Jejak Abu Nawas: Dipejara Zaman Harun Ar-Rasyid, Dilepas di Era Al-Amin
Rabu, 02 Juni 2021 - 05:00 WIB
Setelah genap satu tahun, ternyata pengembaraan ini membawa kemajuan yang begitu mengesankan terhadap perkembangan pemikirannya, sehingga syair-syairnya sulit ditandingi.
Pada kesempatan itu pula dia mempelajari Al-Qur'an al Karim pada seorang guru yang sangat berwibawa, yakni Abu Ya'qub al Hadhramy.
Baru beberapa hari saja, sang guru takjub dengan bacaannya yang begitu fasih, ditopang dengan adab yang begitu tinggi. Maka guru itu segera mengatakan, “Pergilah kau dari tempat ini, di sini sudah tidak ada ilmu lagi yang engkau perlukan.”
Dengan tawadhu', Abu Nawas pun berpamitan untuk meneruskan pengembaraannya, dengan mendapat penghormatan dari para murid yang lain dan diiringi doa berkah dari sang guru.
Pada kesempatan itu, sang guru masih sempat mengatakan lagi: “Engkau merupakan penduduk Basrah yang paling ahli dalam membaca Kitabullah.”
Kembali ke Basrah
Abu Nawas pun kembali ke Basrah, tempat ia menginjakkan kaki pada mula pertamanya. Di sini ia bertemu dengan Khalaf al Ahmar, seorang pujangga yang karakter syair-syairnya dirasakan jauh berbeda dengan apa yang diajarkan guru Abu Nawas sendiri, Walibah bin al-Habab. Maka, segera saja Abu Nawas berguru kepadanya, sampai pada suatu ketika sang guru menyuruh Abu Nawas menghafal berbagai bait rajaz dan qashidah karangan para pujangga kenamaan.
Sebetulnya kali ini ia diuji dengan berbagai beban yang cukup berat. Saat itu, Abu Nawas membuktikan kecerdasannya, seluruh apa yang dibebankan itu ternyata dilahapnya dengan sangat cepat. Setelah itu, Abu Nawas menunggu peluang untuk mendendangkan syair0syairnya. Namun, betapa mengejutkan, sebab Khalaf mengatakan:
“Selamanya aku tak akan memberi izin kepada mu, kecuali jika kau bisa melupakan apa yang telah kau hafalkan, seluruhnya...”
Aneh!
Di balik semua itu, sebenarnya Khalaf al Ahmar menghendaki agar seluruh syair gubahannya diwarisi oleh Abu Nawas dalam keadaan ia masih hidup. Ternyata apa yang diharapkan sang guru ini bisa berhasil dengan sangat memuaskan, dan di kemudian hari Abu Nawas betul-betul sebagai pujangga yang mandiri, menampakkan jati diri yang sebenarnya dan sukar tertandingi. Mulai detik itulah Abu Nawas menjadi terkenal di seluruh pelosok Basrah, bahkan melampaui kawasan negeri itu.
Mengabdi di Baghdad
Sejak saat itu, Abu Nawas tidak pernah keluar dari ikatan religiusitasnya, kendati banyak ahli syair yang berseberangan dengan sikapnya itu.
Sebaliknya, ia menjunjung tinggi ruh agama sehingga syair-syairnya bisa menjangkau ke seluruh pelosok Baghdad. Ketika itu, Baghdad menjadi kiblat berbagai disiplin ilmu yang diserap oleh Persia, Arab, dan beberapa negeri lainnya.
Baghdad juga menjadi pusat kebudayaan dan mahasiswa, bahkan pusat gubahan syair jenaka dan dagelan.
Sebelum Abu Nawas berada di Baghdad, syair-syairnya telah lebih dahulu dikenal dan populer sehingga dinikmati oleh penduduk Baghdad.
Baru pada 170 H, Abu Nawas memasuki kota Baghdad, yakni ketika tampuk kerajaan dipegang oleh Harun ar Rasyid. Dari detik itulah kehidupan Abu Nawas mulai dekat dengan istana Bani Abbasiyah, dan segera saja beberapa ahli syair kenamaan berada di sekelilingnya, di antaranya Muthi' bin Aiyasy, al Khali' bin Dhahak, Hammad Ajrad, Aban bin Abdul Hamid al Lahigy, serta seorang wanita bernama 'Anan.
Ketika Harun ar Rasyid mendengar kedatangan Abu Nawas, baginda segera memanggilnya untuk diangkat menjadi penyair istana. Kendatipun demikian, baginda masih terus bersikap hati-hati dan waspada, mengingat Abu Nawas adalah penyair yang piawai dan sangat berani dalam mengkritisi apa yang terjadi dalam istana, salah-salah baginda sendiri yang akan menuai kritikan pedasnya.
