Jika Bunga Bank Riba, Bagaimana Mengelola Duit yang Sudah Terlanjur Diterima?
Senin, 12 Oktober 2020 - 05:00 WIB
Menurutnya, keharaman bunga bank itu belum menjadi ijma’ jumhur ulama. Para ulama yang menghalalkannya ternyata cukup banyak, khususnya di kalangan para masyayikh Al-Azhar sendiri.
Syaikh Muhammad Sayyid Thanthawy (1928-2010), Syaikh Besar Al-Azhar, berpendapat bunga bank bukan sebagai riba. Pendapat itu dinyatakan dalam bukunya berjudul "Muamalat al-Bunuk wa Ahkamuha as-Syar'iyyah".
Dasar pemikiran Sayyid Thanthawi adalah pada banyak hadis menyebutkan, Rasulullah SAW telah memberikan lebihan dari pokok utang kepada kreditur (orang yang meminjami) karena didorong oleh ungkapan terima kasih dan penghargaan. Sebagai mana hadis yang diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah RA, beliau berkata, "Rasulullah SAW pernah punya utang kepadaku, lalu beliau membayarnya lebih dari yang semestinya." (HR al-Bukhari Muslim).
Dari hadis itu, Sayyid Thanthawi menjabarkan, penambahan dan lebihan dari pokok utang, baik dalam bentuk uang, benda maupun hewan; baik dalam timbangan maupun ukuran, tidak mengapa diberikan, selagi penambahan seperti itu muncul dari hati yang tulus, tanpa disertai syarat dan tidak disertai sesuatu yang haram, maka itulah yang di bolehkan sebab memang tidak ada larangan.
Jauh sebelum itu, Syaikh Muhammad Abduh (w. 1905 M), salah satu tokoh senior kebangkitan Islam masa modern, di dalam kitab tafsir karyanya Al-Manar, memberi pembahasan khusus dalam masalah bunga bank, dimana beliau memandangnya bukan riba. Sebab uang yang disimpan di bank itu memberi manfaat kepada kedua-belah pihak, yaitu yang punya uang atau pun yang meminjam.
Syaikh Syaltut (w. 1963 H) juga seorang pimpinan Al-Azhar di masa hidupnya. Beliau berpendapat bahwa menyimpan uang di bank bukanlah meminjamkan uang kepada bank. Tetapi pada hakikatnya adalah titipan kepada bank. Karena merasa tidak aman untuk menyimpan uang di rumah, juga karena tidak praktis.
Maka sejak awal tidak pernah ada akad pinjam uang. Dengan demikian pemberian bunga dari pihak bank kepada pemilik titipan itu tidak bisa disebut sebagai riba. Tetapi merupakan penghargaan dan penyemangat untuk bisa menitipkan uang di bank.
Bahkan dalam pandangan beliau, ketika uang titipannya di bank itu justru dipinjamkan lagi kepada pihak lain untuk usaha, maka ini termasuk amal kebaikan yang mendapatkan pahala. Tidak ada pihak yang dirugikan dalam hal ini.
Pandangan dan ijtihad beliau ini kemudian dituliskan dalam karya ilmiyah dengan judul Al-Ashum wa As-Sanadat Dharuratu Al-Afrad wa Dharuratu Al-Ummah.
Beliau juga menulis dalam kitab Fatawa: "Kami memandang sesuai dengan praktik hukum syariah dan qawaid fiqhiyah yang salimah bahwa keuntungan dari sunduq taufir (saving box) itu halal, tidak ada keharaman di dalamnya." Wallahu'alam.
(mhy)