Jika Bunga Bank Riba, Bagaimana Mengelola Duit yang Sudah Terlanjur Diterima?
Senin, 12 Oktober 2020 - 05:00 WIB
BUNGA bank dalam Islam masuk kategori riba atau bukan, halal atau haram , di tengah para ulama kontemporer dewasa ini berkembang dua pendapat yang berbeda.
Pertama, mereka yang menganggap bunga bank itu riba sehingga mereka mengharamkannya. Mereka kemudian cenderung mengharamkan bank dan melarang umat Islam bermuamalah dengan bank konvensional . ( )
Kedua, mereka yang menganggap bunga bank itu bukan riba, sehingga mereka tidak mengharamkan bunga dan membolehkan bermuamalat dengan bank konvensional.
Ustaz Ahmad Sarwat dari Rumah Fiqih menyatakan, di Mesir sebagai gudangnya para ulama dan ilmu syariah, ternyata para ulama senior pun tidak sepakat atas hukum bunga bank, ada yang mengharamkan dan ada yang tidak mengharamkan. ( )
Syaikh Yusuf Al-Qardhawi adalah salah satu ulama yang menganggap bunga bank sebagai riba. Dalam bukunya " Fatwa-Fatwa Kotemporer ", Syaikh Yusuf Al-Qardhawi menegaskan sesungguhnya bunga yang diambil oleh penabung di bank adalah riba yang diharamkan, karena riba adalah semua tambahan yang disyaratkan atas pokok harta.
"Artinya, apa yang diambil seseorang tanpa melalui usaha perdagangan dan tanpa berpayah-payah sebagai tambahan atas pokok hartanya, maka yang demikian itu termasuk riba," ujarnya. ( )
Dalam hal ini Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ۖ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertobat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya." (QS Baqarah: 278-279)
Al-Qardhawi menjelaskan yang dimaksud dengan tobat di sini ialah seseorang tetap pada pokok hartanya, dan berprinsip bahwa tambahan yang timbul darinya adalah riba. Bunga-bunga sebagai tambahan atas pokok harta yang diperoleh tanpa melalui persekutuan atas perkongsian, mudharakah, atau bentuk-bentuk persekutuan dagang lainnya, adalah riba yang diharamkan.
Islam tidak memperbolehkan seseorang menaruh pokok hartanya dengan hanya mengambil keuntungan. Apabila dia melakukan perkongsian, dia wajib memperoleh keuntungan begitupun kerugiannya. ( )
Kalau keuntungannya sedikit, maka dia berbagi keuntungan sedikit, demikian juga jika memperoleh keuntungan yang banyak. Dan jika tidak mendapatkan keuntungan, dia juga harus menanggung kerugiannya. Inilah makna persekutuan yang sama-sama memikul tanggung jawab.
Perbandingan perolehan keuntungan yang tidak wajar antara pemilik modal dengan pengelola --misalnya pengelola memperoleh keuntungan sebesar 80%-90% sedangkan pemilik modal hanya lima atau enam persen-- atau terlepasnya tanggung jawab pemilik modal ketika pengelola mengalami kerugian, maka cara seperti ini menyimpang dari sistem ekonomi Islam. ( )
Pertanyaan selanjutnya apakah dibolehkan mengambil bunga bank?
"Tidak boleh," jawabnya.
Kemudian langkah apa yang harus kita lakukan jika menghadapi kasus demikian?
"Segala sesuatu yang haram tidak boleh dimiliki dan wajib disedekahkan sebagaimana dikatakan para ulama muhaqqiq (ahli tahqiq)," katanya.
Hanya saja, Al-Qardhawi mengingatkan sebagian ulama yang wara' (sangat berhati-hati) berpendapat bahwa uang itu tidak boleh diambil meskipun untuk disedekahkan, ia harus membiarkannya atau membuangnya ke laut. Dengan alasan, seseorang tidak boleh bersedekah dengan sesuatu yang jelek. "Tetapi pendapat ini bertentangan dengan kaidah syar'iyyah yang melarang menyia-nyiakan harta dan tidak memanfaatkannya," katanya. ( )
Harta itu bolehlah diambil dan disedekahkan kepada fakir miskin, atau disalurkan pada proyek-proyek kebaikan atau lainnya yang oleh si penabung dipandang bermanfaat bagi kepentingan Islam dan kaum muslimin. Karena harta haram itu bukanlah milik seseorang. Uang itu bukan milik bank atau milik penabung, tetapi milik kemaslahatan umum.