Pada kesempatan itu pula dia mempelajari Al-Qur'an al Karim pada seorang guru yang sangat berwibawa, yakni Abu Ya'qub al Hadhramy.
Baru beberapa hari saja, sang guru takjub dengan bacaannya yang begitu fasih, ditopang dengan adab yang begitu tinggi. Maka guru itu segera mengatakan, “Pergilah kau dari tempat ini, di sini sudah tidak ada ilmu lagi yang engkau perlukan.”
Dengan tawadhu', Abu Nawas pun berpamitan untuk meneruskan pengembaraannya, dengan mendapat penghormatan dari para murid yang lain dan diiringi doa berkah dari sang guru.
Pada kesempatan itu, sang guru masih sempat mengatakan lagi: “Engkau merupakan penduduk Basrah yang paling ahli dalam membaca Kitabullah.”
Kembali ke Basrah
Abu Nawas pun kembali ke Basrah, tempat ia menginjakkan kaki pada mula pertamanya. Di sini ia bertemu dengan Khalaf al Ahmar, seorang pujangga yang karakter syair-syairnya dirasakan jauh berbeda dengan apa yang diajarkan guru Abu Nawas sendiri, Walibah bin al-Habab. Maka, segera saja Abu Nawas berguru kepadanya, sampai pada suatu ketika sang guru menyuruh Abu Nawas menghafal berbagai bait rajaz dan qashidah karangan para pujangga kenamaan.
Sebetulnya kali ini ia diuji dengan berbagai beban yang cukup berat. Saat itu, Abu Nawas membuktikan kecerdasannya, seluruh apa yang dibebankan itu ternyata dilahapnya dengan sangat cepat. Setelah itu, Abu Nawas menunggu peluang untuk mendendangkan syair0syairnya. Namun, betapa mengejutkan, sebab Khalaf mengatakan:
“Selamanya aku tak akan memberi izin kepada mu, kecuali jika kau bisa melupakan apa yang telah kau hafalkan, seluruhnya...”
Aneh!
Di balik semua itu, sebenarnya Khalaf al Ahmar menghendaki agar seluruh syair gubahannya diwarisi oleh Abu Nawas dalam keadaan ia masih hidup. Ternyata apa yang diharapkan sang guru ini bisa berhasil dengan sangat memuaskan, dan di kemudian hari Abu Nawas betul-betul sebagai pujangga yang mandiri, menampakkan jati diri yang sebenarnya dan sukar tertandingi. Mulai detik itulah Abu Nawas menjadi terkenal di seluruh pelosok Basrah, bahkan melampaui kawasan negeri itu.
Mengabdi di Baghdad
Sejak saat itu, Abu Nawas tidak pernah keluar dari ikatan religiusitasnya, kendati banyak ahli syair yang berseberangan dengan sikapnya itu.
Sebaliknya, ia menjunjung tinggi ruh agama sehingga syair-syairnya bisa menjangkau ke seluruh pelosok Baghdad. Ketika itu, Baghdad menjadi kiblat berbagai disiplin ilmu yang diserap oleh Persia, Arab, dan beberapa negeri lainnya.
Baghdad juga menjadi pusat kebudayaan dan mahasiswa, bahkan pusat gubahan syair jenaka dan dagelan.
Sebelum Abu Nawas berada di Baghdad, syair-syairnya telah lebih dahulu dikenal dan populer sehingga dinikmati oleh penduduk Baghdad.
Baru pada 170 H, Abu Nawas memasuki kota Baghdad, yakni ketika tampuk kerajaan dipegang oleh Harun ar Rasyid. Dari detik itulah kehidupan Abu Nawas mulai dekat dengan istana Bani Abbasiyah, dan segera saja beberapa ahli syair kenamaan berada di sekelilingnya, di antaranya Muthi' bin Aiyasy, al Khali' bin Dhahak, Hammad Ajrad, Aban bin Abdul Hamid al Lahigy, serta seorang wanita bernama 'Anan.
Ketika Harun ar Rasyid mendengar kedatangan Abu Nawas, baginda segera memanggilnya untuk diangkat menjadi penyair istana. Kendatipun demikian, baginda masih terus bersikap hati-hati dan waspada, mengingat Abu Nawas adalah penyair yang piawai dan sangat berani dalam mengkritisi apa yang terjadi dalam istana, salah-salah baginda sendiri yang akan menuai kritikan pedasnya.