Baginda Raja Serahkan Singgasananya kepada Abu Nawas dengan Sukarela
Jum'at, 23 Oktober 2020 - 07:12 WIB
PAGI-pagi begini enaknya ya, minum kopi, begitu pikir Abu Nawas . Ia pun berjalan menuju warung kopi langganannya yang tak jauh dari rumah.
"Biasa," ujar Abu Nawas kepada pemilik warung, begitu ia meletakkan pantatnya di kursi kayu. Pemilik warung sudah tahu maksud Abu Nawas.
"Kopi kental dengan dua sendok gula," celetuk sang pemilik warung disambut senyum orang-orang yang ada di warung itu.
Tidak pakai lama, kopi sudah terhidang di depan Abu Nawas.
"Abu, ceritakan oleh-oleh dari Istana kemarin. Dapat proyek apa dari Baginda?" tanya seorang di antara mereka membuka pembicaraan.
Abu Nawas asyik menganduk kopi yang masih panas. "Tidak ada," jawab Abu Nawas yang tampak tak berselera.
"Kalau begitu, berikan sedikit nasehat pada kami," desak yang lainnya.
"Kebenaran adalah sesuatu yang berharga," celetuk Abu Nawas sembari menyeruput kopi dengan hati-hati. Raut wajahnya tampak dibikin serius. "Bukan hanya secara spiritual, tetapi juga memiliki harga material," lanjutnya. ( )
"Tapi mengapa kita harus membayar untuk sebuah kebenaran? Kadang-kadang mahal pula," potong salah seorang di antara mereka yang rupanya menyimak apa yang diomongkan Abu Nawas.
"Kalau engkau perhatikan," sambung Abu Nawas, "Harga sesuatu itu dipengaruhi juga oleh kelangkaannya. Makin langka sesuatu itu, makin mahallah ia."
Semua orang dalam warung menganggung-angguk. "Bener juga," gumam mereka sok paham.
Belum lagi Abu Nawas menghabiskan kopinya, tiba-tiba datang utusan raja. "Baginda memanggil," ujar sang utusan kepada Abu Nawas tanpa basa-basi. Rupanya utusan raja tersebut sebelumnya sudah mendatangi rumah Abu Nawas. Di sana, sang istri memberi tahu, suaminya ada di warung kopi langganannya. ( )
Dengan pakaian seadanya Abu Nawas mendatangi Istana. Di sana sejumlah orang sudah berkumpul. Raja tampak duduk berwibawa di singgasananya. "Oh, rupanya sejumlah ulama dan tokoh agama sedang dikumpulkan raja," pikir Abu Nawas.
Begitu melihat Abu Nawas, raja langsung memanggilnya. "Sini ke depan, Abu," titah Baginda. Abu Nawas pun buru-buru merapat ke depan setelah mengucap salam kepada hadirin.
Belum lagi sempurna duduk Abu Nawas, tanpa basa-basi lagi Khalifah Harun Ar-Rasyid bertanya kepada Abu Nawas, "Ini para ulama yang ada di sini tak ada yang bisa menjawab pertanyaan saya," kata Baginda ditujukan kepada Abu Nawas. ( )
"Apa yang mesti hamba lakukan Baginda?" tanya Abu Nawas.
Rupanya sepulang salat subuh berjamaah, Khalifah sedikit iseng bertanya kepada para tokoh agama itu. "Allah itu lagi di mana dan sedang apa?"
Semua ulama yang ada saat itu tidak berani menjawab dan Khalifah Harun Ar-Rasyid saat itu memang lagi bertingkah aneh untuk menarik perhatian. Tanya kok Allah sekarang lagi apa?
Abu Nawas menyimak pertanyaan raja itu. “Saya bisa jawab tapi ada syaratnya,” kata Abu Nawas kepada sang khalifah.
“Apa syaratnya?” tanya Khalifah sedikit terkejut.
“Saya duduk di kursi singgasana Anda, dan Anda duduk di bawahnya,” jawab Abu Nawas.
Sang khalifah berpikir sejenak, tapi kemudian mengabulkan apa yang diinginkan Abu Nawas. Khalifah ingin betul mendengar jawaban itu dari si Cerdik.
