Kisah Sunan Gresik: Ketika Kakek Bantal Menaklukkan Dewa Hujan
Senin, 28 Desember 2020 - 14:05 WIB
SYAIKH Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik dalam mendakwahkan Islam tidak langsung mengajak masyarakat setempat untuk belajar Islam melalui jalur pemenuhan kebutuhan dasar manusia. Bukan langsung di pesantren . (
)
Sekadar mengingatkan, sejak kematian Maha Patih Gajah Mada dan Prabu Hayam Wuruk, kerajaan Majapahit mengalami kemunduran drastis. Berangsur-angsur kerajaan yang dahulu pernah dipersatukan Gajah Mada, mulai memisahkan diri, baik secara terang-terangan maupun dengan sembunyi-sembunyi.
Namun demikian Majapahit masih merupakan kerajaan terbesar di Pulau Jawa. Wibawanya masih terasa kuat di dunia luar, walaupun sesungguhnya dari dalam kerajaan itu sudah sangat keropos.
Dalam buku "Kisah dan Ajaran Wali Sanga" karya H Lawrens Rasyidi diceritakan bahwa perang saudara antara kerabat istana Majapahit tiada henti-hentinya. Rakyat menjadi korban. Kesengsaraan dan bahaya kelaparan melanda di mana-mana. ( )
Kesetiaan para pembesar dan bupati mulai menipis. Banyak upeti kerajaan yang tidak sampai ke tangan raja. Kejahatan melanda di mana-mana, banyak tindak kekerasan, perampokan dan pencurian. Bahkan banyak satuan-satuan tentara kerajaan yang melepaskan diri dan beralih profesi sebagai gerombolan perampok yang menjarah harta benda kaum bangsawan dan rakyat jelata.
Karena tak ada jaminan stabilitas keamanan maka para penduduk merasa tak tenang dalam mengolah lahan pertanian mereka. Akibatnya bahaya kelaparan melanda di mana-mana. Ditambah adanya musim kemarau panjang di beberapa tempat, maka situasi jadi semakin menggenaskan. ( )
Kakek Bantal
Di saat demikian sesekali Sunan Gresik dan beberapa muridnya mengadakan peninjauan langsung ke beberapa daerah. Ingin melihat sendiri keadaan dan nasib penduduk setempat.
Lawrens Rasyidi berkisah tentang Sunan Gresik yang oleh masyarakat awam dikenal sebagai Kakek Bantal. Pada suatu hari Sunan Gresik dan lima orang muridnya sampai di sebuah desa yang teramat gersang. Hampir tak ada pepohonan yang hidup. Tanah-tanah yang terinjak sangat kering, tak ada rerumputan sama sekali.
Mereka terus berjalan hingga tiba di suatu tanah lapang yang cukup luas. Di tengah-tengah tanah lapang itu nampak puluhan penduduk sedang berkerumun. Mengelilingi dua orang pemuda bertubuh kurus sedang berlaga. Dua orang pemuda itu hanya mengenakan celana, tubuh bagian atasnya terbuka. Mereka saling memukulkan sebatang rotan ke punggung masing-masing. Setiap pukulan nampaknya disertai tenaga yang sangat kuat sehingga punggung yang terkena menjadi matang biru bahkan ada beberapa dari melintang yang penuh darah. ( )
Terus menerus kedua pemuda itu saling menghantamkan rotan di tangannya. Hingga kedua punggung anak muda itu penuh luka yang melepuh. Beberapa lelaki yang mengelilinginya menabuh gending untuk memberi semangat. Hingga pada akhirnya kedua pemuda itu roboh ke tanah dalam keadaan pingsan.
Irama gending segera berhenti. Seorang pendeta berpakaian kuning, yang agaknya menjadi ketua adat segera memberi perintah untuk menyeret kedua pemuda itu keluar arena. Kemudian pendeta itu menuding ke arah seorang gadis yang sedang dicekal kedua lengannya oleh dua orang lelaki bertubuh kekar.
Kedua lelaki bertubuh kekar menyeret si gadis ke tengah lingkaran menusia berkerumun. Di tengah-tengah lingkaran itu ada batu altar persembahan.
