Membangun Kota Basrah dan Kebijakan Umar bin Khattab Terhadap Petani
Rabu, 11 November 2020 - 08:36 WIB
KOTA Basrah dibangun bersamaan waktunya dengan dibangunnya Kota Kufah di dekat Ubullah di Delta Furat-Tigris yang bersambung ke Teluk Persia . Kejadian ini dalam tahun 18 Hijri, tahun keempat pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab . Ada juga sumber yang menyebutkan bahwa Basrah dibangun sebelum Kufah, kendati bangunan-bangunan rumahnya baru dibuat dengan bata setelah rumah-rumah di Kufah. (
)
Al-Balazuri menyebutkan bahwa Utbah bin Gazwan menyerbu Ubullah dalam tahun ke- 14 Hijri, yang sesudah dibebaskan ia menulis kepada Khalifah Umar: "Untuk pasukan Muslimin perlu ada tempat tinggal untuk musim dingin, dan dapat menempatinya usai perang."
Dalam jawabannya Khalifah berkata: "Kalau sahabat-sahabat Anda setuju di satu tempat, tetapi dekat dengan mata air dan tempat penggembalaan, laporkanlah kepada saya suasananya."
Umar cukup puas dengan letak Basrah itu ketika Utbah melukiskannya. Orang berdatangan ke tempat itu dan membangun tempat-tempat tinggal dari buluh. Utbah membangun sebuah masjid juga dari batang buluh. Kalau pasukan itu berperang mereka mencabuti bambu-bambu itu lalu diikat. Bilamana kelak kembali dari medan perang mereka bangun kembali. ( )
Karena kebakaran yang dulu pemah melalap Kufah, Umar mengizinkan penduduk Basrah membangun dari batu bata seperti yang kemudian dilakukan oleh pihak Kufah. Kota Basrah setelah itu menjadi pelabuhan Irak ke Teluk Persia. Tempat-tempat tinggal di sana dibangun dari batu dan didirikan pula sebuah masjid yang termasuk mesjid paling megah. Pengaruhnya dalam sejarah Islam kemudian sama dengan Kufah dulu.
Muhammad Husain Haekal dalam bukunya berjudul " Umar bin Khattab " memaparkan perlu menampilkan pembangunan dua kota ini, karena Kufah dan Basrah telah mewariskan berbagai aliran atau mazhab dalam sejarah , bahasa, sastra, fikih dan peradaban Islam , yang pengaruhnya masih terasa sampai sekarang. "Dalam hal ini kedua kota itu berlomba, seperti juga halnya dalam mengarahkan roda politik negara secara umum, dan khususnya di Irak. Kedua kota itu pada masa Umar mulai memantapkan kedudukannya masing-masing," tuturnya..
Hal ini wajar saja mengingat Kufah merupakan ibu kota Irak dan Basrah pelabuhannya yang pertama. Penduduk Semenanjung Arab seperti sudah disebutkan di atas memonopoli kedua kota itu; penduduk daerah Yaman dan sekitarnya di selatan memilih Kufah, kalangan Madinah dan penduduk bagian utara ke Basrah. ( )
Perpindahan ini dalam perang dengan Persia kemudian hari baik sekali pengaruhnya.
Sesudah kedua kota itu dibangun sumber penghasilan mana yang menjadi tumpuan hidup mereka. Sudah lama seluruh Irak dalam keadaan tenang sebelum angkatan bersenjata Muslimin harus berperang lagi menghadapi Yazdigird dan pasukannya di Persia, dan berhasil memperoleh rampasan perang.
Melindungi Petani
Orang-orang Arab tidak biasa bertani dalam arti menggantungkan pekerjaannya pada tanah pertanian Irak. Adakah mereka lalu memeras jerih payah para petani itu seperti yang dilakukan dulu oleh para pejabat Persia?
Haekal mengatakan jawaban atas pertanyaan ini akan terasa mengganggu sehubungan dengan soal Kufah dan Basrah serta penduduknya yang menggantungkan hidupnya kepada kedua kota itu. Sama halnya dengan angkatan bersenjata Muslimin di Mada'in , Jalula , Tikrit, Mosul dan tempat-tempat lain di seluruh Irak, yang juga menggantungkan hidupnya ke daerah-daerah itu.
Umar menjalankan kebijakan politiknya seperti yang sudah dijalankan oleh Abu Bakar sebelumnya. Dipesankannya kepada para perwira dan anggota-anggota pasukannya untuk tidak mengganggu para petani, dan supaya berlaku adil terhadap semua penduduk- sehingga mereka merasabenar-benar aman di bawah pemerintahan Muslimin, kharaj atau jizyah yang diberlakukan oleh pejabat Muslim tidak boleh memberatkan.