Demikianlah keadaan harta yang haram, tidak ada manfaatnya dizakati, karena zakat itu tidak dapat mensucikannya. Yang dapat mensucikan harta ialah mengeluarkan sebagian darinya untuk zakat. Karena itulah Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya Allah tidak menerima sedekah dari hasil korupsi." (HR Muslim)
Allah tidak menerima sedekah dari harta semacam ini, karena harta tersebut bukan milik orang yang memegangnya tetapi milik umum yang dikorupsi.
Oleh sebab itu, Al-Qardhawi mengingatkan, janganlah seseorang mengambil bunga bank untuk kepentingan dirinya, dan jangan pula membiarkannya menjadi milik bank sehingga dimanfaatkan karena hal ini akan memperkuat posisi bank dalam bermuamalat secara riba. Tetapi hendaklah ia mengambilnya dan menggunakannya pada jalan-jalan kebaikan. ( )
Sebagian orang ada yang mengemukakan alasan bahwa sesungguhnya seseorang yang menyimpan uang di bank juga memiliki risiko kerugian jika bank itu mengalami kerugian dan pailit, misalnya karena sebab tertentu. "Kerugian seperti itu tidak membatalkan kaidah, walaupun si penabung mengalami kerugian akibat dari kepailitan atau kebangkrutan tersebut, karena hal ini menyimpang dari kaidah yang telah ditetapkan. Sebab tiap-tiap kaidah ada penyimpangannya, dan hukum-hukum dalam syariat Ilahi -demikian juga dalam undang-undang buatan manusia-- tidak boleh disandarkan kepada perkara-perkara yang ganjil dan jarang terjadi," jelas Al-Qardhawi.
Semua ulama telah sepakat, katanya, bahwa sesuatu yang jarang terjadi tidak dapat dijadikan sebagai sandaran hukum, dan sesuatu yang lebih sering terjadi dihukumi sebagai hukum keseluruhan. Oleh karenanya, kejadian tertentu tidak dapat membatalkan kaidah kulliyyah (kaidah umum).
Menurut kaidah umum, orang yang menabung uang (di bank) dengan jalan riba hanya mendapatkan keuntungan tanpa memiliki risiko kerugian. Apabila sekali waktu ia mengalami kerugian, maka hal itu merupakan suatu keganjilan atau penyimpangan dari kondisi normal, dan keganjilan tersebut tidak dapat dijadikan sandaran hukum.
Lalu, bank juga mengolah uang para nasabah, maka mengapa tidak boleh mengambil keuntungannya?
Al-Qardhawi mengatakan, betul bahwa bank memperdagangkan uang tersebut, tetapi apakah sang nasabah ikut melakukan aktivitas dagang itu. "Sudah tentu tidak. Kalau nasabah bersekutu atau berkongsi dengan pihak bank sejak semula, maka akadnya adalah akad berkongsi, dan sebagai konsekuensinya nasabah akan ikut menanggung apabila bank mengalami kerugian," katanya.
"Kenyataannya," lanjutnya, "Pada saat bank mengalami kerugian atau bangkrut, maka para penabung menuntut dan meminta uang mereka, dan pihak bank pun tidak mengingkarinya. Bahkan kadang-kadang pihak bank mengembalikan uang simpanan tersebut dengan pembagian yang adil (seimbang) jika berjumlah banyak, atau diberikannya sekaligus jika berjumlah sedikit."
Bagaimanapun juga sang nasabah tidaklah menganggap dirinya bertanggung jawab atas kerugian itu dan tidak pula merasa bersekutu dalam kerugian bank tersebut, bahkan mereka menuntut uangnya secara utuh tanpa kurang sedikit pun.
Sedekah
Qardhawi menjelaskan, ketika turun ayat-ayat Al-Qur'an dalam QS ar-Rum 1-3 yang memberitakan tentang kemenangan Romawi , Abu Bakar as-Shiddiq mengajak mereka bertaruh atas izin Rasulullah SAW . Ketika Allah SWT merealisasikan janji- Nya itu, Abu Bakar datang ke pada Nabi SAW dengan kemenangan taruhan itu. Akan tetapi, beliau bersabda: "Ini haram."