Gadis itu berusaha berontak, namun tenaganya kalah kuat dibanding ke dua lelaki bertubuh kekar yang mencekal dan menyeretnya dengan paksa.
Si gadis yang sudah diberi pakaian putih segera dibaringkan di atas altar. Empat orang lelaki memegangi kedua tangan dan kakinya yang dipentangkan. Gadis itu meronta-ronta ketakutan. ( )
“Wahai Dewa Hujan! Terimalah persembahan kami! Hentikan kemarau panjang ini. Curahkan limpahan airmu ke bumi yang gersang ini!” Demikian teriak pendeta tua berkali-kali.
Sunan Gresik dan kelima muridnya makin mendekati kerumunan orang itu. Pada saat pendeta tua itu mengangkat belati di atas dada si gadis, Sunan Gresik berteriak: “Berhenti!”
Sunan Gresik menghampiri pendeta dan bertanya: “Untuk apa gadis ini dikorbankan ?” tanyanya.
“Kami mengharap turunnya hujan!” sahut sang Pendeta.
“Mengharap hujan dengan mengorbankan seorang gadis-gadis cantik?” tanya Sunan Gresik.
“Ya, hanya dengan mengorbankan gadis itu kepada Dewa Hujan maka kami akan mendapat air,” sahut sang pendeta.
“Sudah berapa kali acara seperti ini dilakukan?” tanyanya lagi.
Sang pendeta tidak segera menjawab. Dia tidak suka urusannya dicampuri orang lain. Maka ia segera memberi isyarat agar kedua orang kaki tangannya yang bertubuh kekar untuk mengusir Sunan Gresik.
Dua orang bertubuh kekar segera menghunus goloknya masing-masing lalu menghampiri Sunan Gresik. Tanpa basa-basi mereka langsung mengayunkan goloknya untuk membelah kepala Sunan Gresik.
Namun sungguh aneh. Saat keduanya mengangkat golok, tiba-tiba gerakannya terhenti. Mereka berdiri kaku dengan golok di tangan sedang terangkat tinggi-tinggi. Sang pendeta terbelalak menyaksikan hal itu.
Namun ia tak mau rencananya berantakan. Segera ditikamnya belati yang dipegangnya ke jantung si gadis cantik. Namun ia berteriak kaget. Tangannya tak dapat digerakkan untuk meluncurkan belati itu ke dada si gadis.
“Mau apa kau mengganggu jalannya upacara ini?” sergahnya.
Sunan Gresik dan kelima muridnya maju ke tengah arena. “Maaf kisanak, sudah berapa kali kau korbankan gadis-gadis suci itu kepada Dewa Hujan?” tanya Sunan Gresik.
“Sudah dua kali!” jawab pendeta dengan sengit.
“Apakah dengan mengorbankan kedua gadis tadi hujan sudah turun ke desa ini?” tanya Sunan Gresik.
Pendeta tua tidak segera menjawab, tetapi orang yang berkerumun tanpa dapat dicegah lagi menjawab dengan serentak, “Belum …… “
Wajah sang pendeta nampak jadi beringas mendengar jawaban orang-orang desa itu. Dengan lantang ia berkata, “Hujan belum turun karena pengorbanan baru dilakukan dua kali. Dewa Hujan akan menerima pengorbanan yang dipersembahkan tiga kali. Barulah sesudah itu hujan akan diturunkan!”
“Bagaimana jika pengorbanan dilakukan ketiga kalinya tetapi hujan belum turun juga?" tanya Sunan Gresik.
Merah padam wajah sang pendeta. Dia memberi isyarat kepada dua lelaki kekar di belakangnya untuk meringkus Sunan Gresik yang dianggapnya sebagai pengacau.
Dua lelaki itu, yang agaknya adalah pengikut setia sang pendeta segera bergerak maju. Mereka bermaksud menghajar Sunan Gresik. Tapi sungguh aneh, sepasang kaki mereka tiba-tiba terasa kejang tanpa ada sebabnya. Keduanya melolong kesakitan sembari memegangi pahanya.
