Kisah Rasulullah SAW Bersama 10.000 Pasukan Bebaskan Mekkah di Bulan Ramadhan
Sabtu, 02 April 2022 - 20:41 WIB
Pembebasan Mekkah (Fathu Makkah) merupakan peristiwa yang terjadi pada tahun 630 tepatnya pada tanggal 10 Ramadhan 8 H. Nabi Rasulullah SAW beserta 10.000 pasukan bergerak dari Madinah menuju Mekkah, dan kemudian menguasai Tanah Suci itu secara keseluruhan tanpa pertumpahan darah sedikitpun.
Muhammad Husain Haikal dalam "Sejarah Hidup Muhammad" menceritakan Pasukan ini bergerak dalam suatu jumlah yang belum pernah dialami oleh kota Madinah . Mereka terdiri dan kabilah-kabilah Sulaim, Muzaina, Ghatafan dan yang lain, yang telah menggabungkan diri, baik kepada Muhajirin atau pun kepada Anshar . Mereka berangkat bersama-sama dengan mengenakan pakaian besi. Mereka melingkar ke tengah-tengah padang sahara yang membentang luas itu, sehingga apabila kemah-kemah mereka sudah dikembangkan, tertutup belaka oleh debu pasir sahara itu; sehingga karenanya orang takkan dapat melihatnya.
Mereka yang terdiri dari ribuan orang itu telah mengadakan gerak cepat. Setiap mereka melangkah maju, kabilah-kabilah lain ikut menggabungkan diri, yang berarti menambah jumlah dan menambah kekuatan pula. Semua mereka berangkat dengan kalbu yang penuh iman, bahwa dengan pertolongan Allah mereka akan mendapat kemenangan.
Perjalanan ini dipimpin oleh Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam (SAW) dengan pikiran dan perhatian tertuju hanya hendak memasuki Rumah Suci tanpa akan mengalirkan darah setetes sekalipun.
Bila pasukan ini sudah sampai di Marr'z-Zahran dan jumlah anggota pasukan sudah mencapai sepuluh ribu orang, pihak Quraisy belum juga mendapat berita. Mereka masih dalam silang-sengketa, bagaimana caranya akan menangkis serangan dari Rasulullah.
Oleh Abbas bin 'Abd'l-Muttalib, paman Nabi, ditinggalkannya mereka itu dalam perdebatan dan dia sendiri sekeluarga berangkat menemui Rasulullah di Juhfa. Boleh jadi sudah ada orang-orang dari Banu Hasyim yang sudah menerima berita atau semacam berita tentang kebenaran Nabi. Lalu mereka bermaksud menggabungkan diri tanpa akan mendapat sesuatu gangguan.
Di samping Abbas, yang juga berangkat menyongsong ialah Abu Sufyan bin'l-Harith bin 'Abd'l-Muttalib, sepupu Nabi, Abdullah bin Abi Umayya bin'l-Mughira, anak bibinya. Mereka menggabungkan diri dengan pasukan Muslimin di Niq'l-'Uqabin. Mereka berdua minta izin akan menemui Nabi, tapi Nabi menolak.
Keterangan ini disampaikan kepada Abu Sufyan, dan dia berkata: "Demi Allah, bagiku hanyalah aku ingin diizinkan bertemu, atau, dengan bantuan anakku ini, kami akan pergi ke mana saja, sampai kami mati kehausan dan kelaparan."
Nabi merasa kasihan kepada mereka. Kemudian mereka pun diizinkan masuk menemuinya, dan mereka menyatakan masuk Islam.
Menyaksikan pasukan Muslimin serta kekuatannya yang demikian rupa, Abbas bin 'Abd'l-Muttalib sekarang merasa cemas dan terkejut sekali. Sekalipun ia sudah masuk Islam, namun hatinya selalu kuatir akan bencana yang akan menimpa Makkah jika kekuatan pasukan yang belum pernah ada bandingannya di seluruh jazirah Arab itu kelak menyerbu ke dalam kota. Bukankah baru saja ia meninggalkan Makkah, meninggalkan keluarga dan handai-tolan, yang belum lagi terputus pertalian mereka karena Islam yang baru dianutnya itu?