Beliau pun menyedekahkannya sehingga orang-orang mukmin merasa gembira dengan pertolongan Allah itu — ayat yang mengharamkan judi turun setelah Rasulullah SAW memberi izin kepada Abu Bakar untuk bertaruh.
Dalil lainnya, yakni Atsar dari Imam Ghazali mengenai kisah sahabat Ibnu Mas'ud. Beliau dikisahkan pernah membeli seorang budak perempuan, tetapi ketika mau membayarnya, Ibnu Mas'ud tak menjumpai pemiliknya. Dia sudah berusaha mencarinya, tetapi tak menemukannya. Dia pun menyedekahkan uang pembayaran itu.
Imam Hasan juga pernah ditanya tentang tobatnya koruptor yang mengambil harta rampasan sebelum dibagi beserta status harta yang diambilnya setelah semua pasukan kembali ke rumah masing-masing. Maka beliau menjawab, disedekahkan.
Belum Menjadi Ijma'
Syaikh Ali Jum’ah, mufti resmi Mesir, menyatakan para ulama tidak pernah sampai pada kata sepakat tentang kehalalan atau keharaman bunga bank. Maksudnya akan selalu ada pendapat yang mengharamkan sekaligus yang menghalalkan.
Menurutnya, keharaman bunga bank itu belum menjadi ijma’ jumhur ulama. Para ulama yang menghalalkannya ternyata cukup banyak, khususnya di kalangan para masyayikh Al-Azhar sendiri.
Syaikh Muhammad Sayyid Thanthawy (1928-2010), Syaikh Besar Al-Azhar, berpendapat bunga bank bukan sebagai riba. Pendapat itu dinyatakan dalam bukunya berjudul "Muamalat al-Bunuk wa Ahkamuha as-Syar'iyyah".
Dasar pemikiran Sayyid Thanthawi adalah pada banyak hadis menyebutkan, Rasulullah SAW telah memberikan lebihan dari pokok utang kepada kreditur (orang yang meminjami) karena didorong oleh ungkapan terima kasih dan penghargaan. Sebagai mana hadis yang diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah RA, beliau berkata, "Rasulullah SAW pernah punya utang kepadaku, lalu beliau membayarnya lebih dari yang semestinya." (HR al-Bukhari Muslim).
Dari hadis itu, Sayyid Thanthawi menjabarkan, penambahan dan lebihan dari pokok utang, baik dalam bentuk uang, benda maupun hewan; baik dalam timbangan maupun ukuran, tidak mengapa diberikan, selagi penambahan seperti itu muncul dari hati yang tulus, tanpa disertai syarat dan tidak disertai sesuatu yang haram, maka itulah yang di bolehkan sebab memang tidak ada larangan.
Jauh sebelum itu, Syaikh Muhammad Abduh (w. 1905 M), salah satu tokoh senior kebangkitan Islam masa modern, di dalam kitab tafsir karyanya Al-Manar, memberi pembahasan khusus dalam masalah bunga bank, dimana beliau memandangnya bukan riba. Sebab uang yang disimpan di bank itu memberi manfaat kepada kedua-belah pihak, yaitu yang punya uang atau pun yang meminjam.
Syaikh Syaltut (w. 1963 H) juga seorang pimpinan Al-Azhar di masa hidupnya. Beliau berpendapat bahwa menyimpan uang di bank bukanlah meminjamkan uang kepada bank. Tetapi pada hakikatnya adalah titipan kepada bank. Karena merasa tidak aman untuk menyimpan uang di rumah, juga karena tidak praktis.
Maka sejak awal tidak pernah ada akad pinjam uang. Dengan demikian pemberian bunga dari pihak bank kepada pemilik titipan itu tidak bisa disebut sebagai riba. Tetapi merupakan penghargaan dan penyemangat untuk bisa menitipkan uang di bank.
Bahkan dalam pandangan beliau, ketika uang titipannya di bank itu justru dipinjamkan lagi kepada pihak lain untuk usaha, maka ini termasuk amal kebaikan yang mendapatkan pahala. Tidak ada pihak yang dirugikan dalam hal ini.
Pandangan dan ijtihad beliau ini kemudian dituliskan dalam karya ilmiyah dengan judul Al-Ashum wa As-Sanadat Dharuratu Al-Afrad wa Dharuratu Al-Ummah.