“Kau bermaksud menentang kami hai orang asing!” bentak pendeta tua. ”Kau sengaja mengganggu upacara kami!”
“Aku tidak bermaksud mengganggu," ujar Sunan Gresik. “Aku dan kelima muridku bermaksud menolong orang-orang desa ini.”
”Apa yang dapat kau berikan kepada warga desa ini?” balas sang pendeta.
“Apa yang kalian inginkan dari kami?” Sunan Gresik balik bertanya.
“Hujan! Kami minta hujan!” jawab para penduduk desa serentak.
Sunan Gresik menyanggupi. “Jika Allah mengizinkan maka hujan pun akan segera turun!” kata Sunan Gresik dengan tenang.
"Allah? Siapa Allah?” tanya pendeta tua. ”Mengapa minta izin segala kepadanya?”
“Allah adalah Tuhan yang menciptakan langit dan bumi beserta segala isinya. Termasuk yang menciptakan kita semua,” balas Sunan Gresik.
“Sudah! Jangan bicara! Jika kau memang bisa menurunkan hujan cepat lakukan saja!” bentak pendeta tua.
“Boleh saja, tapi dengan syarat, jika kami bisa menurunkan hujan aras izin Allah, maka kalian harus membebaskan gadis itu!” kata Sunan Gresik.
“Untuk apa?” tukas pendeta tua. ”Kedua orang tua gadis itu sudah mati. Dia tak punya sanak kadang, sudah pantas jika dia terpilih sebagai persembahan untuk Dewa Hujan!”
Sunan Gresik menghadap ke arah kerumunan orang-orang desa, kemudian bertanya, “Kalau kami dapat menurunkan hujan. Maukah kalian membebaskan gadis itu?”
“Mauuuuu …… !” jawab orang-orang desa dengan serentak.
“Terima kasih,” jawab Sunan Gresik. ”Dalam ajaran agama kami, seorang anak yang ditinggal mati kedua orang tuanya disebut yatim piatu. Tidak boleh disia-siakan dan ditelantarkan, melainkan harus disantuni dan diperhatikan nasibnya. Bukannya dikorbankan kepada Dewa Hujan!”
Para penduduk desa nampak tercenung mendengar ucapan Sunan Gresik. Sementara Sunan Gresik dan kelima muridnya yang selalu berusaha dalam keadaan suci (tak batal wudhu’nya) segera melaksanakan shalat istisqo’ dan berdoá dengan khusyu’nya.
Tak berapa lama kemudian, langit tiba-tiba berubah menjadi hitam oleh mendung yang berarak. Dan hujan turun dengan derasnya. Membasahi bumi yang kering kerontang. Semua orang yang berkumpul langsung bersorak-sorai kegirangan. Hanya pendeta tua dan keempat lelaki yang masih memegangi tangan dan kaki gadis yang berdiam diri dalam
keangkuhannya.
“Sihir! Pasti kalian mempergunakan ilmu sihir,“ teriak pendeta tua, “Hujan itu tidak nyata, hanya khayalan saja!”
Sunan Gresik segera menghampiri pendeta tua sembari berkata, “Kisanak, sihir itu terlarang bagi orang Islam. Kami tidak boleh mempelajarinya apalagi mengamalkannya. Hujan ini adalah nyata rahmat dari Allah yang menciptakan langit dan bumi!”
Agaknya pendeta tua itu tak mau mengakui kenyataan yang ada. Dia memberi isyarat kepada keempat anak buahnya untuk mengikuti langkahnya pergi meninggalkan desa itu.
Ketika hujan sudah reda, orang-orang yang bersorak sorai kegirangan segera menjatuhkan diri berlutut di hadapan Sunan Gresik dan kelima muridnya. Termasuk si gadis yang hampir saja dikorbankan nyawanya oleh pendeta tua.
“Bangunlah Kisanak semua !” kata Sunan Gresik. “kalian tidak boleh bersujud kepada sesama manusia. Hanya Tuhan Allah yang pantas kalian sembah dalam sujud.”
