah ditetapkan. Sebab tiap-tiap kaidah ada penyimpangannya, dan hukum-hukum dalam syariat Ilahi -demikian juga dalam undang-undang buatan manusia-- tidak boleh disandarkan kepada perkara-perkara yang ganjil dan jarang terjadi," jelas Al-Qardhawi.
Semua ulama telah sepakat, katanya, bahwa sesuatu yang jarang terjadi tidak dapat dijadikan sebagai sandaran hukum, dan sesuatu yang lebih sering terjadi dihukumi sebagai hukum keseluruhan. Oleh karenanya, kejadian tertentu tidak dapat membatalkan kaidah kulliyyah (kaidah umum).
Menurut kaidah umum, orang yang menabung uang (di bank) dengan jalan riba hanya mendapatkan keuntungan tanpa memiliki risiko kerugian. Apabila sekali waktu ia mengalami kerugian, maka hal itu merupakan suatu keganjilan atau penyimpangan dari kondisi normal, dan keganjilan tersebut tidak dapat dijadikan sandaran hukum.
Lalu, bank juga mengolah uang para nasabah, maka mengapa tidak boleh mengambil keuntungannya?
Al-Qardhawi mengatakan, betul bahwa bank memperdagangkan uang tersebut, tetapi apakah sang nasabah ikut melakukan aktivitas dagang itu. "Sudah tentu tidak. Kalau nasabah bersekutu atau berkongsi dengan pihak bank sejak semula, maka akadnya adalah akad berkongsi, dan sebagai konsekuensinya nasabah akan ikut menanggung apabila bank mengalami kerugian," katanya.
"Kenyataannya," lanjutnya, "Pada saat bank mengalami kerugian atau bangkrut, maka para penabung menuntut dan meminta uang mereka, dan pihak bank pun tidak mengingkarinya. Bahkan kadang-kadang pihak bank mengembalikan uang simpanan tersebut dengan pembagian yang adil (seimbang) jika berjumlah banyak, atau diberikannya sekaligus jika berjumlah sedikit."
Bagaimanapun juga sang nasabah tidaklah menganggap dirinya bertanggung jawab atas kerugian itu dan tidak pula merasa bersekutu dalam kerugian bank tersebut, bahkan mereka menuntut uangnya secara utuh tanpa kurang sedikit pun.
Sedekah
Qardhawi menjelaskan, ketika turun ayat-ayat Al-Qur'an dalam QS ar-Rum 1-3 yang memberitakan tentang kemenangan Romawi , Abu Bakar as-Shiddiq mengajak mereka bertaruh atas izin Rasulullah SAW . Ketika Allah SWT merealisasikan janji- Nya itu, Abu Bakar datang ke pada Nabi SAW dengan kemenangan taruhan itu. Akan tetapi, beliau bersabda: "Ini haram."
Beliau pun menyedekahkannya sehingga orang-orang mukmin merasa gembira dengan pertolongan Allah itu — ayat yang mengharamkan judi turun setelah Rasulullah SAW memberi izin kepada Abu Bakar untuk bertaruh.
Dalil lainnya, yakni Atsar dari Imam Ghazali mengenai kisah sahabat Ibnu Mas'ud. Beliau dikisahkan pernah membeli seorang budak perempuan, tetapi ketika mau membayarnya, Ibnu Mas'ud tak menjumpai pemiliknya. Dia sudah berusaha mencarinya, tetapi tak menemukannya. Dia pun menyedekahkan uang pembayaran itu.
Imam Hasan juga pernah ditanya tentang tobatnya koruptor yang mengambil harta rampasan sebelum dibagi beserta status harta yang diambilnya setelah semua pasukan kembali ke rumah masing-masing. Maka beliau menjawab, disedekahkan.
Belum Menjadi Ijma'
Syaikh Ali Jum’ah, mufti resmi Mesir, menyatakan para ulama tidak pernah sampai pada kata sepakat tentang kehalalan atau keharaman bunga bank. Maksudnya akan selalu ada pendapat yang mengharamkan sekaligus yang menghalalkan.
Allah tidak menerima sedekah dari harta semacam ini, karena harta tersebut bukan milik orang yang memegangnya tetapi milik umum yang dikorupsi.