Sesudah Jalula dibebaskan, Sa’ad menulis kepada Umar mengenai nasib para petani itu. Di antara mereka ada yang lari, tetapi ada juga yang tinggal. Mereka yang sudah melarikan diri sekitar 130.000 orang dari sekitar 30.000 kepala keluarga. ( )
Dalam jawabannya Umar mengatakan: "Biarkan para petani seperti dalam keadaan mereka, kecuali yang ikut memerangi atau menyeberang kepada musuh. Perlakukan mereka seperti terhadap petani-petani lain sebelum itu. Kalau saya sudah menulis kepada Anda mengenai suatu masyarakat teruskanlah begitu. Adapun yang di luar para petani cara mengatur rampasan perangnya — yakni pembebasannya — terserah kepada kalian. Barang siapa dari yang ikut berperang meninggalkan tanahnya, maka itu untuk kalian. Kalau kalian ajak mereka dan kalian menerima jizyah dan kalian kembalikan kepada mereka sebelum pembagian, biarkanlah begitu, dan yang tidak kalian panggil, maka rampasan perang yang sudah ditentukan Allah itu untuk kalian."
Semua perintah Umar itu oleh Sa’ad dilaksanakan. Para petani dikembalikan ke tempat mereka, dan yang masih berkepala batu dipanggil, dan yang kembali dikenakan kharaj dan mendapat perlindungan.
Segala yang menjadi milik Kisra dan para keluarga Istana serta pejabat-pejabat tinggi dan yang lain bersama mereka tetapi masih keras kepala, disita. Dari harta yang disita ini banyak yang dibagikan kepada penduduk yang berada di antara gunung Persia dengan perbatasan Arab. ( )
Harta yang disita oleh Sa’ad ditahan tak boleh dijual, juga semua kemudahan (fasilitas) untuk kepentingan umum tak boleh dijual, seperti benteng, saluran air, segala sarana-sarana penghubung dan yang berhubungan dengan rumah-rumah ibadah kaum Majusi.
Akibat pelaksanaan kebijakan ini maka semua tanah tetap di tangan kaum petani dan mereka dianggap kaum zimmi, baik yang tinggal di tanahnya selama masa perang atau yang lari karena ketakutan kemudian kembali lagi sesudah perang.
Tanah yang sudah dikuasai dikembalikan kepada petani atau yang bukan petani yang ikut berperang, kemudian mereka dipanggil oleh Sa’ad dan dianggap kaum zimmi yang tanahnya belum dibagikan kepada pasukan Muslimin.
Al-Balazuri menyebutkan bahwa Utbah bin Gazwan menyerbu Ubullah dalam tahun ke- 14 Hijri, yang sesudah dibebaskan ia menulis kepada Khalifah Umar: "Untuk pasukan Muslimin perlu ada tempat tinggal untuk musim dingin, dan dapat menempatinya usai perang."
Dalam jawabannya Khalifah berkata: "Kalau sahabat-sahabat Anda setuju di satu tempat, tetapi dekat dengan mata air dan tempat penggembalaan, laporkanlah kepada saya suasananya."
Umar cukup puas dengan letak Basrah itu ketika Utbah melukiskannya. Orang berdatangan ke tempat itu dan membangun tempat-tempat tinggal dari buluh. Utbah membangun sebuah masjid juga dari batang buluh. Kalau pasukan itu berperang mereka mencabuti bambu-bambu itu lalu diikat. Bilamana kelak kembali dari medan perang mereka bangun kembali. ( )
Karena kebakaran yang dulu pemah melalap Kufah, Umar mengizinkan penduduk Basrah membangun dari batu bata seperti yang kemudian dilakukan oleh pihak Kufah. Kota Basrah setelah itu menjadi pelabuhan Irak ke Teluk Persia. Tempat-tempat tinggal di sana dibangun dari batu dan didirikan pula sebuah masjid yang termasuk mesjid paling megah. Pengaruhnya dalam sejarah Islam kemudian sama dengan Kufah dulu.
Muhammad Husain Haekal dalam bukunya berjudul " Umar bin Khattab " memaparkan perlu menampilkan pembangunan dua kota ini, karena Kufah dan Basrah telah mewariskan berbagai aliran atau mazhab dalam sejarah , bahasa, sastra, fikih dan peradaban Islam , yang pengaruhnya masih terasa sampai sekarang. "Dalam hal ini kedua kota itu berlomba, seperti juga halnya dalam mengarahkan roda politik negara secara umum, dan khususnya di Irak. Kedua kota itu pada masa Umar mulai memantapkan kedudukannya masing-masing," tuturnya..