Setelah mendengar ucapan Sunan Gresik, semua orang segera bangkit untuk bersila, salah seorang dari mereka yang nampaknya berusia lanjut berkata, “Kami sangat berterima kasih kepada Tuan, karena Tuan telah menolong kami menurunkan hujan yang telah lama kami tunggu-tunggu. Bolehkah kami minta diajarkan tata cara meminta hujan seperti tadi?”
“Ya!” sahut penduduk lainnya. “Ajarkan kepada kami cara menurunkan hujan tanpa mengorbankan manusia!”
Sunan Gresik tersenyum arif. Orang-orang desa itu telah manaruh simpati kepadanya. Rasa simpati itulah modal utama untuk memperkenalkan ajaran Islam kepada mereka.
“Kalau kalian ingin diajari cara minta hujan seperti tadi,” kata Sunan Gresik, “Maka kalian harus mengenal dan mempelajari dulu agama Islam. Maukah kalian?”
“Mauuuuuu ..! jawab para penduduk dengan serentak.
Demikianlah, selama beberapa hari Sunan Gresik tinggal di desa itu. Membimbing para penduduk desa untuk mempelajari agama Islam sesuai dengan tingkat pemahaman mereka selaku orang awam.
Selanjutnya Sunan Gresik meneruskan perjalanan pulang ke Gresik. Beliau telah menugaskan dua orang muridnya yang ahli dalam mengolah lahan pertanian dan bangunan untuk membimbing penduduk desa itu. Sehingga terbinalah iman dan taraf hidup penduduk desa itu.
Pada setiap desa yang dilaluinya Sunan Gresik selalu berbuat kebajikan. Jika dipandang perlu untuk menempatkan muridnya di desa yang disinggahi maka murid itupun ditugaskan untuk membimbing penduduk desa yang dilaluinya.
Demikian Lawrens Rasyidi menggambarkan cara Sunan Gresik berdakwah. Selain itu juga ada kisah pengusiran perampok di sekitar wilayah Gresik yang kemudian para perampok itu diajarkan salat taubat di pesantren beliau.
Perampok tersebut pada akhirnya terharu karena kebaikan beliau dan menyesal atas perbuatan yang telah dilakukannya selama ini. Iapun pada akhirnya mempelajari agama Islam di pesantren Syaikh Maulana Malik Ibrahim. ( )
Sekadar mengingatkan, sejak kematian Maha Patih Gajah Mada dan Prabu Hayam Wuruk, kerajaan Majapahit mengalami kemunduran drastis. Berangsur-angsur kerajaan yang dahulu pernah dipersatukan Gajah Mada, mulai memisahkan diri, baik secara terang-terangan maupun dengan sembunyi-sembunyi.
Namun demikian Majapahit masih merupakan kerajaan terbesar di Pulau Jawa. Wibawanya masih terasa kuat di dunia luar, walaupun sesungguhnya dari dalam kerajaan itu sudah sangat keropos.
Dalam buku "Kisah dan Ajaran Wali Sanga" karya H Lawrens Rasyidi diceritakan bahwa perang saudara antara kerabat istana Majapahit tiada henti-hentinya. Rakyat menjadi korban. Kesengsaraan dan bahaya kelaparan melanda di mana-mana. ( )
Kesetiaan para pembesar dan bupati mulai menipis. Banyak upeti kerajaan yang tidak sampai ke tangan raja. Kejahatan melanda di mana-mana, banyak tindak kekerasan, perampokan dan pencurian. Bahkan banyak satuan-satuan tentara kerajaan yang melepaskan diri dan beralih profesi sebagai gerombolan perampok yang menjarah harta benda kaum bangsawan dan rakyat jelata.
Karena tak ada jaminan stabilitas keamanan maka para penduduk merasa tak tenang dalam mengolah lahan pertanian mereka. Akibatnya bahaya kelaparan melanda di mana-mana. Ditambah adanya musim kemarau panjang di beberapa tempat, maka situasi jadi semakin menggenaskan. ( )
Kakek Bantal
Di saat demikian sesekali Sunan Gresik dan beberapa muridnya mengadakan peninjauan langsung ke beberapa daerah. Ingin melihat sendiri keadaan dan nasib penduduk setempat.
