Anjing Tidak Najis, Gus Baha Lebih Condong ke Mazhab Maliki?
Rabu, 31 Maret 2021 - 17:57 WIB
Masalah status anjing apakah najis atau suci kembali relevan untuk dibincangkan menyusul kontroversi perempuan bercadar bernama Hesti Sutrisno yang memelihara 70 ekor anjing. Hesti memelihara anjing di lahan khusus seluas 1 hektar miliknya yang jauh dari pemukiman warga. Hanya saja sejumlah orang keberatan dengan kegiatan Hesti tersebut.
Dalam sebuah hadis riwayat Abu Hurairah disebutkan, Rasulullah SAW bersabda: “Apabila anjing menjilat wadah seseorang, maka keriklah (bekasnya) lalu basuhlah wadah itu tujuh kali.” (HR Bukhari dan Muslim).
Menyikapi hadis tersebut, para ulama berbeda berpendapat. Mengutip Lembaga Fatwa Mesir Dar al-Ifta, ada tiga opsi pandangan ulama menyikapi status najis atau sucikah binatang anjing, yaitu sebagai berikut:
Pertama, para ulama Mazhab Syafi’i dan Hanbali berpendapat, bahwa anjing najis secara kesuluruhan, baik segala yang kering dari anggota tubuhnya atau pun yang basah.
Kedua, ulama Mazhab Hanafi berpandangan status anjing itu pada dasarnya suci kecuali bagian yang basah dari anjing seperti kencing, keringat, liur, dan segala yang basah hukumnya adalah najis.
Ketiga, menurut ulama Mazhab Maliki , status anjing suci secara keseluruhan tidak najis, baik bagian yang kering dari hewan mamalia itu ataupun yang basah.
Dalam pandangan mereka, hukum bersuci sebagaimana hadis di atas tersebut, hanya berlaku khusus untuk membersihkan bejana, wadah, periuk, atau apapun yang dipakai minum atau makan anjing.
Dalam kitab asy-Syarkh ash-Shaghir ma’a Hasyiyat as-Shawi Alaihi, disebutkan bahwa jika ada anjing yang menjilati periuk sekali atau lebih, maka dianjurkan untuk membuang air atau makanan itu kemudian disunahkan membersihkan periuk tadi tujuh kali, seperti tuntunan hadis atas dasar ta’abbudi, meski sebenarnya anjing itu sendiri suci.
Nah, dalam kaitan ini umat Islam Indonesia yang bermazhab Syafii lebih condong menganggap anjing sebagai binatang yang najis. Hanya saja, KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau lebih dikenal dengan Gus Baha tampaknya tidak termasuk yang menganggap anjing najis.
Menurut Gus Baha, di semua periode Islam anjing dianggap bukan najis. “Sejak dulu itu nggak asing, orang memuji anjingnya Ashabul Kahfi . Tidak pernah ada masalah dengan anjing. Sampai periode sahabat tabiin . Rata-rata sahabat ya punya anjing,” ujar Gus Baha.
Bahkan, kata Gus Baha, sahabat yang merawat 100 kambing akan memberikan satu kambingnya ke anjing sebagai hadiah karena telah menjaganya dari serigala.
Pendapat Gus Baha ini bisa diakses dalam Kajian Cerdas Official di kanal YouTube.
Al-Quran , kata Gus Baha, mengistilahkan anjing di dalam surat Al Maidah ayat 4 wa mā 'allamtum minal-jawāriḥi mukallibīna. Di situ, Al-Quran secara sirri mencontohkan dengan anjing.
Arti dari surat itu adalah ""Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatihnya untuk berburu"
Hewan pemburu yang dimaksud di situ adalah hewan seperti anjing. “Sahabat dulu kalau ingin mndapatkan kijang atau mendapatkan buruan, anjing diajari untuk mengejar kijang,” ujarnya.
Menurut fikih, kata Gus Baha, hewan halal ada dua. Pertama hewan yang disembelih secara syar’i yang kedua yang mati karena diburu atau terkena panah.
Dalam sebuah hadis riwayat Abu Hurairah disebutkan, Rasulullah SAW bersabda: “Apabila anjing menjilat wadah seseorang, maka keriklah (bekasnya) lalu basuhlah wadah itu tujuh kali.” (HR Bukhari dan Muslim).
Menyikapi hadis tersebut, para ulama berbeda berpendapat. Mengutip Lembaga Fatwa Mesir Dar al-Ifta, ada tiga opsi pandangan ulama menyikapi status najis atau sucikah binatang anjing, yaitu sebagai berikut:
Pertama, para ulama Mazhab Syafi’i dan Hanbali berpendapat, bahwa anjing najis secara kesuluruhan, baik segala yang kering dari anggota tubuhnya atau pun yang basah.
Kedua, ulama Mazhab Hanafi berpandangan status anjing itu pada dasarnya suci kecuali bagian yang basah dari anjing seperti kencing, keringat, liur, dan segala yang basah hukumnya adalah najis.
Ketiga, menurut ulama Mazhab Maliki , status anjing suci secara keseluruhan tidak najis, baik bagian yang kering dari hewan mamalia itu ataupun yang basah.
Dalam pandangan mereka, hukum bersuci sebagaimana hadis di atas tersebut, hanya berlaku khusus untuk membersihkan bejana, wadah, periuk, atau apapun yang dipakai minum atau makan anjing.
Dalam kitab asy-Syarkh ash-Shaghir ma’a Hasyiyat as-Shawi Alaihi, disebutkan bahwa jika ada anjing yang menjilati periuk sekali atau lebih, maka dianjurkan untuk membuang air atau makanan itu kemudian disunahkan membersihkan periuk tadi tujuh kali, seperti tuntunan hadis atas dasar ta’abbudi, meski sebenarnya anjing itu sendiri suci.
Nah, dalam kaitan ini umat Islam Indonesia yang bermazhab Syafii lebih condong menganggap anjing sebagai binatang yang najis. Hanya saja, KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau lebih dikenal dengan Gus Baha tampaknya tidak termasuk yang menganggap anjing najis.
Menurut Gus Baha, di semua periode Islam anjing dianggap bukan najis. “Sejak dulu itu nggak asing, orang memuji anjingnya Ashabul Kahfi . Tidak pernah ada masalah dengan anjing. Sampai periode sahabat tabiin . Rata-rata sahabat ya punya anjing,” ujar Gus Baha.
Bahkan, kata Gus Baha, sahabat yang merawat 100 kambing akan memberikan satu kambingnya ke anjing sebagai hadiah karena telah menjaganya dari serigala.
Pendapat Gus Baha ini bisa diakses dalam Kajian Cerdas Official di kanal YouTube.
Al-Quran , kata Gus Baha, mengistilahkan anjing di dalam surat Al Maidah ayat 4 wa mā 'allamtum minal-jawāriḥi mukallibīna. Di situ, Al-Quran secara sirri mencontohkan dengan anjing.
Arti dari surat itu adalah ""Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatihnya untuk berburu"
Hewan pemburu yang dimaksud di situ adalah hewan seperti anjing. “Sahabat dulu kalau ingin mndapatkan kijang atau mendapatkan buruan, anjing diajari untuk mengejar kijang,” ujarnya.
Menurut fikih, kata Gus Baha, hewan halal ada dua. Pertama hewan yang disembelih secara syar’i yang kedua yang mati karena diburu atau terkena panah.