Berikut Penyimpangan Kaum Sufi Menurut Al-Imam Ibnul Qayyim Al-Jauzi
Sabtu, 05 Desember 2020 - 05:00 WIB
SYAIKH Yusuf Al-Qardhawi dalam kitabnya berjudul " Fatwa Qardhawi, Permasalahan, Pemecahan dan Hikmah " menulis, secara obyektif bahwa tasawuf itu dapat dikatakan sebagai berikut:
"Tasawuf ada dalam Islam dan mempunyai dasar yang mendalam. Tidak dapat diingkari dan disembunyikan, dapat dilihat dan dibaca dalam Al-Qur'an , Sunnah Rasul SAW dan para sahabatnya yang mempunyai sifat-sifat zuhud (tidak mau atau menjauhi hubudunya), tidak suka hidup mewah, sebagaimana sikap Khalifah Umar bin Khattab r.a , Ali bin Abi Thalib r.a, Abu Darda', Salman Al-Farisi , Abu Dzar r.a . dan lainnya."
Menurutnya, banyak ayat Al-Qur'an yang menganjurkan agar mawas diri dari godaan yang berupa kesenangan atau fitnah dunia. "Tetapi hendaknya selalu bergerak menuju ke jalan yang diridhai oleh Allah SWT dan berlomba-lomba memohon ampunan Allah SWT, surga-Nya dan takutlah akan azab neraka," tuturnya.
Dalam Al-Qur'an dan hadis Nabi SAW juga telah diterangkan mengenai cinta Allah kepada hamba-hamba-Nya dan cinta hambaNya kepada Allah. Sebagaimana disebutkan dalam ayat Al-Qur'an:
"Adapun orang-orang yang beriman cintanya sangat besar kepada Allah ..." (QS Al-Baqarah: 165).
"... Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya ..." (QS Al-Maidah: 54).
"Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berjihad di jalan Allah dalam barisan yang teratur (tidak tercerai-berai) ..." (QS Ash-Shaff: 4).
Diterangkan pula dalam Al-Qur'an dan hadis mengenai masalah zuhud, tawakal, tobat, syukur, sabar, yakin, takwa, muraqabah (mawas diri), dan lain-lainnya dari maqam-maqam yang suci dalam agama.
Tidak ada golongan lain yang memberi perhatian penuh dalam menafsirkan, membahas dengan teliti dan terinci, serta membagi segi-segi utamanya maqam ini selain para sufi.
Merekalah yang paling mahir dan mengetahui akan penyakit jiwa, sifat-sifatnya dan kekurangan yang ada pada manusia, mereka ini ahli dalam ilmu pendidikan yang dinamakan Suluk.
Tetapi, tasawuf tidak berhenti hingga di sini saja dalam peranannya di masa permulaan, yaitu adanya kemauan dalam melaksanakan akhlak yang luhur dan hakikat dari ibadat yang murni semata untuk Allah SWT.
Sebagaimana dikatakan oleh Al-Imam Ibnul Qayyim Al-Jauzi, yaitu: "Ilmu tasawuf itu, kemudian akan meningkat ke bidang makrifat perkenalan, setelah itu ke arah khasab ungkapan dan karunia Allah. Hal ini diperoleh melalui pembersihan hati nurani.
Akhirnya, dengan ditingkatkannya hal-hal ini, timbullah penyimpangan, tanpa dirasakan oleh sebagian ahli sufi."
Di antara yang tampak dari penyimpangan sebagian orang-orang sufi adalah sebagai berikut:
1. Dijadikannya wijid (perasaan) dan ilham sebagai ukuran untuk dasar pengetahuan dan lain-lain; juga dapat dijadikan ukuran untuk membedakan antara yang benar dan salah.. Sehingga sebagian ada yang berkata, "Aku diberi tahu oleh hati dari Tuhanku (Allah)."
Berbeda dengan ungkapan dari ahli sunnah bahwa apabila mereka meriwayatkan ini dari si Fulan, si Fulan sampai kepada Rasulullah SAW.
2. Dibedakannya antara syariat dan hakikat, antara hukum Islam dan yang bebas dari hukumnya.
3. Dikuasai oleh paham Jabariah dan Salabiah, sehingga dapat mempengaruhi iman dan akidah mereka, dimana manusia mutlak dikendalikannya. Maka tidak perlu lagi melawan dan selalu bersikap pasif, tidak aktif.
Tidak dihargainya dunia dan perkembangannya. Apa yang ada di dunia dianggapnya sepele, padahal ayat Al-Qur,an telah menyatakan:
"... dan janganlah kamu melupakan akan nasibmu(kebahagiaanmu) dari (kenikmatan) dunia ..." (QS Al-Qashash: 77).
Pikiran dan teori di atas telah tersebar dan dipraktikkan di mana-mana, dengan dasar dan paham bahwa hal ini bagian dari Islam, ditetapkan oleh Islam, dan ada sebagian, terutama dari golongan intelektual, keduanya belum mengerti benar akan hal itu karena tidak mempelajarinya.