Hal ini wajar saja mengingat Kufah merupakan ibu kota Irak dan Basrah pelabuhannya yang pertama. Penduduk Semenanjung Arab seperti sudah disebutkan di atas memonopoli kedua kota itu; penduduk daerah Yaman dan sekitarnya di selatan memilih Kufah, kalangan Madinah dan penduduk bagian utara ke Basrah. ( )
Perpindahan ini dalam perang dengan Persia kemudian hari baik sekali pengaruhnya.
Sesudah kedua kota itu dibangun sumber penghasilan mana yang menjadi tumpuan hidup mereka. Sudah lama seluruh Irak dalam keadaan tenang sebelum angkatan bersenjata Muslimin harus berperang lagi menghadapi Yazdigird dan pasukannya di Persia, dan berhasil memperoleh rampasan perang.
Melindungi Petani
Orang-orang Arab tidak biasa bertani dalam arti menggantungkan pekerjaannya pada tanah pertanian Irak. Adakah mereka lalu memeras jerih payah para petani itu seperti yang dilakukan dulu oleh para pejabat Persia?
Haekal mengatakan jawaban atas pertanyaan ini akan terasa mengganggu sehubungan dengan soal Kufah dan Basrah serta penduduknya yang menggantungkan hidupnya kepada kedua kota itu. Sama halnya dengan angkatan bersenjata Muslimin di Mada'in , Jalula , Tikrit, Mosul dan tempat-tempat lain di seluruh Irak, yang juga menggantungkan hidupnya ke daerah-daerah itu.
Umar menjalankan kebijakan politiknya seperti yang sudah dijalankan oleh Abu Bakar sebelumnya. Dipesankannya kepada para perwira dan anggota-anggota pasukannya untuk tidak mengganggu para petani, dan supaya berlaku adil terhadap semua penduduk- sehingga mereka merasabenar-benar aman di bawah pemerintahan Muslimin, kharaj atau jizyah yang diberlakukan oleh pejabat Muslim tidak boleh memberatkan.
Sesudah Jalula dibebaskan, Sa’ad menulis kepada Umar mengenai nasib para petani itu. Di antara mereka ada yang lari, tetapi ada juga yang tinggal. Mereka yang sudah melarikan diri sekitar 130.000 orang dari sekitar 30.000 kepala keluarga. ( )
Dalam jawabannya Umar mengatakan: "Biarkan para petani seperti dalam keadaan mereka, kecuali yang ikut memerangi atau menyeberang kepada musuh. Perlakukan mereka seperti terhadap petani-petani lain sebelum itu. Kalau saya sudah menulis kepada Anda mengenai suatu masyarakat teruskanlah begitu. Adapun yang di luar para petani cara mengatur rampasan perangnya — yakni pembebasannya — terserah kepada kalian. Barang siapa dari yang ikut berperang meninggalkan tanahnya, maka itu untuk kalian. Kalau kalian ajak mereka dan kalian menerima jizyah dan kalian kembalikan kepada mereka sebelum pembagian, biarkanlah begitu, dan yang tidak kalian panggil, maka rampasan perang yang sudah ditentukan Allah itu untuk kalian."
Semua perintah Umar itu oleh Sa’ad dilaksanakan. Para petani dikembalikan ke tempat mereka, dan yang masih berkepala batu dipanggil, dan yang kembali dikenakan kharaj dan mendapat perlindungan.
Segala yang menjadi milik Kisra dan para keluarga Istana serta pejabat-pejabat tinggi dan yang lain bersama mereka tetapi masih keras kepala, disita. Dari harta yang disita ini banyak yang dibagikan kepada penduduk yang berada di antara gunung Persia dengan perbatasan Arab. ( )
Harta yang disita oleh Sa’ad ditahan tak boleh dijual, juga semua kemudahan (fasilitas) untuk kepentingan umum tak boleh dijual, seperti benteng, saluran air, segala sarana-sarana penghubung dan yang berhubungan dengan rumah-rumah ibadah kaum Majusi.
Akibat pelaksanaan kebijakan ini maka semua tanah tetap di tangan kaum petani dan mereka dianggap kaum zimmi, baik yang tinggal di tanahnya selama masa perang atau yang lari karena ketakutan kemudian kembali lagi sesudah perang.
Tanah yang sudah dikuasai dikembalikan kepada petani atau yang bukan petani yang ikut berperang, kemudian mereka dipanggil oleh Sa’ad dan dianggap kaum zimmi yang tanahnya belum dibagikan kepada pasukan Muslimin.