Al-Qur'an Mulia (3): Ragam Makna Gaib, Sholat dan Sedekah
Senin, 31 Mei 2021 - 15:23 WIB
Aman yang sekarang di Nusakambangan adalah seorang bekas marbot masjid yang kemudian mendirikan Jamaah Ansharut Daulah setelah sempat bergabung di berbagai organisasi militan --terutama di Jamaah Ansharut Tauhid. Mengidentifikasi mereka yang sering gonta-ganti nama --biasanya kata-kata Arab-- ini sangat mudah, yaitu prinsip takfiri, semua selain mereka sesat.
Saya berdoa, semoga Allah memberikan Pak Aman pemahaman ilmu-Nya dengan lebih baik, sehingga dia tidak merasa mutlak paling benar. Semoga Pak Aman bisa menjadi marbot lagi, atau pendakwah yang mengajarkan perdamaian, sehingga lebih berfaedah. Ingat, kebenaran di dunia ini relatif, kebenaran absolut adalah milik Allah di akhirat kelak.
Persyaratan kedua bagi siapapun yang ingin disebut beriman adalah yang menegakkan sholat. Terminologi menegakkan versus mengerjakan sholat sudah sangat sering dibahas oleh para ahli-ahli. Saya hanya ingin menggarisbawahi bahwa orang yang memilih definisi menegakkan atau mengerjakan dengan standar rukun dan syarat lain serta bisa khusyu’ disebut beriman.
Sementara orang yang penting mengerjakan atau sholat asal-asalan, kadang sholat kadang tidak, atau tidak sama sekali masih bisa disebut muslim atau orang Islam, istilahnya Islam KTP. Keduanya masuk surga? Insya Allah begitu, sebab Nabi Muhammad sendiri dalam hadis shahih sudah menggaransi bahwa setiap orang yang pernah membaca Syahadat dan tidak murtad, maka dia berhak masuk surga, terserah sholatnya bagaimana. Bedanya dengan orang beriman, ya paling 'sekolah' di nerakanya lebih lama.
Menariknya, klasifikasi gaib yang diterapkan Ibn Abbas menurut saya masih bisa dipakai untuk untuk mendiversifikasi makna sholat. Maksud saya begini, ada orang yang mendefiniskan sholat sebagai sebuah ritual gerakan sesuai urutan-urutan rukun. Tujuan sholat bagi mereka juga sangat sederhana dan mudah dikalkulasikan, atau kuantitatif.
Misalnya, bahwa sholat sendirian itu pahalanya lebih rendah dari sholat Jamaah, atau shaf shalat harus rapih sekali, semakin panjang bacaan semakin afdhol dan memang demikian banyak hadis shahih menyatakan.
Sementara kelompok kedua, memaknai sholat bukan sebagai kata kerja tetapi kata sifat, yaitu ingat kepada Allah atau Dzikrullah. Sholat kelompok pertama tadi bagi kelompok ini adalah salah satu dari jenis sholat, atau masih ada sholat lain yang karena maknanya adalah ingat, maka mereka tidak lagi memperdulikan kalkulasi pahala, dan bahkan pada level ekstrem mereka menyebut pahala adalah 'berhala yang dihalalkan' dalam Islam. Mereka menganggap, pahala justru akan mengurangi nilai ibadah mereka kepada Allah. Mereka-mereka ini menggunakan cinta atau rasa sebagai parameter utama.
Apakah kelompok ini memiliki dalil dan taat rukun shalat? Tentu saja demikian, misalnya cerita masyhur bagaimana Imam Ali RA tidak terasa sebuah anak panah dicabut dari kakinya saat sedang sholat. Namun, pada sisi ketentuan fisik, kelompok ini cenderung tidak begitu rewel mengenai sunnah-sunnah sholat, misalnya antar kaki harus nempel, dan sikat gigi tidak bisa menggantikan sunnah kayu siwak.
Kelompok pertama tidak memakai khusyu' sebagai salat sah shalat, sementara kelompok kedua menempatkan khusyu' hati sebagai parameter utama.
Hal yang sama juga berlaku untuk sedekah. Apakah yang disebut dalam ayat ini hanya sebatas pemberian materi, uang atau istilah akuntansinya tangible asset? Bagaimana dengan intangible asset seperti ilmu, senyuman, berbuat baik dan lain sebagainya yang menurut banyak hadist juga disebut shadaqah?
Untuk kualifikasi sedekah paling bagus, baik itu tangible maupun intangible atau skala penilaian 1-4, maka kecintaan menempati urutan pertama, keikhlasan kedua, kerelaan nomor tiga dan keterpaksaan nomor empat. Ini bedasarkan pemahaman saya bahwa Allah itu Mahakaya, jadi kualifikasi sedekah ditentukan bukan oleh jumlah, melainkan oleh kualitasnya.
Semua perbedaan di atas menurut saya mencerminkan bahwa Islam itu sangat berwarna, beragam sekaligus bisa menyatu. Mohon maaf, hanya agama Islam yang anda bisa sholat dimanapun masjid berada, berbeda dengan agama lain yang memiliki standar-standar masing-masing dan kadang salam satu agama bisa berbeda tempat ibadahanya.
Bagi saya perbedaan ini hanya seputar masalah khilafiyah —atau keduniaan semata--yang sangat bisa diselesaikan dengan berdiskusi 'sambil ngopi'. Tidak perlu ngotot paling benar, tapi sangat perlu adalah bahwa yang berbeda dengan Anda belum tentu salah.
