Kadang Hati Memang Lebih Tersentuh dengan Syair Ketimbang Al-Qur'an
Selasa, 01 Juni 2021 - 10:31 WIB
Ilustrasi/Ist
Tuhan, di Firdaus Mu, aku bukan penghuni
Namun tak mampu aku membara di Jahimi
Berikan aku taubat, dosaku Kauampuni
Sungguh Engkau pemberi ampun dosa yang keji
Banyak dosa dosaku, bagai pasir lautan
Maaf aku harapkan, pada Mu Yang Penyayang
Umurku kan berkurang, tiap hari berlangsung
Dosaku malah tambah, bagaimana kutanggung
Tuhanku, hamba Mu yang ahli dosa datang menghadap
Mengakui dosa dosa seraya meratap
Jika Engkau ampuni, maka itulah wewenang Mu
Jika Engkau tolak, kepada siapa lagi ku berharap
Syair menyentuh di atas adalah karya Abu Nawas , seorang pujangga Arab yang bernama asli Abu Ali Al Hasan bin Hani Al Hakami. Buku Ijinkan Kalbumu Berbisik Lagi karya Ahmad Ibnu Nizal (2011)memaparkan bahwadalam menggapai kedekatan kepada Tuhan, para kekasih Allah seringkali harus menggunakan media yang dianggap efektif, seperti lagu dan syair ketuhanan. Jadi, mediator yang paling berkesan, kadangkala bukanlah Al Qur'an ataupun pidato dan nasihat-nasihat yang lain.
Menurut Imam al-Ghazali , kendati sebuah hati telah dipenuhi oleh cinta Allah (hubb lillah), belum tentu pemicunya mesti dengan mendengarkan bacaan Al-Qur'an. Seringkali, pemicu yang lebih manjur adalah dengan melantunkan sebuah syair atau mendendangkan lagu. Hal ini karena syair atau lagu itu sengaja digubah dengan rima yang serasi ataupun cengkok-cengkok syahdu dan bahasa yang sangat menyentuh perasaan.
Adapun kalimat yang ada dalam Al-Qur'an, kendati mengandung i'jaz yang manusia tidak akan mampu untuk menandinginya, namun kebanyakan susunannya keluar dari uslub kalimat yang dibiasakan oleh kebanyakan orang. "Singkat kata, itulah pengaruh sebuah syair dalam mendekatkan diri kepada Allah," tutur Ahmad Ibnu Nizal.
Abul Hasan ad Darraj mengisahkan sebagai berikut:
Pada suatu hari, aku berangkat dari Baghdad bertandang ke kota Ray menuju rumah Syaikh Yusuf bin Husein ar Razy yang merupakan seorang ulama terkenal, yang selama ini aku belum pernah sekalipun melihat sosok tubuhnya ataupun mendengar fatwa-fatwanya secara langsung. Setelah sampai di kota Ray, aku pun segera bertanya pada masyarakat kota itu mengenai keberadaan beliau. Betapa mengherankan, orang orang mengatakan:
“Untuk apa kamu bertandang dan mengunjungi seorang Zindig?” begitu ucap mereka.
Namun tak mampu aku membara di Jahimi
Berikan aku taubat, dosaku Kauampuni
Sungguh Engkau pemberi ampun dosa yang keji
Banyak dosa dosaku, bagai pasir lautan
Maaf aku harapkan, pada Mu Yang Penyayang
Umurku kan berkurang, tiap hari berlangsung
Dosaku malah tambah, bagaimana kutanggung
Tuhanku, hamba Mu yang ahli dosa datang menghadap
Mengakui dosa dosa seraya meratap
Jika Engkau ampuni, maka itulah wewenang Mu
Jika Engkau tolak, kepada siapa lagi ku berharap
Syair menyentuh di atas adalah karya Abu Nawas , seorang pujangga Arab yang bernama asli Abu Ali Al Hasan bin Hani Al Hakami. Buku Ijinkan Kalbumu Berbisik Lagi karya Ahmad Ibnu Nizal (2011)memaparkan bahwadalam menggapai kedekatan kepada Tuhan, para kekasih Allah seringkali harus menggunakan media yang dianggap efektif, seperti lagu dan syair ketuhanan. Jadi, mediator yang paling berkesan, kadangkala bukanlah Al Qur'an ataupun pidato dan nasihat-nasihat yang lain.
Menurut Imam al-Ghazali , kendati sebuah hati telah dipenuhi oleh cinta Allah (hubb lillah), belum tentu pemicunya mesti dengan mendengarkan bacaan Al-Qur'an. Seringkali, pemicu yang lebih manjur adalah dengan melantunkan sebuah syair atau mendendangkan lagu. Hal ini karena syair atau lagu itu sengaja digubah dengan rima yang serasi ataupun cengkok-cengkok syahdu dan bahasa yang sangat menyentuh perasaan.
Adapun kalimat yang ada dalam Al-Qur'an, kendati mengandung i'jaz yang manusia tidak akan mampu untuk menandinginya, namun kebanyakan susunannya keluar dari uslub kalimat yang dibiasakan oleh kebanyakan orang. "Singkat kata, itulah pengaruh sebuah syair dalam mendekatkan diri kepada Allah," tutur Ahmad Ibnu Nizal.
Abul Hasan ad Darraj mengisahkan sebagai berikut:
Pada suatu hari, aku berangkat dari Baghdad bertandang ke kota Ray menuju rumah Syaikh Yusuf bin Husein ar Razy yang merupakan seorang ulama terkenal, yang selama ini aku belum pernah sekalipun melihat sosok tubuhnya ataupun mendengar fatwa-fatwanya secara langsung. Setelah sampai di kota Ray, aku pun segera bertanya pada masyarakat kota itu mengenai keberadaan beliau. Betapa mengherankan, orang orang mengatakan:
“Untuk apa kamu bertandang dan mengunjungi seorang Zindig?” begitu ucap mereka.
Lihat Juga :