Kisah Sunan Ampel (1): Dari Champa Menuju Majapahit Ajarkan Falsafah Molimo
Sabtu, 12 Desember 2020 - 06:42 WIB
SESUDAH ditinggal Mahapatih Gajah Mada dan Prabu Hayam Wuruk, Kerajaan Majapahit mengalami kemunduran drastis. Perang saudara merobek-robek persatuan, Kerajaan terpecah belah. Para adipati banyak yang tak loyal kepada Prabu Brawijaya Kertabhumi. (
)
Pajak dan upeti kerajaan lebih sering dinikmati oleh para adipati dan tak sampai ke Majapahit. Hal ini membuat sang Prabu bersedih hati. Lebih-lebih lagi dengan adanya kebiasaan buruk kaum bangsawan dan para pangeran yang suka berpesta pora dan main judi serta mabuk-mabukan.
Prabu Brawijaya sadar betul bila kebiasaan semacam itu diteruskan negara akan menjadi lemah dan jika negara sudah kehilangan kekuatan betapa mudahnya bagi musuh untuk menghancurkan Majapahit Raya. ( )
Ratu Dwarawati, istri Prabu Brawijaya, mengetahui kerisauan hati sang suami. Dengan memberanikan diri ia mengajukan pendapat kepada suaminya.
“Kanda Prabu, agaknya para ponggawa dan rakyat Majapahit sudah tidak takut lagi kepada Sang Hyang Widhi. Mereka tidak segan dan tidak merasa malu melakukan tindakan yang tidak terpuji, pesta pora, foya-foya, mabuk dan judi sudah menjadi kebiasaan mereka bahkan para pangeran dan kaum bangsawan sudah mulai ikut-ikutan. Sungguh berbahaya bila hal ini dibiarkan berlarut-larut. Negara bisa rusak karenanya.”
“Ya, hal itulah yang membuatku risau selama ini,” sahut Prabu Brawijaya.
“Lalu apa tindakan Kanda Prabu?”
“Aku masih bingung,” kata sang Prabu. “Sudah kuusahakan menambah bikhu dan brahmana untuk mendidik dan memperingatkan mereka tapi kelakuan mereka masih tetap seperti semula, bahkan guru-guru agama Hindu dan Budha itu dianggap sepele.”
Ratu Dwarawati lalu mengajukan usul. “Saya mempunyai seorang keponakan yang ahli mendidik dalam hal mengatasi kemerosotan budi pekerti,” ujarnya.
“Betulkah ?” tanya sang Prabu.
“Ya, namanya Sayyid Ali Rahmatullah, putra dari kanda Dewi Candrawulan di Negeri Champa. Bila Kanda berkenan saya akan meminta Ramanda Prabu di Cempa untuk mendatangkan Ali Rahmatullah ke Majapahit ini.”
“Tentu saja aku akan merasa senang bila Rama Prabu di Champa bersedia mengirimkan Sayyid Ali Rahmatullah ke Majapahit ini,” sambut Raja Brawijaya.
Maka pada suatu hari diberangkatkanlah utusan dari Majapahit ke negeri Champa untuk meminta Sayyid Ali Rahmatullah datang ke Majapahit.
Kedatangan utusan Majapahit disambut gembira oleh raja Champa, dan raja Champa tidak keberatan melepas cucunya ke Majapahit untuk meluaskan pengalaman.
Menuju Majapahit
H Lawrens Rasyid dalam bukunya berjudul "Kisah dan Ajaran Wali Sanga" menjelaskan keberangkatan Sayyid Ali Rahmat ke Tanah Jawa tidak sendirian. Ia ditemani oleh ayah dan kakaknya. Ayah Sayyid Ali Rahmat adalah Syaikh Maulana Ibrahim Asmarakandi dan kakaknya bernama Sayyid Ali Murtadho.
Diduga mereka tidak langsung ke Majapahit, melainkan mendarat di Tuban. Tetapi di Tuban, tepatnya di desa Gesikharjo, Syekh Maulana Ibrahim Asmarakandi jatuh sakit dan meninggal dunia. Beliau dimakamkan di desa tersebut yang masih termasuk Kecamatan Palang, Kabupaten Tuban.
Sayyid Murtadho kemudian meneruskan perjalanan. Beliau berdakwah keliling ke daerah Nusa Tenggara, Madura dan sampai ke Bima. Di sana beliau mendapat sambutan raja Pandita Bima, dan akhirnya berdakwah di Gresik mendapat sebutan Raden Santri. Beliau wafat dan dimakamkan di Gresik.