Beliau juga menulis dalam kitab Fatawa: "Kami memandang sesuai dengan praktik hukum syariah dan qawaid fiqhiyah yang salimah bahwa keuntungan dari sunduq taufir (saving box) itu halal, tidak ada keharaman di dalamnya." Wallahu'alam.
Pertama, mereka yang menganggap bunga bank itu riba sehingga mereka mengharamkannya. Mereka kemudian cenderung mengharamkan bank dan melarang umat Islam bermuamalah dengan bank konvensional . ( )
Kedua, mereka yang menganggap bunga bank itu bukan riba, sehingga mereka tidak mengharamkan bunga dan membolehkan bermuamalat dengan bank konvensional.
Ustaz Ahmad Sarwat dari Rumah Fiqih menyatakan, di Mesir sebagai gudangnya para ulama dan ilmu syariah, ternyata para ulama senior pun tidak sepakat atas hukum bunga bank, ada yang mengharamkan dan ada yang tidak mengharamkan. ( )
Syaikh Yusuf Al-Qardhawi adalah salah satu ulama yang menganggap bunga bank sebagai riba. Dalam bukunya " Fatwa-Fatwa Kotemporer ", Syaikh Yusuf Al-Qardhawi menegaskan sesungguhnya bunga yang diambil oleh penabung di bank adalah riba yang diharamkan, karena riba adalah semua tambahan yang disyaratkan atas pokok harta.
"Artinya, apa yang diambil seseorang tanpa melalui usaha perdagangan dan tanpa berpayah-payah sebagai tambahan atas pokok hartanya, maka yang demikian itu termasuk riba," ujarnya. ( )
Dalam hal ini Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ۖ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertobat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya." (QS Baqarah: 278-279)
Al-Qardhawi menjelaskan yang dimaksud dengan tobat di sini ialah seseorang tetap pada pokok hartanya, dan berprinsip bahwa tambahan yang timbul darinya adalah riba. Bunga-bunga sebagai tambahan atas pokok harta yang diperoleh tanpa melalui persekutuan atas perkongsian, mudharakah, atau bentuk-bentuk persekutuan dagang lainnya, adalah riba yang diharamkan.
Islam tidak memperbolehkan seseorang menaruh pokok hartanya dengan hanya mengambil keuntungan. Apabila dia melakukan perkongsian, dia wajib memperoleh keuntungan begitupun kerugiannya. ( )
Kalau keuntungannya sedikit, maka dia berbagi keuntungan sedikit, demikian juga jika memperoleh keuntungan yang banyak. Dan jika tidak mendapatkan keuntungan, dia juga harus menanggung kerugiannya. Inilah makna persekutuan yang sama-sama memikul tanggung jawab.
Perbandingan perolehan keuntungan yang tidak wajar antara pemilik modal dengan pengelola --misalnya pengelola memperoleh keuntungan sebesar 80%-90% sedangkan pemilik modal hanya lima atau enam persen-- atau terlepasnya tanggung jawab pemilik modal ketika pengelola mengalami kerugian, maka cara seperti ini menyimpang dari sistem ekonomi Islam. ( )
Pertanyaan selanjutnya apakah dibolehkan mengambil bunga bank?
"Tidak boleh," jawabnya.
Kemudian langkah apa yang harus kita lakukan jika menghadapi kasus demikian?
"Segala sesuatu yang haram tidak boleh dimiliki dan wajib disedekahkan sebagaimana dikatakan para ulama muhaqqiq (ahli tahqiq)," katanya.
Hanya saja, Al-Qardhawi mengingatkan sebagian ulama yang wara' (sangat berhati-hati) berpendapat bahwa uang itu tidak boleh diambil meskipun untuk disedekahkan, ia harus membiarkannya atau membuangnya ke laut. Dengan alasan, seseorang tidak boleh bersedekah dengan sesuatu yang jelek. "Tetapi pendapat ini bertentangan dengan kaidah syar'iyyah yang melarang menyia-nyiakan harta dan tidak memanfaatkannya," katanya. ( )
Harta itu bolehlah diambil dan disedekahkan kepada fakir miskin, atau disalurkan pada proyek-proyek kebaikan atau lainnya yang oleh si penabung dipandang bermanfaat bagi kepentingan Islam dan kaum muslimin. Karena harta haram itu bukanlah milik seseorang. Uang itu bukan milik bank atau milik penabung, tetapi milik kemaslahatan umum.