Oleh sebab itu, Al-Qardhawi mengingatkan, janganlah seseorang mengambil bunga bank untuk kepentingan dirinya, dan jangan pula membiarkannya menjadi milik bank sehingga dimanfaatkan karena hal ini akan memperkuat posisi bank dalam bermuamalat secara riba. Tetapi hendaklah ia mengambilnya dan menggunakannya pada jalan-jalan kebaikan. ( )
Sebagian orang ada yang mengemukakan alasan bahwa sesungguhnya seseorang yang menyimpan uang di bank juga memiliki risiko kerugian jika bank itu mengalami kerugian dan pailit, misalnya karena sebab tertentu. "Kerugian seperti itu tidak membatalkan kaidah, walaupun si penabung mengalami kerugian akibat dari kepailitan atau kebangkrutan tersebut, karena hal ini menyimpang dari kaidah yang telah ditetapkan. Sebab tiap-tiap kaidah ada penyimpangannya, dan hukum-hukum dalam syariat Ilahi -demikian juga dalam undang-undang buatan manusia-- tidak boleh disandarkan kepada perkara-perkara yang ganjil dan jarang terjadi," jelas Al-Qardhawi.
Semua ulama telah sepakat, katanya, bahwa sesuatu yang jarang terjadi tidak dapat dijadikan sebagai sandaran hukum, dan sesuatu yang lebih sering terjadi dihukumi sebagai hukum keseluruhan. Oleh karenanya, kejadian tertentu tidak dapat membatalkan kaidah kulliyyah (kaidah umum).
Menurut kaidah umum, orang yang menabung uang (di bank) dengan jalan riba hanya mendapatkan keuntungan tanpa memiliki risiko kerugian. Apabila sekali waktu ia mengalami kerugian, maka hal itu merupakan suatu keganjilan atau penyimpangan dari kondisi normal, dan keganjilan tersebut tidak dapat dijadikan sandaran hukum.
Lalu, bank juga mengolah uang para nasabah, maka mengapa tidak boleh mengambil keuntungannya?
Al-Qardhawi mengatakan, betul bahwa bank memperdagangkan uang tersebut, tetapi apakah sang nasabah ikut melakukan aktivitas dagang itu. "Sudah tentu tidak. Kalau nasabah bersekutu atau berkongsi dengan pihak bank sejak semula, maka akadnya adalah akad berkongsi, dan sebagai konsekuensinya nasabah akan ikut menanggung apabila bank mengalami kerugian," katanya.
"Kenyataannya," lanjutnya, "Pada saat bank mengalami kerugian atau bangkrut, maka para penabung menuntut dan meminta uang mereka, dan pihak bank pun tidak mengingkarinya. Bahkan kadang-kadang pihak bank mengembalikan uang simpanan tersebut dengan pembagian yang adil (seimbang) jika berjumlah banyak, atau diberikannya sekaligus jika berjumlah sedikit."
Bagaimanapun juga sang nasabah tidaklah menganggap dirinya bertanggung jawab atas kerugian itu dan tidak pula merasa bersekutu dalam kerugian bank tersebut, bahkan mereka menuntut uangnya secara utuh tanpa kurang sedikit pun.
Sedekah
Qardhawi menjelaskan, ketika turun ayat-ayat Al-Qur'an dalam QS ar-Rum 1-3 yang memberitakan tentang kemenangan Romawi , Abu Bakar as-Shiddiq mengajak mereka bertaruh atas izin Rasulullah SAW . Ketika Allah SWT merealisasikan janji- Nya itu, Abu Bakar datang ke pada Nabi SAW dengan kemenangan taruhan itu. Akan tetapi, beliau bersabda: "Ini haram."
Beliau pun menyedekahkannya sehingga orang-orang mukmin merasa gembira dengan pertolongan Allah itu — ayat yang mengharamkan judi turun setelah Rasulullah SAW memberi izin kepada Abu Bakar untuk bertaruh.
Dalil lainnya, yakni Atsar dari Imam Ghazali mengenai kisah sahabat Ibnu Mas'ud. Beliau dikisahkan pernah membeli seorang budak perempuan, tetapi ketika mau membayarnya, Ibnu Mas'ud tak menjumpai pemiliknya. Dia sudah berusaha mencarinya, tetapi tak menemukannya. Dia pun menyedekahkan uang pembayaran itu.
Imam Hasan juga pernah ditanya tentang tobatnya koruptor yang mengambil harta rampasan sebelum dibagi beserta status harta yang diambilnya setelah semua pasukan kembali ke rumah masing-masing. Maka beliau menjawab, disedekahkan.
Belum Menjadi Ijma'
Syaikh Ali Jum’ah, mufti resmi Mesir, menyatakan para ulama tidak pernah sampai pada kata sepakat tentang kehalalan atau keharaman bunga bank. Maksudnya akan selalu ada pendapat yang mengharamkan sekaligus yang menghalalkan.