Rumah Tangga Miskin Pasangan Ali Bin Abi Thalib dan Sayyidah Fatimah
Jum'at, 13 November 2020 - 10:38 WIB
-sehelai 'aba-ah (semacam jubah);
-dan sebuah kantong kulit tempat menyimpan air.
Sejalan dengan itu Ali bin Abi Thalib mempersiapkan tempat kediamannya dengan perkakas yang sederhana dan mudah didapat. Lantai rumahnya ditaburi pasir halus. Dari dinding ke dinding lain dipancangkan sebatang kayu untuk menggantungkan pakaian. Untuk duduk-duduk disediakan beberapa lembar kulit kambing dan sebuah bantal kulit berisi ijuk kurma. (
)
Itulah rumah kediaman Ali yang disiapkan guna menanti kedatangan isterinya, Sayyidah Fatimah Azzahra RA.
Selama satu bulan sesudah pernikahan, Siti Fatimah masih tetap di rumahnya yang lama.
Ali merasa malu untuk menyatakan keinginan kepada Rasulullah SAW supaya puterinya itu diperkenankan pindah ke rumah baru. Dengan ditemani oleh salah seorang kerabatnya dari Bani Hasyim, Ali menghadap Rasulullah. Lebih dulu mereka menemui Ummu Aiman, pembantu keluarga Nabi Muhammad SAW.
Kepada Ummu Aiman, Ali menyampaikan keinginannya. Setelah itu, Ummu Aiman menemui Ummu Salmah guna menyampaikan apa yang menjadi keinginan Ali. Sesudah Ummu Salmah r.a. mendengar persoalan tersebut, ia terus pergi mendatangi isteri-isteri Nabi yang lain.
Guna membicarakan persoalan yang dibawa Ummu Salmah, para isteri Nabi Muhammad SAW berkumpul. Kemudian mereka bersama-sama menghadap Rasulullah. Ternyata beliau menyambut gembira keinginan Ali. ( )
Serasi
Siti Fatimah dengan perasaan bahagia pindah ke rumah suaminya yang sangat sederhana itu. Selama ini ia telah menerima pelajaran cukup dari ayahandanya tentang apa artinya kehidupan ini.
Rasulullah telah mendidiknya, bahwa kemanusiaan itu adalah intisari kehidupan yang paling berharga. Ia juga telah diajar bahwa kebahagiaan rumah-tangga yang ditegakkan di atas fondasi akhlaq utama dan nilai-nilai Islam, jauh lebih agung dan lebih mulia dibanding dengan perkakas-perkakas rumah yang serba megah dan mewah.
Sayidina Ali bersama isterinya hidup dengan rasa penuh kebanggaan dan kebahagiaan. Dua-duanya selalu riang dan tak pernah mengalami ketegangan.
Siti Fatimah r.a. menyadari, bahwa dirinya tidak hanya sebagai puteri kesayangan Rasulullah SAW, tetapi juga isteri seorang pahlawan Islam, yang senantiasa sanggup berkorban, seorang pemegang panji-panji perjuangan Islam yang murni dan agung.
Siti Fatimah berpendirian, dirinya harus dapat menjadi teladan. Terhadap suami ia berusaha bersikap seperti sikap ibunya (Siti Khadijah RA) terhadap ayahandanya, Nabi Muhammad SAW. ( )
Dua sejoli suami isteri yang mulia dan bahagia itu selalu bekerja sama dan saling bantu dalam mengurus keperluan-keperluan rumah tangga. Mereka sibuk dengan kerja keras. Sitti Fatimah r.a. menepung gandum dan memutar gilingan dengan tangan sendiri. Ia membuat roti, menyapu lantai dan mencuci. Hampir tak ada pekerjaan rumah-tangga yang tidak ditangani dengan tenaga sendiri.
Rasulullah sendiri sering menyaksikan puterinya sedang bekerja bercucuran keringat. Tidak jarang Ali ikut menyingsingkan lengan baju membantu pekerjaan sang istri.
Banyak sekali buku-buku sejarah dan riwayat yang melukiskan betapa beratnya kehidupan rumah-tangga Alibin Abi Thalib. Sebuah riwayat mengemukakan: Pada suatu hari Rasulullah berkunjung ke tempat kediaman Siti Fatimah r.a. Waktu itu puteri beliau sedang menggiling tepung sambil melinangkan air mata. Baju yang dikenakannya kain kasar. Menyaksikan puterinya menangis, Rasulullah ikut melinangkan air mata. Tak lama kemudian beliau menghibur puterinya: "Fatimah, terimalah kepahitan dunia untuk memperoleh kenikmatan di akhirat kelak."
Riwayat lain mengatakan, bahwa pada suatu hari Rasulullah SAW datang menjenguk Siti Fatimah r.a., tepat: pada saat ia bersama suaminya sedang bekerja menggiling tepung. Beliau terus bertanya: "Siapakah di antara kalian berdua yang akan kugantikan?"
"Fatimah! " jawab Ali r.a. Siti Fatimah lalu berhenti diganti oleh ayahandanya menggiling tepung bersama Ali.
Masih banyak catatan sejarah yang melukiskan betapa beratnya penghidupan dan kehidupan rumah-tangga Ali Semuanya itu hanya menggambarkan betapa besarnya kesanggupan Siti Fatimah dalam menunaikan tugas hidupnya yang penuh bakti kepada suami, takwa kepada Allah dan setia kepada Rasul-Nya. ( )
-dan sebuah kantong kulit tempat menyimpan air.