Demikianlah keadaan harta yang haram, tidak ada manfaatnya dizakati, karena zakat itu tidak dapat mensucikannya. Yang dapat mensucikan harta ialah mengeluarkan sebagian darinya untuk zakat. Karena itulah Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya Allah tidak menerima sedekah dari hasil korupsi." (HR Muslim)
Allah tidak menerima sedekah dari harta semacam ini, karena harta tersebut bukan milik orang yang memegangnya tetapi milik umum yang dikorupsi.
Oleh sebab itu, Al-Qardhawi mengingatkan, janganlah seseorang mengambil bunga bank untuk kepentingan dirinya, dan jangan pula membiarkannya menjadi milik bank sehingga dimanfaatkan karena hal ini akan memperkuat posisi bank dalam bermuamalat secara riba. Tetapi hendaklah ia mengambilnya dan menggunakannya pada jalan-jalan kebaikan. ( )
Sebagian orang ada yang mengemukakan alasan bahwa sesungguhnya seseorang yang menyimpan uang di bank juga memiliki risiko kerugian jika bank itu mengalami kerugian dan pailit, misalnya karena sebab tertentu. "Kerugian seperti itu tidak membatalkan kaidah, walaupun si penabung mengalami kerugian akibat dari kepailitan atau kebangkrutan tersebut, karena hal ini menyimpang dari kaidah yang telah ditetapkan. Sebab tiap-tiap kaidah ada penyimpangannya, dan hukum-hukum dalam syariat Ilahi -demikian juga dalam undang-undang buatan manusia-- tidak boleh disandarkan kepada perkara-perkara yang ganjil dan jarang terjadi," jelas Al-Qardhawi.
Semua ulama telah sepakat, katanya, bahwa sesuatu yang jarang terjadi tidak dapat dijadikan sebagai sandaran hukum, dan sesuatu yang lebih sering terjadi dihukumi sebagai hukum keseluruhan. Oleh karenanya, kejadian tertentu tidak dapat membatalkan kaidah kulliyyah (kaidah umum).
Menurut kaidah umum, orang yang menabung uang (di bank) dengan jalan riba hanya mendapatkan keuntungan tanpa memiliki risiko kerugian. Apabila sekali waktu ia mengalami kerugian, maka hal itu merupakan suatu keganjilan atau penyimpangan dari kondisi normal, dan keganjilan tersebut tidak dapat dijadikan sandaran hukum.
Lalu, bank juga mengolah uang para nasabah, maka mengapa tidak boleh mengambil keuntungannya?
Al-Qardhawi mengatakan, betul bahwa bank memperdagangkan uang tersebut, tetapi apakah sang nasabah ikut melakukan aktivitas dagang itu. "Sudah tentu tidak. Kalau nasabah bersekutu atau berkongsi dengan pihak bank sejak semula, maka akadnya adalah akad berkongsi, dan sebagai konsekuensinya nasabah akan ikut menanggung apabila bank mengalami kerugian," katanya.
"Kenyataannya," lanjutnya, "Pada saat bank mengalami kerugian atau bangkrut, maka para penabung menuntut dan meminta uang mereka, dan pihak bank pun tidak mengingkarinya. Bahkan kadang-kadang pihak bank mengembalikan uang simpanan tersebut dengan pembagian yang adil (seimbang) jika berjumlah banyak, atau diberikannya sekaligus jika berjumlah sedikit."
Bagaimanapun juga sang nasabah tidaklah menganggap dirinya bertanggung jawab atas kerugian itu dan tidak pula merasa bersekutu dalam kerugian bank tersebut, bahkan mereka menuntut uangnya secara utuh tanpa kurang sedikit pun.
Sedekah
Qardhawi menjelaskan, ketika turun ayat-ayat Al-Qur'an dalam QS ar-Rum 1-3 yang memberitakan tentang kemenangan Romawi , Abu Bakar as-Shiddiq mengajak mereka bertaruh atas izin Rasulullah SAW . Ketika Allah SWT merealisasikan janji- Nya itu, Abu Bakar datang ke pada Nabi SAW dengan kemenangan taruhan itu. Akan tetapi, beliau bersabda: "Ini haram."
Beliau pun menyedekahkannya sehingga orang-orang mukmin merasa gembira dengan pertolongan Allah itu — ayat yang mengharamkan judi turun setelah Rasulullah SAW memberi izin kepada Abu Bakar untuk bertaruh.