Boleh jadi ia menyatakan rasa kekuatirannya itu kepada Rasul, dan ia bertanya apa yang akan diperbuatnya kalau pihak Quraisy minta damai. Atau boleh jadi juga sepupunya ini yang dengan senang hati membuka pembicaraan dengan Abbas dalam hal ini, dan diharapkannya ia menjadi seorang utusan yang akan memberi kesan yang menakutkan kepada sekelompok orang di kalangan Quraisy itu, sehingga kelak dapat memasuki Makkah tanpa sesuatu pertumpahan darah.
Dengan duduk di atas seekor bagal putih kepunyaan Nabi, Abbas berangkat pergi ke daerah Arak, dengan harapan kalau-kalau ia akan berjumpa dengan orang mencari kayu, atau tukang susu atau dengan manusia siapa saja yang sedang pergi ke Makkah. Ia akan menitipkan pesan kepada penduduk kota itu tentang kekuatan pasukan Muslimin yang sebenarnya supaya mereka kelak menemui Rasulullah dan minta damai sebelum pasukan ini memasuki kota dengan kekerasan.
Sejak pihak Muslimin berlabuh di Marr'z-Zahran, pihak Quraisy sudah mulai merasakan adanya bahaya yang sedang mendekati mereka. Maka diutusnya Abu Sufyan bin Harb, Budail bin Warqa' dan Hakim bin Hizam - masih kerabat Khadijah - mencari-cari berita sampai seberapa jauh bahaya yang mungkin mengancam mereka itu.
Sementara Abbas sedang di atas bagal Nabi yang putih itu, tiba-tiba ia mendengar ada percakapan antara Abu Sufyan bin Harb dengan Budail bin Warqa' sebagai berikut:
Abu Sufyan: "Aku belum pernah melihat api unggun dan pasukan tentara seperti yang kita lihat malam ini."
Budail: "Tentu itu api unggun Khuza'a yang sudah dirangsang perang."
Abbas sudah mengenal suara Abu Sufyan itu, lalu dipanggilnya dengan nama julukannya: "Abu Hanzala!"
Muhammad Husain Haikal dalam "Sejarah Hidup Muhammad" menceritakan Pasukan ini bergerak dalam suatu jumlah yang belum pernah dialami oleh kota Madinah . Mereka terdiri dan kabilah-kabilah Sulaim, Muzaina, Ghatafan dan yang lain, yang telah menggabungkan diri, baik kepada Muhajirin atau pun kepada Anshar . Mereka berangkat bersama-sama dengan mengenakan pakaian besi. Mereka melingkar ke tengah-tengah padang sahara yang membentang luas itu, sehingga apabila kemah-kemah mereka sudah dikembangkan, tertutup belaka oleh debu pasir sahara itu; sehingga karenanya orang takkan dapat melihatnya.
Mereka yang terdiri dari ribuan orang itu telah mengadakan gerak cepat. Setiap mereka melangkah maju, kabilah-kabilah lain ikut menggabungkan diri, yang berarti menambah jumlah dan menambah kekuatan pula. Semua mereka berangkat dengan kalbu yang penuh iman, bahwa dengan pertolongan Allah mereka akan mendapat kemenangan.
Perjalanan ini dipimpin oleh Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam (SAW) dengan pikiran dan perhatian tertuju hanya hendak memasuki Rumah Suci tanpa akan mengalirkan darah setetes sekalipun.
Bila pasukan ini sudah sampai di Marr'z-Zahran dan jumlah anggota pasukan sudah mencapai sepuluh ribu orang, pihak Quraisy belum juga mendapat berita. Mereka masih dalam silang-sengketa, bagaimana caranya akan menangkis serangan dari Rasulullah.