Lawrens Rasyidi berkisah tentang Sunan Gresik yang oleh masyarakat awam dikenal sebagai Kakek Bantal. Pada suatu hari Sunan Gresik dan lima orang muridnya sampai di sebuah desa yang teramat gersang. Hampir tak ada pepohonan yang hidup. Tanah-tanah yang terinjak sangat kering, tak ada rerumputan sama sekali.
Mereka terus berjalan hingga tiba di suatu tanah lapang yang cukup luas. Di tengah-tengah tanah lapang itu nampak puluhan penduduk sedang berkerumun. Mengelilingi dua orang pemuda bertubuh kurus sedang berlaga. Dua orang pemuda itu hanya mengenakan celana, tubuh bagian atasnya terbuka. Mereka saling memukulkan sebatang rotan ke punggung masing-masing. Setiap pukulan nampaknya disertai tenaga yang sangat kuat sehingga punggung yang terkena menjadi matang biru bahkan ada beberapa dari melintang yang penuh darah. ( )
Terus menerus kedua pemuda itu saling menghantamkan rotan di tangannya. Hingga kedua punggung anak muda itu penuh luka yang melepuh. Beberapa lelaki yang mengelilinginya menabuh gending untuk memberi semangat. Hingga pada akhirnya kedua pemuda itu roboh ke tanah dalam keadaan pingsan.
Irama gending segera berhenti. Seorang pendeta berpakaian kuning, yang agaknya menjadi ketua adat segera memberi perintah untuk menyeret kedua pemuda itu keluar arena. Kemudian pendeta itu menuding ke arah seorang gadis yang sedang dicekal kedua lengannya oleh dua orang lelaki bertubuh kekar.
Kedua lelaki bertubuh kekar menyeret si gadis ke tengah lingkaran menusia berkerumun. Di tengah-tengah lingkaran itu ada batu altar persembahan.
Gadis itu berusaha berontak, namun tenaganya kalah kuat dibanding ke dua lelaki bertubuh kekar yang mencekal dan menyeretnya dengan paksa.
Si gadis yang sudah diberi pakaian putih segera dibaringkan di atas altar. Empat orang lelaki memegangi kedua tangan dan kakinya yang dipentangkan. Gadis itu meronta-ronta ketakutan. ( )
“Wahai Dewa Hujan! Terimalah persembahan kami! Hentikan kemarau panjang ini. Curahkan limpahan airmu ke bumi yang gersang ini!” Demikian teriak pendeta tua berkali-kali.
Sunan Gresik dan kelima muridnya makin mendekati kerumunan orang itu. Pada saat pendeta tua itu mengangkat belati di atas dada si gadis, Sunan Gresik berteriak: “Berhenti!”
Sunan Gresik menghampiri pendeta dan bertanya: “Untuk apa gadis ini dikorbankan ?” tanyanya.
“Kami mengharap turunnya hujan!” sahut sang Pendeta.
“Mengharap hujan dengan mengorbankan seorang gadis-gadis cantik?” tanya Sunan Gresik.
“Ya, hanya dengan mengorbankan gadis itu kepada Dewa Hujan maka kami akan mendapat air,” sahut sang pendeta.
“Sudah berapa kali acara seperti ini dilakukan?” tanyanya lagi.
Sang pendeta tidak segera menjawab. Dia tidak suka urusannya dicampuri orang lain. Maka ia segera memberi isyarat agar kedua orang kaki tangannya yang bertubuh kekar untuk mengusir Sunan Gresik.
Dua orang bertubuh kekar segera menghunus goloknya masing-masing lalu menghampiri Sunan Gresik. Tanpa basa-basi mereka langsung mengayunkan goloknya untuk membelah kepala Sunan Gresik.
Namun sungguh aneh. Saat keduanya mengangkat golok, tiba-tiba gerakannya terhenti. Mereka berdiri kaku dengan golok di tangan sedang terangkat tinggi-tinggi. Sang pendeta terbelalak menyaksikan hal itu.
