Jejak Abu Nawas: Dipejara Zaman Harun Ar-Rasyid, Dilepas di Era Al-Amin
Rabu, 02 Juni 2021 - 05:00 WIB
Benar juga. Pada suatu ketika, kritikan Abu Nawas terlontar juga sehingga ia harus dikurung dalam penjara. Dan, kejadian ini terus berulang, bukan hanya sekali, namun berkali-kali.
Mengetahui seorang pemimpinnya dijebloskan dalam penjara, seketika itu terjadi eksodus besar besaran para pujangga kenamaan untuk membela Abu Nawas. Mereka kebanyakan menuju Mesir.
Dengan demikian, Baghdad menjadi sunyi dan kehilangan pamor kebudayaan yang dahulu disebarkan oleh para pujangga.
Baru setelah al Amin memegang tampuk kekuasaan, para pujangga yang berkiblat kepada Abu Nawas direhabilitasi namanya dalam berbagai even kerajaan sehingga mereka merasa terpanggil untuk kembali ke Baghdad. Adapun Abu Nawas sendiri segera dibebaskan dari penjara.
Bukan itu saja, Abu Nawas diberi kebebasan berkreasi sehingga hubungan erat antara dia dan pihak kerajaan terjalin kembali.
Pada tahun 199 H atau 813 M Abu Nawas wafat setelah mangkatnya Baginda al Amin.
Begitulah kehidupan Abu Nawas dengan segala kejenakaan dan kritikannya yang pedas. Ia merupa kan figur yang tidak suka membela berbagai kepentingan busuk, tidak pula fanatik pada sebuah golongan—khususnya Arab ketika itu—dan memiliki perasaan (sense) yang amat peka.
Ia seorang yang beriman kepada Allah dengan iman yang begitu dalam. Hatinya menjadi simpanan kehalusan syairnya. Maka, tidak mengherankan jika nama Abu Nawas akan kekal sebagaimana kekalnya bahasa Arab dalam mengurai kemerdekaan berkreasi dan berpikir.
Mengetahui seorang pemimpinnya dijebloskan dalam penjara, seketika itu terjadi eksodus besar besaran para pujangga kenamaan untuk membela Abu Nawas. Mereka kebanyakan menuju Mesir.
Dengan demikian, Baghdad menjadi sunyi dan kehilangan pamor kebudayaan yang dahulu disebarkan oleh para pujangga.
Baru setelah al Amin memegang tampuk kekuasaan, para pujangga yang berkiblat kepada Abu Nawas direhabilitasi namanya dalam berbagai even kerajaan sehingga mereka merasa terpanggil untuk kembali ke Baghdad. Adapun Abu Nawas sendiri segera dibebaskan dari penjara.
Bukan itu saja, Abu Nawas diberi kebebasan berkreasi sehingga hubungan erat antara dia dan pihak kerajaan terjalin kembali.
Pada tahun 199 H atau 813 M Abu Nawas wafat setelah mangkatnya Baginda al Amin.
Begitulah kehidupan Abu Nawas dengan segala kejenakaan dan kritikannya yang pedas. Ia merupa kan figur yang tidak suka membela berbagai kepentingan busuk, tidak pula fanatik pada sebuah golongan—khususnya Arab ketika itu—dan memiliki perasaan (sense) yang amat peka.
Ia seorang yang beriman kepada Allah dengan iman yang begitu dalam. Hatinya menjadi simpanan kehalusan syairnya. Maka, tidak mengherankan jika nama Abu Nawas akan kekal sebagaimana kekalnya bahasa Arab dalam mengurai kemerdekaan berkreasi dan berpikir.
(mhy)