Oleh Abbas bin 'Abd'l-Muttalib, paman Nabi, ditinggalkannya mereka itu dalam perdebatan dan dia sendiri sekeluarga berangkat menemui Rasulullah di Juhfa. Boleh jadi sudah ada orang-orang dari Banu Hasyim yang sudah menerima berita atau semacam berita tentang kebenaran Nabi. Lalu mereka bermaksud menggabungkan diri tanpa akan mendapat sesuatu gangguan.
Di samping Abbas, yang juga berangkat menyongsong ialah Abu Sufyan bin'l-Harith bin 'Abd'l-Muttalib, sepupu Nabi, Abdullah bin Abi Umayya bin'l-Mughira, anak bibinya. Mereka menggabungkan diri dengan pasukan Muslimin di Niq'l-'Uqabin. Mereka berdua minta izin akan menemui Nabi, tapi Nabi menolak.
Keterangan ini disampaikan kepada Abu Sufyan, dan dia berkata: "Demi Allah, bagiku hanyalah aku ingin diizinkan bertemu, atau, dengan bantuan anakku ini, kami akan pergi ke mana saja, sampai kami mati kehausan dan kelaparan."
Nabi merasa kasihan kepada mereka. Kemudian mereka pun diizinkan masuk menemuinya, dan mereka menyatakan masuk Islam.
Menyaksikan pasukan Muslimin serta kekuatannya yang demikian rupa, Abbas bin 'Abd'l-Muttalib sekarang merasa cemas dan terkejut sekali. Sekalipun ia sudah masuk Islam, namun hatinya selalu kuatir akan bencana yang akan menimpa Makkah jika kekuatan pasukan yang belum pernah ada bandingannya di seluruh jazirah Arab itu kelak menyerbu ke dalam kota. Bukankah baru saja ia meninggalkan Makkah, meninggalkan keluarga dan handai-tolan, yang belum lagi terputus pertalian mereka karena Islam yang baru dianutnya itu?
Boleh jadi ia menyatakan rasa kekuatirannya itu kepada Rasul, dan ia bertanya apa yang akan diperbuatnya kalau pihak Quraisy minta damai. Atau boleh jadi juga sepupunya ini yang dengan senang hati membuka pembicaraan dengan Abbas dalam hal ini, dan diharapkannya ia menjadi seorang utusan yang akan memberi kesan yang menakutkan kepada sekelompok orang di kalangan Quraisy itu, sehingga kelak dapat memasuki Makkah tanpa sesuatu pertumpahan darah.
Dengan duduk di atas seekor bagal putih kepunyaan Nabi, Abbas berangkat pergi ke daerah Arak, dengan harapan kalau-kalau ia akan berjumpa dengan orang mencari kayu, atau tukang susu atau dengan manusia siapa saja yang sedang pergi ke Makkah. Ia akan menitipkan pesan kepada penduduk kota itu tentang kekuatan pasukan Muslimin yang sebenarnya supaya mereka kelak menemui Rasulullah dan minta damai sebelum pasukan ini memasuki kota dengan kekerasan.
Sejak pihak Muslimin berlabuh di Marr'z-Zahran, pihak Quraisy sudah mulai merasakan adanya bahaya yang sedang mendekati mereka. Maka diutusnya Abu Sufyan bin Harb, Budail bin Warqa' dan Hakim bin Hizam - masih kerabat Khadijah - mencari-cari berita sampai seberapa jauh bahaya yang mungkin mengancam mereka itu.
Sementara Abbas sedang di atas bagal Nabi yang putih itu, tiba-tiba ia mendengar ada percakapan antara Abu Sufyan bin Harb dengan Budail bin Warqa' sebagai berikut:
Abu Sufyan: "Aku belum pernah melihat api unggun dan pasukan tentara seperti yang kita lihat malam ini."
Budail: "Tentu itu api unggun Khuza'a yang sudah dirangsang perang."
Abbas sudah mengenal suara Abu Sufyan itu, lalu dipanggilnya dengan nama julukannya: "Abu Hanzala!"