Namun ia tak mau rencananya berantakan. Segera ditikamnya belati yang dipegangnya ke jantung si gadis cantik. Namun ia berteriak kaget. Tangannya tak dapat digerakkan untuk meluncurkan belati itu ke dada si gadis.
“Mau apa kau mengganggu jalannya upacara ini?” sergahnya.
Sunan Gresik dan kelima muridnya maju ke tengah arena. “Maaf kisanak, sudah berapa kali kau korbankan gadis-gadis suci itu kepada Dewa Hujan?” tanya Sunan Gresik.
“Sudah dua kali!” jawab pendeta dengan sengit.
“Apakah dengan mengorbankan kedua gadis tadi hujan sudah turun ke desa ini?” tanya Sunan Gresik.
Pendeta tua tidak segera menjawab, tetapi orang yang berkerumun tanpa dapat dicegah lagi menjawab dengan serentak, “Belum …… “
Wajah sang pendeta nampak jadi beringas mendengar jawaban orang-orang desa itu. Dengan lantang ia berkata, “Hujan belum turun karena pengorbanan baru dilakukan dua kali. Dewa Hujan akan menerima pengorbanan yang dipersembahkan tiga kali. Barulah sesudah itu hujan akan diturunkan!”
“Bagaimana jika pengorbanan dilakukan ketiga kalinya tetapi hujan belum turun juga?" tanya Sunan Gresik.
Merah padam wajah sang pendeta. Dia memberi isyarat kepada dua lelaki kekar di belakangnya untuk meringkus Sunan Gresik yang dianggapnya sebagai pengacau.
Dua lelaki itu, yang agaknya adalah pengikut setia sang pendeta segera bergerak maju. Mereka bermaksud menghajar Sunan Gresik. Tapi sungguh aneh, sepasang kaki mereka tiba-tiba terasa kejang tanpa ada sebabnya. Keduanya melolong kesakitan sembari memegangi pahanya.
“Kau bermaksud menentang kami hai orang asing!” bentak pendeta tua. ”Kau sengaja mengganggu upacara kami!”
“Aku tidak bermaksud mengganggu," ujar Sunan Gresik. “Aku dan kelima muridku bermaksud menolong orang-orang desa ini.”
”Apa yang dapat kau berikan kepada warga desa ini?” balas sang pendeta.
“Apa yang kalian inginkan dari kami?” Sunan Gresik balik bertanya.
“Hujan! Kami minta hujan!” jawab para penduduk desa serentak.
Sunan Gresik menyanggupi. “Jika Allah mengizinkan maka hujan pun akan segera turun!” kata Sunan Gresik dengan tenang.
"Allah? Siapa Allah?” tanya pendeta tua. ”Mengapa minta izin segala kepadanya?”
“Allah adalah Tuhan yang menciptakan langit dan bumi beserta segala isinya. Termasuk yang menciptakan kita semua,” balas Sunan Gresik.
“Sudah! Jangan bicara! Jika kau memang bisa menurunkan hujan cepat lakukan saja!” bentak pendeta tua.
“Boleh saja, tapi dengan syarat, jika kami bisa menurunkan hujan aras izin Allah, maka kalian harus membebaskan gadis itu!” kata Sunan Gresik.
“Untuk apa?” tukas pendeta tua. ”Kedua orang tua gadis itu sudah mati. Dia tak punya sanak kadang, sudah pantas jika dia terpilih sebagai persembahan untuk Dewa Hujan!”
Sunan Gresik menghadap ke arah kerumunan orang-orang desa, kemudian bertanya, “Kalau kami dapat menurunkan hujan. Maukah kalian membebaskan gadis itu?”
“Mauuuuu …… !” jawab orang-orang desa dengan serentak.
“Terima kasih,” jawab Sunan Gresik. ”Dalam ajaran agama kami, seorang anak yang ditinggal mati kedua orang tuanya disebut yatim piatu. Tidak boleh disia-siakan dan ditelantarkan, melainkan harus disantuni dan diperhatikan nasibnya. Bukannya dikorbankan kepada Dewa Hujan!”