Dalil lainnya, yakni Atsar dari Imam Ghazali mengenai kisah sahabat Ibnu Mas'ud. Beliau dikisahkan pernah membeli seorang budak perempuan, tetapi ketika mau membayarnya, Ibnu Mas'ud tak menjumpai pemiliknya. Dia sudah berusaha mencarinya, tetapi tak menemukannya. Dia pun menyedekahkan uang pembayaran itu.
Imam Hasan juga pernah ditanya tentang tobatnya koruptor yang mengambil harta rampasan sebelum dibagi beserta status harta yang diambilnya setelah semua pasukan kembali ke rumah masing-masing. Maka beliau menjawab, disedekahkan.
Belum Menjadi Ijma'
Syaikh Ali Jum’ah, mufti resmi Mesir, menyatakan para ulama tidak pernah sampai pada kata sepakat tentang kehalalan atau keharaman bunga bank. Maksudnya akan selalu ada pendapat yang mengharamkan sekaligus yang menghalalkan.
Menurutnya, keharaman bunga bank itu belum menjadi ijma’ jumhur ulama. Para ulama yang menghalalkannya ternyata cukup banyak, khususnya di kalangan para masyayikh Al-Azhar sendiri.
Syaikh Muhammad Sayyid Thanthawy (1928-2010), Syaikh Besar Al-Azhar, berpendapat bunga bank bukan sebagai riba. Pendapat itu dinyatakan dalam bukunya berjudul "Muamalat al-Bunuk wa Ahkamuha as-Syar'iyyah".
Dasar pemikiran Sayyid Thanthawi adalah pada banyak hadis menyebutkan, Rasulullah SAW telah memberikan lebihan dari pokok utang kepada kreditur (orang yang meminjami) karena didorong oleh ungkapan terima kasih dan penghargaan. Sebagai mana hadis yang diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah RA, beliau berkata, "Rasulullah SAW pernah punya utang kepadaku, lalu beliau membayarnya lebih dari yang semestinya." (HR al-Bukhari Muslim).
Dari hadis itu, Sayyid Thanthawi menjabarkan, penambahan dan lebihan dari pokok utang, baik dalam bentuk uang, benda maupun hewan; baik dalam timbangan maupun ukuran, tidak mengapa diberikan, selagi penambahan seperti itu muncul dari hati yang tulus, tanpa disertai syarat dan tidak disertai sesuatu yang haram, maka itulah yang di bolehkan sebab memang tidak ada larangan.
Jauh sebelum itu, Syaikh Muhammad Abduh (w. 1905 M), salah satu tokoh senior kebangkitan Islam masa modern, di dalam kitab tafsir karyanya Al-Manar, memberi pembahasan khusus dalam masalah bunga bank, dimana beliau memandangnya bukan riba. Sebab uang yang disimpan di bank itu memberi manfaat kepada kedua-belah pihak, yaitu yang punya uang atau pun yang meminjam.
Syaikh Syaltut (w. 1963 H) juga seorang pimpinan Al-Azhar di masa hidupnya. Beliau berpendapat bahwa menyimpan uang di bank bukanlah meminjamkan uang kepada bank. Tetapi pada hakikatnya adalah titipan kepada bank. Karena merasa tidak aman untuk menyimpan uang di rumah, juga karena tidak praktis.
Maka sejak awal tidak pernah ada akad pinjam uang. Dengan demikian pemberian bunga dari pihak bank kepada pemilik titipan itu tidak bisa disebut sebagai riba. Tetapi merupakan penghargaan dan penyemangat untuk bisa menitipkan uang di bank.
Bahkan dalam pandangan beliau, ketika uang titipannya di bank itu justru dipinjamkan lagi kepada pihak lain untuk usaha, maka ini termasuk amal kebaikan yang mendapatkan pahala. Tidak ada pihak yang dirugikan dalam hal ini.
Pandangan dan ijtihad beliau ini kemudian dituliskan dalam karya ilmiyah dengan judul Al-Ashum wa As-Sanadat Dharuratu Al-Afrad wa Dharuratu Al-Ummah.
Beliau juga menulis dalam kitab Fatawa: "Kami memandang sesuai dengan praktik hukum syariah dan qawaid fiqhiyah yang salimah bahwa keuntungan dari sunduq taufir (saving box) itu halal, tidak ada keharaman di dalamnya." Wallahu'alam.
(mhy)