Sejalan dengan itu Ali bin Abi Thalib mempersiapkan tempat kediamannya dengan perkakas yang sederhana dan mudah didapat. Lantai rumahnya ditaburi pasir halus. Dari dinding ke dinding lain dipancangkan sebatang kayu untuk menggantungkan pakaian. Untuk duduk-duduk disediakan beberapa lembar kulit kambing dan sebuah bantal kulit berisi ijuk kurma. (
Baca Juga
Itulah rumah kediaman Ali yang disiapkan guna menanti kedatangan isterinya, Sayyidah Fatimah Azzahra RA.
Selama satu bulan sesudah pernikahan, Siti Fatimah masih tetap di rumahnya yang lama.
Ali merasa malu untuk menyatakan keinginan kepada Rasulullah SAW supaya puterinya itu diperkenankan pindah ke rumah baru. Dengan ditemani oleh salah seorang kerabatnya dari Bani Hasyim, Ali menghadap Rasulullah. Lebih dulu mereka menemui Ummu Aiman, pembantu keluarga Nabi Muhammad SAW.
Kepada Ummu Aiman, Ali menyampaikan keinginannya. Setelah itu, Ummu Aiman menemui Ummu Salmah guna menyampaikan apa yang menjadi keinginan Ali. Sesudah Ummu Salmah r.a. mendengar persoalan tersebut, ia terus pergi mendatangi isteri-isteri Nabi yang lain.
Guna membicarakan persoalan yang dibawa Ummu Salmah, para isteri Nabi Muhammad SAW berkumpul. Kemudian mereka bersama-sama menghadap Rasulullah. Ternyata beliau menyambut gembira keinginan Ali. ( )
Serasi
Siti Fatimah dengan perasaan bahagia pindah ke rumah suaminya yang sangat sederhana itu. Selama ini ia telah menerima pelajaran cukup dari ayahandanya tentang apa artinya kehidupan ini.
Rasulullah telah mendidiknya, bahwa kemanusiaan itu adalah intisari kehidupan yang paling berharga. Ia juga telah diajar bahwa kebahagiaan rumah-tangga yang ditegakkan di atas fondasi akhlaq utama dan nilai-nilai Islam, jauh lebih agung dan lebih mulia dibanding dengan perkakas-perkakas rumah yang serba megah dan mewah.
Sayidina Ali bersama isterinya hidup dengan rasa penuh kebanggaan dan kebahagiaan. Dua-duanya selalu riang dan tak pernah mengalami ketegangan.
Siti Fatimah r.a. menyadari, bahwa dirinya tidak hanya sebagai puteri kesayangan Rasulullah SAW, tetapi juga isteri seorang pahlawan Islam, yang senantiasa sanggup berkorban, seorang pemegang panji-panji perjuangan Islam yang murni dan agung.
Siti Fatimah berpendirian, dirinya harus dapat menjadi teladan. Terhadap suami ia berusaha bersikap seperti sikap ibunya (Siti Khadijah RA) terhadap ayahandanya, Nabi Muhammad SAW. ( )
Dua sejoli suami isteri yang mulia dan bahagia itu selalu bekerja sama dan saling bantu dalam mengurus keperluan-keperluan rumah tangga. Mereka sibuk dengan kerja keras. Sitti Fatimah r.a. menepung gandum dan memutar gilingan dengan tangan sendiri. Ia membuat roti, menyapu lantai dan mencuci. Hampir tak ada pekerjaan rumah-tangga yang tidak ditangani dengan tenaga sendiri.
Rasulullah sendiri sering menyaksikan puterinya sedang bekerja bercucuran keringat. Tidak jarang Ali ikut menyingsingkan lengan baju membantu pekerjaan sang istri.
Banyak sekali buku-buku sejarah dan riwayat yang melukiskan betapa beratnya kehidupan rumah-tangga Alibin Abi Thalib. Sebuah riwayat mengemukakan: Pada suatu hari Rasulullah berkunjung ke tempat kediaman Siti Fatimah r.a. Waktu itu puteri beliau sedang menggiling tepung sambil melinangkan air mata. Baju yang dikenakannya kain kasar. Menyaksikan puterinya menangis, Rasulullah ikut melinangkan air mata. Tak lama kemudian beliau menghibur puterinya: "Fatimah, terimalah kepahitan dunia untuk memperoleh kenikmatan di akhirat kelak."
Riwayat lain mengatakan, bahwa pada suatu hari Rasulullah SAW datang menjenguk Siti Fatimah r.a., tepat: pada saat ia bersama suaminya sedang bekerja menggiling tepung. Beliau terus bertanya: "Siapakah di antara kalian berdua yang akan kugantikan?"
"Fatimah! " jawab Ali r.a. Siti Fatimah lalu berhenti diganti oleh ayahandanya menggiling tepung bersama Ali.
Masih banyak catatan sejarah yang melukiskan betapa beratnya penghidupan dan kehidupan rumah-tangga Ali Semuanya itu hanya menggambarkan betapa besarnya kesanggupan Siti Fatimah dalam menunaikan tugas hidupnya yang penuh bakti kepada suami, takwa kepada Allah dan setia kepada Rasul-Nya. ( )