Para penduduk desa nampak tercenung mendengar ucapan Sunan Gresik. Sementara Sunan Gresik dan kelima muridnya yang selalu berusaha dalam keadaan suci (tak batal wudhu’nya) segera melaksanakan shalat istisqo’ dan berdoá dengan khusyu’nya.
Tak berapa lama kemudian, langit tiba-tiba berubah menjadi hitam oleh mendung yang berarak. Dan hujan turun dengan derasnya. Membasahi bumi yang kering kerontang. Semua orang yang berkumpul langsung bersorak-sorai kegirangan. Hanya pendeta tua dan keempat lelaki yang masih memegangi tangan dan kaki gadis yang berdiam diri dalam
keangkuhannya.
“Sihir! Pasti kalian mempergunakan ilmu sihir,“ teriak pendeta tua, “Hujan itu tidak nyata, hanya khayalan saja!”
Sunan Gresik segera menghampiri pendeta tua sembari berkata, “Kisanak, sihir itu terlarang bagi orang Islam. Kami tidak boleh mempelajarinya apalagi mengamalkannya. Hujan ini adalah nyata rahmat dari Allah yang menciptakan langit dan bumi!”
Agaknya pendeta tua itu tak mau mengakui kenyataan yang ada. Dia memberi isyarat kepada keempat anak buahnya untuk mengikuti langkahnya pergi meninggalkan desa itu.
Ketika hujan sudah reda, orang-orang yang bersorak sorai kegirangan segera menjatuhkan diri berlutut di hadapan Sunan Gresik dan kelima muridnya. Termasuk si gadis yang hampir saja dikorbankan nyawanya oleh pendeta tua.
“Bangunlah Kisanak semua !” kata Sunan Gresik. “kalian tidak boleh bersujud kepada sesama manusia. Hanya Tuhan Allah yang pantas kalian sembah dalam sujud.”
Setelah mendengar ucapan Sunan Gresik, semua orang segera bangkit untuk bersila, salah seorang dari mereka yang nampaknya berusia lanjut berkata, “Kami sangat berterima kasih kepada Tuan, karena Tuan telah menolong kami menurunkan hujan yang telah lama kami tunggu-tunggu. Bolehkah kami minta diajarkan tata cara meminta hujan seperti tadi?”
“Ya!” sahut penduduk lainnya. “Ajarkan kepada kami cara menurunkan hujan tanpa mengorbankan manusia!”
Sunan Gresik tersenyum arif. Orang-orang desa itu telah manaruh simpati kepadanya. Rasa simpati itulah modal utama untuk memperkenalkan ajaran Islam kepada mereka.
“Kalau kalian ingin diajari cara minta hujan seperti tadi,” kata Sunan Gresik, “Maka kalian harus mengenal dan mempelajari dulu agama Islam. Maukah kalian?”
“Mauuuuuu ..! jawab para penduduk dengan serentak.
Demikianlah, selama beberapa hari Sunan Gresik tinggal di desa itu. Membimbing para penduduk desa untuk mempelajari agama Islam sesuai dengan tingkat pemahaman mereka selaku orang awam.
Selanjutnya Sunan Gresik meneruskan perjalanan pulang ke Gresik. Beliau telah menugaskan dua orang muridnya yang ahli dalam mengolah lahan pertanian dan bangunan untuk membimbing penduduk desa itu. Sehingga terbinalah iman dan taraf hidup penduduk desa itu.
Pada setiap desa yang dilaluinya Sunan Gresik selalu berbuat kebajikan. Jika dipandang perlu untuk menempatkan muridnya di desa yang disinggahi maka murid itupun ditugaskan untuk membimbing penduduk desa yang dilaluinya.
Demikian Lawrens Rasyidi menggambarkan cara Sunan Gresik berdakwah. Selain itu juga ada kisah pengusiran perampok di sekitar wilayah Gresik yang kemudian para perampok itu diajarkan salat taubat di pesantren beliau.
Perampok tersebut pada akhirnya terharu karena kebaikan beliau dan menyesal atas perbuatan yang telah dilakukannya selama ini. Iapun pada akhirnya mempelajari agama Islam di pesantren Syaikh Maulana Malik Ibrahim. ( )
(mhy)