Sedangkan Sayyid Ali Rahmatullah meneruskan perjalanan ke Majapahit menghadap Prabu Brawijaya sesuai permintaan Ratu Dwarawati.
Asal-Usul
Pajak dan upeti kerajaan lebih sering dinikmati oleh para adipati dan tak sampai ke Majapahit. Hal ini membuat sang Prabu bersedih hati. Lebih-lebih lagi dengan adanya kebiasaan buruk kaum bangsawan dan para pangeran yang suka berpesta pora dan main judi serta mabuk-mabukan.
Prabu Brawijaya sadar betul bila kebiasaan semacam itu diteruskan negara akan menjadi lemah dan jika negara sudah kehilangan kekuatan betapa mudahnya bagi musuh untuk menghancurkan Majapahit Raya. ( )
Ratu Dwarawati, istri Prabu Brawijaya, mengetahui kerisauan hati sang suami. Dengan memberanikan diri ia mengajukan pendapat kepada suaminya.
“Kanda Prabu, agaknya para ponggawa dan rakyat Majapahit sudah tidak takut lagi kepada Sang Hyang Widhi. Mereka tidak segan dan tidak merasa malu melakukan tindakan yang tidak terpuji, pesta pora, foya-foya, mabuk dan judi sudah menjadi kebiasaan mereka bahkan para pangeran dan kaum bangsawan sudah mulai ikut-ikutan. Sungguh berbahaya bila hal ini dibiarkan berlarut-larut. Negara bisa rusak karenanya.”
“Ya, hal itulah yang membuatku risau selama ini,” sahut Prabu Brawijaya.
“Lalu apa tindakan Kanda Prabu?”
“Aku masih bingung,” kata sang Prabu. “Sudah kuusahakan menambah bikhu dan brahmana untuk mendidik dan memperingatkan mereka tapi kelakuan mereka masih tetap seperti semula, bahkan guru-guru agama Hindu dan Budha itu dianggap sepele.”
Ratu Dwarawati lalu mengajukan usul. “Saya mempunyai seorang keponakan yang ahli mendidik dalam hal mengatasi kemerosotan budi pekerti,” ujarnya.
“Betulkah ?” tanya sang Prabu.
“Ya, namanya Sayyid Ali Rahmatullah, putra dari kanda Dewi Candrawulan di Negeri Champa. Bila Kanda berkenan saya akan meminta Ramanda Prabu di Cempa untuk mendatangkan Ali Rahmatullah ke Majapahit ini.”
“Tentu saja aku akan merasa senang bila Rama Prabu di Champa bersedia mengirimkan Sayyid Ali Rahmatullah ke Majapahit ini,” sambut Raja Brawijaya.
Maka pada suatu hari diberangkatkanlah utusan dari Majapahit ke negeri Champa untuk meminta Sayyid Ali Rahmatullah datang ke Majapahit.
Kedatangan utusan Majapahit disambut gembira oleh raja Champa, dan raja Champa tidak keberatan melepas cucunya ke Majapahit untuk meluaskan pengalaman.
Menuju Majapahit
H Lawrens Rasyid dalam bukunya berjudul "Kisah dan Ajaran Wali Sanga" menjelaskan keberangkatan Sayyid Ali Rahmat ke Tanah Jawa tidak sendirian. Ia ditemani oleh ayah dan kakaknya. Ayah Sayyid Ali Rahmat adalah Syaikh Maulana Ibrahim Asmarakandi dan kakaknya bernama Sayyid Ali Murtadho.
Diduga mereka tidak langsung ke Majapahit, melainkan mendarat di Tuban. Tetapi di Tuban, tepatnya di desa Gesikharjo, Syekh Maulana Ibrahim Asmarakandi jatuh sakit dan meninggal dunia. Beliau dimakamkan di desa tersebut yang masih termasuk Kecamatan Palang, Kabupaten Tuban.
Sayyid Murtadho kemudian meneruskan perjalanan. Beliau berdakwah keliling ke daerah Nusa Tenggara, Madura dan sampai ke Bima. Di sana beliau mendapat sambutan raja Pandita Bima, dan akhirnya berdakwah di Gresik mendapat sebutan Raden Santri. Beliau wafat dan dimakamkan di Gresik.
Sedangkan Sayyid Ali Rahmatullah meneruskan perjalanan ke Majapahit menghadap Prabu Brawijaya sesuai permintaan Ratu Dwarawati.
Asal-Usul