Akhirul kalam, bagi saya semua klasifikasi di atas benar adanya, biar Allah saja yang memberikan raport akhir kepada kita masing-masing di akhirat kelak, siapa yang mendapatkan rangking satu dan siapa yang tidak naik kelas. Seperti dikemukakan-Nya di banyak ayat, bahwa kebatilan dan kebenaran itu bertingkat-tingkat, yang semuanya bisa masuk neraka atau surga sesuai dengan levelnya.
Wallahu A'lam Bisshowab
Saya berdoa, semoga Allah memberikan Pak Aman pemahaman ilmu-Nya dengan lebih baik, sehingga dia tidak merasa mutlak paling benar. Semoga Pak Aman bisa menjadi marbot lagi, atau pendakwah yang mengajarkan perdamaian, sehingga lebih berfaedah. Ingat, kebenaran di dunia ini relatif, kebenaran absolut adalah milik Allah di akhirat kelak.
Persyaratan kedua bagi siapapun yang ingin disebut beriman adalah yang menegakkan sholat. Terminologi menegakkan versus mengerjakan sholat sudah sangat sering dibahas oleh para ahli-ahli. Saya hanya ingin menggarisbawahi bahwa orang yang memilih definisi menegakkan atau mengerjakan dengan standar rukun dan syarat lain serta bisa khusyu’ disebut beriman.
Sementara orang yang penting mengerjakan atau sholat asal-asalan, kadang sholat kadang tidak, atau tidak sama sekali masih bisa disebut muslim atau orang Islam, istilahnya Islam KTP. Keduanya masuk surga? Insya Allah begitu, sebab Nabi Muhammad sendiri dalam hadis shahih sudah menggaransi bahwa setiap orang yang pernah membaca Syahadat dan tidak murtad, maka dia berhak masuk surga, terserah sholatnya bagaimana. Bedanya dengan orang beriman, ya paling 'sekolah' di nerakanya lebih lama.
Menariknya, klasifikasi gaib yang diterapkan Ibn Abbas menurut saya masih bisa dipakai untuk untuk mendiversifikasi makna sholat. Maksud saya begini, ada orang yang mendefiniskan sholat sebagai sebuah ritual gerakan sesuai urutan-urutan rukun. Tujuan sholat bagi mereka juga sangat sederhana dan mudah dikalkulasikan, atau kuantitatif.
Misalnya, bahwa sholat sendirian itu pahalanya lebih rendah dari sholat Jamaah, atau shaf shalat harus rapih sekali, semakin panjang bacaan semakin afdhol dan memang demikian banyak hadis shahih menyatakan.
Sementara kelompok kedua, memaknai sholat bukan sebagai kata kerja tetapi kata sifat, yaitu ingat kepada Allah atau Dzikrullah. Sholat kelompok pertama tadi bagi kelompok ini adalah salah satu dari jenis sholat, atau masih ada sholat lain yang karena maknanya adalah ingat, maka mereka tidak lagi memperdulikan kalkulasi pahala, dan bahkan pada level ekstrem mereka menyebut pahala adalah 'berhala yang dihalalkan' dalam Islam. Mereka menganggap, pahala justru akan mengurangi nilai ibadah mereka kepada Allah. Mereka-mereka ini menggunakan cinta atau rasa sebagai parameter utama.
Apakah kelompok ini memiliki dalil dan taat rukun shalat? Tentu saja demikian, misalnya cerita masyhur bagaimana Imam Ali RA tidak terasa sebuah anak panah dicabut dari kakinya saat sedang sholat. Namun, pada sisi ketentuan fisik, kelompok ini cenderung tidak begitu rewel mengenai sunnah-sunnah sholat, misalnya antar kaki harus nempel, dan sikat gigi tidak bisa menggantikan sunnah kayu siwak.
Kelompok pertama tidak memakai khusyu' sebagai salat sah shalat, sementara kelompok kedua menempatkan khusyu' hati sebagai parameter utama.
Hal yang sama juga berlaku untuk sedekah. Apakah yang disebut dalam ayat ini hanya sebatas pemberian materi, uang atau istilah akuntansinya tangible asset? Bagaimana dengan intangible asset seperti ilmu, senyuman, berbuat baik dan lain sebagainya yang menurut banyak hadist juga disebut shadaqah?
Untuk kualifikasi sedekah paling bagus, baik itu tangible maupun intangible atau skala penilaian 1-4, maka kecintaan menempati urutan pertama, keikhlasan kedua, kerelaan nomor tiga dan keterpaksaan nomor empat. Ini bedasarkan pemahaman saya bahwa Allah itu Mahakaya, jadi kualifikasi sedekah ditentukan bukan oleh jumlah, melainkan oleh kualitasnya.
Semua perbedaan di atas menurut saya mencerminkan bahwa Islam itu sangat berwarna, beragam sekaligus bisa menyatu. Mohon maaf, hanya agama Islam yang anda bisa sholat dimanapun masjid berada, berbeda dengan agama lain yang memiliki standar-standar masing-masing dan kadang salam satu agama bisa berbeda tempat ibadahanya.
Bagi saya perbedaan ini hanya seputar masalah khilafiyah —atau keduniaan semata--yang sangat bisa diselesaikan dengan berdiskusi 'sambil ngopi'. Tidak perlu ngotot paling benar, tapi sangat perlu adalah bahwa yang berbeda dengan Anda belum tentu salah.
Akhirul kalam, bagi saya semua klasifikasi di atas benar adanya, biar Allah saja yang memberikan raport akhir kepada kita masing-masing di akhirat kelak, siapa yang mendapatkan rangking satu dan siapa yang tidak naik kelas. Seperti dikemukakan-Nya di banyak ayat, bahwa kebatilan dan kebenaran itu bertingkat-tingkat, yang semuanya bisa masuk neraka atau surga sesuai dengan levelnya.
Wallahu A'lam Bisshowab
(rhs)