Setelah Abu Nawas duduk di singgasana dan Khalifah Harun Ar-Rasyid duduk di bawah, Abu Nawas berkata lantang: “Allah sedang mengangkat Abu Nawas jadi Raja dan Harun Ar-Rasyid jadi rakyat biasa."
"Biasa," ujar Abu Nawas kepada pemilik warung, begitu ia meletakkan pantatnya di kursi kayu. Pemilik warung sudah tahu maksud Abu Nawas.
"Kopi kental dengan dua sendok gula," celetuk sang pemilik warung disambut senyum orang-orang yang ada di warung itu.
Tidak pakai lama, kopi sudah terhidang di depan Abu Nawas.
"Abu, ceritakan oleh-oleh dari Istana kemarin. Dapat proyek apa dari Baginda?" tanya seorang di antara mereka membuka pembicaraan.
Abu Nawas asyik menganduk kopi yang masih panas. "Tidak ada," jawab Abu Nawas yang tampak tak berselera.
"Kalau begitu, berikan sedikit nasehat pada kami," desak yang lainnya.
"Kebenaran adalah sesuatu yang berharga," celetuk Abu Nawas sembari menyeruput kopi dengan hati-hati. Raut wajahnya tampak dibikin serius. "Bukan hanya secara spiritual, tetapi juga memiliki harga material," lanjutnya. ( )
"Tapi mengapa kita harus membayar untuk sebuah kebenaran? Kadang-kadang mahal pula," potong salah seorang di antara mereka yang rupanya menyimak apa yang diomongkan Abu Nawas.
"Kalau engkau perhatikan," sambung Abu Nawas, "Harga sesuatu itu dipengaruhi juga oleh kelangkaannya. Makin langka sesuatu itu, makin mahallah ia."
Semua orang dalam warung menganggung-angguk. "Bener juga," gumam mereka sok paham.
Belum lagi Abu Nawas menghabiskan kopinya, tiba-tiba datang utusan raja. "Baginda memanggil," ujar sang utusan kepada Abu Nawas tanpa basa-basi. Rupanya utusan raja tersebut sebelumnya sudah mendatangi rumah Abu Nawas. Di sana, sang istri memberi tahu, suaminya ada di warung kopi langganannya. ( )
Dengan pakaian seadanya Abu Nawas mendatangi Istana. Di sana sejumlah orang sudah berkumpul. Raja tampak duduk berwibawa di singgasananya. "Oh, rupanya sejumlah ulama dan tokoh agama sedang dikumpulkan raja," pikir Abu Nawas.
Begitu melihat Abu Nawas, raja langsung memanggilnya. "Sini ke depan, Abu," titah Baginda. Abu Nawas pun buru-buru merapat ke depan setelah mengucap salam kepada hadirin.
Belum lagi sempurna duduk Abu Nawas, tanpa basa-basi lagi Khalifah Harun Ar-Rasyid bertanya kepada Abu Nawas, "Ini para ulama yang ada di sini tak ada yang bisa menjawab pertanyaan saya," kata Baginda ditujukan kepada Abu Nawas. ( )
"Apa yang mesti hamba lakukan Baginda?" tanya Abu Nawas.
Rupanya sepulang salat subuh berjamaah, Khalifah sedikit iseng bertanya kepada para tokoh agama itu. "Allah itu lagi di mana dan sedang apa?"
Semua ulama yang ada saat itu tidak berani menjawab dan Khalifah Harun Ar-Rasyid saat itu memang lagi bertingkah aneh untuk menarik perhatian. Tanya kok Allah sekarang lagi apa?
Abu Nawas menyimak pertanyaan raja itu. “Saya bisa jawab tapi ada syaratnya,” kata Abu Nawas kepada sang khalifah.
“Apa syaratnya?” tanya Khalifah sedikit terkejut.
“Saya duduk di kursi singgasana Anda, dan Anda duduk di bawahnya,” jawab Abu Nawas.
Sang khalifah berpikir sejenak, tapi kemudian mengabulkan apa yang diinginkan Abu Nawas. Khalifah ingin betul mendengar jawaban itu dari si Cerdik.
Setelah Abu Nawas duduk di singgasana dan Khalifah Harun Ar-Rasyid duduk di bawah, Abu Nawas berkata lantang: “Allah sedang mengangkat Abu Nawas jadi Raja dan Harun Ar-Rasyid jadi rakyat biasa."
(mhy)