Sekali lagi kita tandaskan, bahwa orang sufi dahulu, selalu menyuruh jangan sampai menyimpang dari garis syariat dan hukum-hukumnya. (bersambung)
"Tasawuf ada dalam Islam dan mempunyai dasar yang mendalam. Tidak dapat diingkari dan disembunyikan, dapat dilihat dan dibaca dalam Al-Qur'an , Sunnah Rasul SAW dan para sahabatnya yang mempunyai sifat-sifat zuhud (tidak mau atau menjauhi hubudunya), tidak suka hidup mewah, sebagaimana sikap Khalifah Umar bin Khattab r.a , Ali bin Abi Thalib r.a, Abu Darda', Salman Al-Farisi , Abu Dzar r.a . dan lainnya."
Menurutnya, banyak ayat Al-Qur'an yang menganjurkan agar mawas diri dari godaan yang berupa kesenangan atau fitnah dunia. "Tetapi hendaknya selalu bergerak menuju ke jalan yang diridhai oleh Allah SWT dan berlomba-lomba memohon ampunan Allah SWT, surga-Nya dan takutlah akan azab neraka," tuturnya.
Dalam Al-Qur'an dan hadis Nabi SAW juga telah diterangkan mengenai cinta Allah kepada hamba-hamba-Nya dan cinta hambaNya kepada Allah. Sebagaimana disebutkan dalam ayat Al-Qur'an:
"Adapun orang-orang yang beriman cintanya sangat besar kepada Allah ..." (QS Al-Baqarah: 165).
"... Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya ..." (QS Al-Maidah: 54).
"Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berjihad di jalan Allah dalam barisan yang teratur (tidak tercerai-berai) ..." (QS Ash-Shaff: 4).
Diterangkan pula dalam Al-Qur'an dan hadis mengenai masalah zuhud, tawakal, tobat, syukur, sabar, yakin, takwa, muraqabah (mawas diri), dan lain-lainnya dari maqam-maqam yang suci dalam agama.
Tidak ada golongan lain yang memberi perhatian penuh dalam menafsirkan, membahas dengan teliti dan terinci, serta membagi segi-segi utamanya maqam ini selain para sufi.
Merekalah yang paling mahir dan mengetahui akan penyakit jiwa, sifat-sifatnya dan kekurangan yang ada pada manusia, mereka ini ahli dalam ilmu pendidikan yang dinamakan Suluk.
Tetapi, tasawuf tidak berhenti hingga di sini saja dalam peranannya di masa permulaan, yaitu adanya kemauan dalam melaksanakan akhlak yang luhur dan hakikat dari ibadat yang murni semata untuk Allah SWT.
Sebagaimana dikatakan oleh Al-Imam Ibnul Qayyim Al-Jauzi, yaitu: "Ilmu tasawuf itu, kemudian akan meningkat ke bidang makrifat perkenalan, setelah itu ke arah khasab ungkapan dan karunia Allah. Hal ini diperoleh melalui pembersihan hati nurani.
Akhirnya, dengan ditingkatkannya hal-hal ini, timbullah penyimpangan, tanpa dirasakan oleh sebagian ahli sufi."
Di antara yang tampak dari penyimpangan sebagian orang-orang sufi adalah sebagai berikut:
1. Dijadikannya wijid (perasaan) dan ilham sebagai ukuran untuk dasar pengetahuan dan lain-lain; juga dapat dijadikan ukuran untuk membedakan antara yang benar dan salah.. Sehingga sebagian ada yang berkata, "Aku diberi tahu oleh hati dari Tuhanku (Allah)."
Berbeda dengan ungkapan dari ahli sunnah bahwa apabila mereka meriwayatkan ini dari si Fulan, si Fulan sampai kepada Rasulullah SAW.
2. Dibedakannya antara syariat dan hakikat, antara hukum Islam dan yang bebas dari hukumnya.
3. Dikuasai oleh paham Jabariah dan Salabiah, sehingga dapat mempengaruhi iman dan akidah mereka, dimana manusia mutlak dikendalikannya. Maka tidak perlu lagi melawan dan selalu bersikap pasif, tidak aktif.
Tidak dihargainya dunia dan perkembangannya. Apa yang ada di dunia dianggapnya sepele, padahal ayat Al-Qur,an telah menyatakan:
"... dan janganlah kamu melupakan akan nasibmu(kebahagiaanmu) dari (kenikmatan) dunia ..." (QS Al-Qashash: 77).
Pikiran dan teori di atas telah tersebar dan dipraktikkan di mana-mana, dengan dasar dan paham bahwa hal ini bagian dari Islam, ditetapkan oleh Islam, dan ada sebagian, terutama dari golongan intelektual, keduanya belum mengerti benar akan hal itu karena tidak mempelajarinya.
Sekali lagi kita tandaskan, bahwa orang sufi dahulu, selalu menyuruh jangan sampai menyimpang dari garis syariat dan hukum-hukumnya. (bersambung)
(mhy)